Saya lahir dan tumbuh besar di Bogor dari kedua orang tua yang berlatarbelakang Sunda Priangan. Kenyataan lahiriah ini memunculkan kegelisahan dalam diri saya “Mengapa bahasa Sunda di Bogor dianggap kasar? Padahal kota ini adalah ibukota Kerajaan Sunda terakhir”.
Kemudian saya mengetahui fakta bahwa orang Sunda mengenal undak-usuk bahasa setelah pengaruh Mataram masuk ke wilayah Priangan, hingga akhirnya jadi acuan budaya Sunda kiwari.
Pengetahuan itu membuat saya sadar bahwa bahasa Sunda beragam, sedangkan pelajaran bahasa di sekolah tidak cukup memberikan wawasan terhadap keanekaragaman itu.
Karena penasaran, saya berkelana ke daerah-daerah berdialek Sunda non-Priangan. Mulai dari daerah perbatasan bahasa yang “sangat jelas perbedaan aksen dan dialeknya dengan bahasa Sunda Priangan” di Cikarang dan Rangkasbitung.
Berlanjut ke daerah-daerah bilingualis di Cirebon dan Serang, dan berakhir di daerah penutur dialek Sunda kuno di Lelea dan Kandanghaur, Indramayu.
Selama kuliah saya belum mampu mengunjungi daerah-daerah penutur bahasa Sunda yang berada di Jawa Tengah seperti Cilacap dan Brebes yang berbudaya Banyumasan. Kendalanya, keterbatasan finansial dan jejaring.
Menengok Urang Sunda di Kecamatan Langensari dan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap
Kesempatan itu datang dari perjalanan ketika saya berkunjung menuju rumah kawan di Langensari, sebuah kecamatan di Kota Banjar.
Langensari berada tidak jauh dari Sungai Citanduy yang memisahkan Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah serta jalan nasional menuju Cilacap.
Penduduk Langensari berkomunikasi dengan dua bahasa (Sunda-Jawa Banyumasan). Saya manfaatkan momen ini untuk kemudian mengamati penduduk Sunda di Cilacap dengan pergi ke Dayeuhluhur.
Dayeuhluhur adalah satu-satunya kecamatan di Kabupaten Cilacap yang tidak satu desa pun penduduknya berbahasa ibu Jawa Banyumasan.
Penutur bahasa Jawa Banyumasan dapat dijumpai di kecamatan tetangganya yang mayoritas berpenduduk Sunda, Wanareja.
Penduduk kecamatan Dayeuhluhur gigih dalam meminta pengajaran muatan lokal bahasa Sunda diadakan di sekolah. Wajah bahasa yang bertahan dalam masyarakat dipengaruhi kepentingan ekonomi serta letak geografi.
Kecamatan Dayeuhluhur berada lebih dekat ke Kota Banjar, dan Pasar Rancah di Kabupaten Ciamis daripada ke Kota Majenang — pusat ekonomi di Cilacap bagian Barat yang sebagian penduduknya beretnis Sunda.
Dayeuhluhur adalah suatu dayeuh yang berada di luhur. Kecamatan ini tidak berada di pinggir jalan nasional. Perlu 10 kilometer ke utara dari jalan nasional yang letaknya di melewati Hutan Perhutani untuk sampai di pusat Dayeuhluhur. Selain berbatasan dengan Ciamis dan Banjar, di kecamatan ini terdapat sebuah desa yang berbatasan dengan Kuningan.
Karangpucung, Cilacap Batas Timur Penutur Bahasa Sunda di Provinsi Jawa Tengah
Kecamatan Karangpucung, masih masuk wilayah Kabupaten Cilacap di timur Dayeuhluhur juga menarik perhatian saya. Penduduknya mayoritas beretnis Sunda, etnis Jawa minoritas di dalamnya.
Fakta tersebut menarik untuk saya, karena letak Karangpucung yang cukup jauh dari Sungai Citanduy, batas provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah, serta berbatasan langsung dengan Kabupaten Banyumas.
Berada persis di sebelah timur Kecamatan Karangpucung, tepatnya di Desa Darmaji, Kecamatan Lumbir, wilayah Kabupaten Banyumas menurut penelitian Prof. Cece Sobarna pernah jadi daerah penutur Sunda hingga akhir abad ke-20.
Sobarna mengatakan, menurut informan di Desa Dermaji bahasa Sunda pernah jadi bahasa sehari-hari, terutama di wilayah Grumbul Cireang. Tetapi kemudian semakin hilang seiring dengan diajarkannya bahasa Jawa di sekolah-sekolah.
Nama-nama tempat yang ada di Dermaji, seperti Cireang, Cukangawi, Cipancur, kali Cieupendeuy, kali Cibrewek, Citunggul dan lain sebagainya menunjukkan adanya pengaruh kuat bahasa Sunda di Desa Dermaji.
Asumsi saya, berdasarkan penelitian Prof. Cece Sobarna, bahwa sebelumnya Kecamatan Karangpucung bukanlah batas ujung timur di Provinsi Jawa Tengah wilayah penutur bahasa Sunda seperti sekarang.
Pada kesempatan yang lain, saat berkunjung ke kampung halaman kawan kontrakan saya di Purworejo, saya mendapati bahwa Desa Sindangbarang di ujung timur Karangpucung (Cilacap) dan Desa Dermaji (Banyumas) dipisahkan oleh hutan yang cukup panjang di jalan nasional. Faktor kontur alam tersebut dugaan saya dapat mengurangi interaksi antar penduduk desa Dermaji dengan Karangpucung.
Letak desa Dermaji tidak begitu jauh dari kecamatan-kecamatan penting di Kabupaten Banyumas seperti Ajibarang dan Wangon, bahkan hanya perlu kurang lebih satu jam untuk tiba di Kota Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas.
Kedua hal itu turut mendukung penggunaan bahasa Sunda di Desa Dermaji tidak dapat bertahan, selain karena faktor pengajaran bahasa Jawa di sekolah.
Menengok Penutur Bahasa Sunda di Brebes

Kemudian kesempatan berkunjung ke daerah penutur bahasa Sunda di Brebes datang ketika saya bekerja di Jawa Tengah sebagai kolektor data suatu konsultan pemetaan sejak Februari 2020.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, secara kebetulan Kecamatan Salem dan Kecamatan Bantarkawung yang berpenduduk mayoritas Sunda termasuk ke dalam area kerja saya.
Salem adalah kecamatan yang dikenal sebagai “Pusat bahasa Sunda” di Brebes. Sedangkan Bantarkawung adalah kecamatan yang bertetangga langsung dengan kecamatan penting di selatan Brebes, yaitu Bumiayu.
Memasuki jalur maut Menuju Kecamatan Salem
Saya berangkat dari Kota Tegal setelah adzan Subuh menuju Kecamatan Salem, Kabupaten Brebes. Perjalanan ditempuh melalui Banjarharjo, kecamatan yang juga dominan beretnis Sunda dan melewati Waduk Malahayu yang pembangunannya diprakarsai oleh Soekarno.
Suasana di perjalanan jadi mengerikan ketika tiba di kawasan Gunung Lio. Rute ekstrim dengan banyaknya tanjakan curam, turunan panjang, dan kerap berkabut walaupun melalui jalan provinsi yang mulus.
Sebelas orang tewas sepanjang tahun 2018-2019 karena jatuh ke jurang. Kelok 44 di Maninjau atau Jalan alternatif Ujungberung-Lembang via Maribaya bukanlah apa-apa ketimbang rute ini. Sebuah kanal di youtube dan berita daring melabeli rute Gunung Lio dengan “Jebakan GPS”.
Rasa tegang karena rute maut Gunung Lio terbayarkan ketika tiba di Salem. Saya tidak ragu untuk mengatakan, kecamatan ini memiliki pemandangan paling indah di Brebes.
Salem adalah kecamatan bersejarah, pernah jadi tempat mengungsi bupati Brebes pro-republik dan juga menjadi basis NII kelompok Amir Fatah.
Salem, Kecamatan Unik di Kabupaten Brebes

Tidak ada satu desa pun di Salem yang menggunakan bahasa Jawa Banyumasan. Bahasa Sunda yang dipakai di Salem adalah berdialek Kuningan.
Kita akan akrab mendengar kata ‘kami’, ‘kumadeh’ dan ‘nadeh’ digunakan sebagai pengganti kata ‘urang’, ‘kumaha’ dan ‘naha’.
Saya tidak tahu soal pengajaran bahasa Sunda di Salem. Namun, sebuah pamflet peringatan larangan membuang sampah yang saya temukan ditulis dengan bahasa Sunda dialek Kuningan. Saya menduga bahasa Sunda dialek Priangan tidak digunakan dalam konteks formal.
Kendati seluruh desa berbahasa Sunda, pengaruh budaya Jawa masih terasa cukup kuat di Salem. Daerah ini adalah penghasil batik. Saya juga mendapati dua acara hajatan yang dilaksanakan pada hari biasa, kebiasaan yang tidak begitu lazim di daerah Priangan tapi lumrah di Jawa Tengah.
Penggunaan kata ‘endi’,dan ‘mas’ biasa dituturkan orang-orang Salem. Ada juga anak kecil yang heran melihat Gopro bertengger di atas helm yang saya gunakan, dan menanggapi dengan menyapa “aya kamerana”, bukan dengan “aya kameraan” seperti pola pembentukan kata Sunda.
Entah karena pengaruh dari pembentukan kata bahasa Indonesia “ada kameranya” atau memang pengaruh dari pembentukan kata bahasa Banyumasan “Ana kamerane”.
Sungai Cipamali/Kali Pemali, Berabad Lalu Jadi Batas Jawa-Sunda

Saya tidak sengaja mengunjungi Kecamatan Bantarkawung, Kabupaten Brebes. Kebetulan area kerja saya berada di desa Kalinusu, ujung Barat Kecamatan Bumiayu.
Saya harus kembali ke Kota Bumiayu, mengingat Buruknya akses jalan Kalinusu-Bumiayu membuat saya memilih menyeberangi Sungai Cipamali dengan perahu.
Menyeberangi Sungai Cipamali seketika mengingatkan saya pada kisah Bujangga Manik dan Ciung Wanara yang menyebutkan bahwa sungai ini adalah batas Sunda-Jawa.
Benar saja! Setelah menyeberangi Sungai saya memasuki Desa Jipang yang masuk wilayah Kecamatan Bantarkawung, dan berpenduduk etnis Sunda.
Saya menyempatkan diri berkunjung ke pusat kecamatan Bantarkawung meski berlawanan dengan arah pulang. Selama kurang lebih 10 menit beristirahat di pusat jajanan, saya tidak menemukan penggunaan bahasa Jawa Banyumasan.
Saat hendak mencuci motor kurang lebih satu kilometer dari pusat jajanan, barulah saya mendengar penggunaan Bahasa Jawa. Bapak pencuci motor mengatakan pada saya “Nang kono bae motore”.
Tepi Pemali, Surga Alih dan Campur Kode Bahasa

Pada hari berikutnya ketika masih di Bantarkawung, saya melanjutkan kerja menuju Desa Kebandungan. Jaraknya 88 kilometer dari basecamp tim di Tegal, jika dicapai melalui jalur darat.
Kebandungan hanya dipisahkan dengan Margasari, Kabupaten Tegal oleh Sungai Cipamali/Kali Pemali yang jadi pembatas wilayah kabupaten.
Tidak ada akses yang langsung menghubungkan Desa Kebandungan dengan Margasari. Satu-satunya jembatan terdekat menuju Kebandungan berada di Bumiayu.
Berdasarkan penelusuran di internet, untuk menyingkat jarak tempuh perjalanan saya memilih opsi menyeberangi Sungai Pemali dengan perahu dari Pasar Kesambi, Prupuk Selatan. Tidak tanggung-tanggung, memangkas jarak 40 kilometer lebih pendek!
Saya kemudian terkejut, perlu menyebrangi dua sungai untuk mencapai Kebandungan: Sungai Kesambi, dapat diseberangi langsung tanpa perahu, Sungai Pemali yang diseberangi dengan perahu.
Beruntung saat itu cuaca cerah, motor saya dapat melintasi Sungai Kesambi. Namun hujan yang turun pada malam hari menaikkan permukaan sungai Pemali lebih tinggi dari tali sling perahu. Perahu tidak dapat menyeberang untuk sementara, dan membuat para penumpang harus “kerja bakti” untuk menaikkan tiang pengikat tali sling.
Lebar dan deras arus Cipamali membuat saya berkelakar via aplikasi Whatsapp “Hariang Bangga dan Ciung Wanara berhenti bertengkar di Kali Pemali karena satu sama lain kesulitan untuk menyebrangi sungai ini”.
Tempat penyeberangan perahu adalah “surga” aktivitas alih kode dan campur kode kebahasaan. Sebelum mulai bekerja, ketika makan di warung tempat penyeberangan perahu, saya mengamati percakapan orang-orang.
Desa Kebandungan, Negeri Sunda di Tanah Jawa
Meski penduduk asli Desa Kebandungan adalah orang Sunda, penggunaan bahasa Jawa masih sering terdengar. Selintas saya mendengar pedagang keliling menawarkan barang dagangannya di tempat penyeberangan dengan bahasa Jawa, sahutan “Tuku kopi hideung”.
Saya juga memperhatikan, penarik perahu berbicara dengan bahasa Jawa ketika sedang berada di sisi Timur Sungai dan beralih menggunakan bahasa Sunda setelah tiba di Barat Sungai.
Ada pula bapak guru yang pulang pergi dari Tegal untuk mengajar di sekolah dasar setempat, berbicara dengan dua mantan muridnya dalam Bahasa Jawa ngapak. Fenomena kebahasaan ini biasa di wilayah Banyumasan, tidak ketat menggunakan undak-usuk bahasa Jawa.
Saya berbicara cukup banyak dengan Pak guru yang telah mengajar di Kebandungan sejak 1991. Pak guru yang penglaju dari Kota Tegal, selalu menyebrang Kali Pemali, dan nyaris tidak pernah pergi lewat Bumiayu.
Pak Guru mengisahkan, Kali Pemali sering meminta korban. Tahun lalu, satu orang meninggal karena tali sling yang digunakan untuk menarik perahu putus. Ia juga berkelakar, “Siapa tahu kamu dapat jodoh di tempat ini. Hehehe.”
Saya menanggapi kelakar itu dengan serius, “Wah saya punya perasaan ke salah satu gadis Jawa, pak. Dia juga salah satu motivasi saya mau kerja di Jawa selain nabung buat S2. Doakan, ya, pak!”
Discussion about this post