Danum, Karya Abroorza A. Yusra salah satu bacaan yang patut dinikmati bagi mereka yang menggemari kisah pertualangan, desa, roman, dan alam.
Novel ini berlatar belakang Desa Sakai, Kalimantan Barat yang dihuni oleh masyarakat Uud Danum. Danum telah rilis dalam bentuk cerita bersambung oleh Penerbit Enggang Media.
Tim redaksi Kelana Nusantara, Penerbit Enggang Media, dan penulis, bekerja sama untuk memuat ringkasannya secara rutin di website Kelana Nusantara.
Sebelumnya : Santo bekerja sama dengan Yayasan W melakukan ekspedisi ilmiah ke kawasan hutan di Kecamatan Ambalau.
Ekspedisi tersebut dilakukan sebagai salah satu strategi dalam menghadapi ancaman pencaplokan lahan oleh perusahaan sawit. Desa Sakai, kampung halaman Santo, jadi salah satu desa yang terancam.
***
Tim ekspedisi menelusuri Desa Soban
Dalam dua bulan ekspedisi, tim peneliti yang dipimpin oleh Aloisius Santo tidak hanya menyasar kawasan hutan di Desa Sakai. Mereka juga pergi ke desa-desa lain, salah satunya adalah Desa Soban.
Di sana, kondisi yang mereka temukan berbeda dari yang diharapkan. Hutan mulai tercemar dan besar kemungkinan disebabkan oleh ulah manusia.
Tidak jarang, ketika menjelajahi hutan, mereka menemukan gelondongan pohon belian yang menumpuk. Sementara itu, masyarakat Desa Soban yang menyertai mereka sebagai penunjuk jalan maupun pengangkut barang, selalu menjawab tidak tahu saat ditanyai.
Santo curiga, bahwa gelondongan kayu yang mereka temui adalah hasil kerja pembalakan liar. Ketika ia menyampaikan masalah ini kepada Leto, salah seorang pemuka masyarakat di Soban, justru yang ia tangkap adalah kesan abai dan tidak peduli. Tentu, hal ini membuat Santo kecewa.
Jelas baginya, usaha yang disusuri lebih terjal, karena masalah bukan hanya dari luar. Kerusakan sudah berbenih dari dalam, dari orang-orang desa sendiri. Jika nanti perusahaan masuk, itu hanya akan menjadi pemantik, bukan sebab utama. Lantas, apa gunanya ia berbolak-balik Pontianak-Ambalau hanya untuk menyaksikan semua yang diperjuangkan tetap punah. Untuk apa juga ia berkirim-kirim surat ke Jakarta, ke perusahaan, berdebat tentang hak sementara yang mereka yang dibelanya tidak ambil peduli (Danum – Bagian 13).
Bagi masyarakat Uud Danum kerja ladang seperti beribadah
Di luar masalah yang mereka temukan di Soban, kegiatan ekspedisi memberi banyak petunjuk dan informasi tentang kondisi alam dan budaya masyarakat Uud Danum.
Bagi Nadi, peneliti sastra lisan dan budaya, salah satu kunci untuk memahami nilai-nilai sosial hingga spiritual masyarakat Uud Danum adalah melalui ladang.
Ia melihat sendiri bagaimana Nek Ga, narasumber utama penelitiannya, melaksanakan kerja ladang seperti sedang beribadah.
Dari semua tempat, ladang menjadi tempat yang menyediakan banyak kunci jawaban. Menilai Uud Danum, sebagaimana Dayak yang lain, tidak akan mengerucut sempurna bila perladangan diremehtemehkan. Lantun-lantunan disuarakan untuk ladang. Tari-tarian menggerakkan tingkah laku ladang. Puja-pujaan disampaikan untuk kebaikan ladang. Mantra-mantra diucapkan demi kemakmuran ladang. Bagian mana yang tidak berhubungan? (Danum – Bagian 14).
Di Ladang, hubungan Nadi dan Puhtir, gadis yang bekerja sebagai guru sekolah dasar sekaligus cucu Nek Ga, semakin dekat. Percakapan-percakapan sering terjadi di ladang.
Puhtir menceritakan arti namanya, yakni “Dewi Padi”. Puhtir bahkan menyebutkan nama Tuhan dalam bahasa Kolimoi yang sebenarnya tidak diperkenankan untuk didengar sembarangan orang. Ranying Hattala Ngambu.
Ritual perpisahaan di hari akhir ekspedisi
Di hari akhir ekspedisi, masyarakat Desa Sakai membuat acara yang cukup meriah. Mereka berbondong-bondong datang ke rumah Benediktus, tempat para peneliti menginap. Dari petang hingga malam, berbagai atraksi seni dipertunjukkan.
Nek Ga memimpin ritual perpisahan dengan gerakan-gerakannya yang sulit diterima akal sehat seandainya ia tidak kerasukan.
Sementara itu, Rupung, tetua Sakai, bercerita tentang masa ketika hutan masih dipimpin oleh seekor beruk, hingga kemudian tiba hewan yang disebut sebagai manusia.
Gerakan Nek Ga, atau tarian, atau apalah itu, menjadi lebih cepat dan berenergi. Mereka yang hadir seperti dihadapkan pada perempuan empat puluh tahun yang masih belum menikah. Tenang, bijak, namun tidak tertebak akibat pubertas kedua. Emosi dan letusan energi bisa terjadi secara tiba-tiba. Ayam dipegang Nek Ga dengan lebih erat pada lehernya. Suara-suara tertahan dan tercekat, menunggu apa yang akan terjadi dalam beberapa menit, atau detik kemudian. Semua tahu bahwa ajal ayam akan berakhir dengan cara yang tidak biasa (Danum – Bagian 16).
Rupung tidak main-main. Ia tidak sekadar ngalor-ngidul. Ia benar-benar bercerita. Disampaikan dalam dua jam dengan diselingi pamit ke kamar mandi atau menegak minuman. Cerita itu adalah tentang masa ketika dewa-dewa memutuskan untuk menghadirkan makhluk yang lebih bijak dari semua hewan yang ada, sekaligus lebih mengerikan. Sebuah fabel nan menawan. Akhirnya Nadi mengerti mengapa Rupung dijuluki sebagai “pendekar mabuk” jika sudah berkaitan dengan kisah-mengisah (Danum – Bagian 17).
Seminar yang berujung sangat lunak dalam menentang sawit
Setelah kegiatan ekspedisi rampung, tim ekpedisi segera melaksanakan seminar. Acara tersebut dihadiri oleh berbagai kalangan, dari pihak pejabat, kaum pelajar, pebisnis, hingga masyarakat umum.
Para peneliti menyampaikan hasil temuan mereka. Acara seminar ini, diharapkan oleh Santo menjadi salah satu daya gedor dalam menentang masuknya perusahaan sawit ke kampungnya.
Namun, yang terjadi ternyata di luar harapan Santo. Setelah mendengar pidato Profesor Tom, Santo mendapat gambaran bahwa kegiatan ekspedisi yang telah mereka lakukan dengan bersemangat, justru berujung sangat lunak dalam menentang sawit.
Bagi Santo, isi pidato Profesor Tom justru memberi keleluasaan bagi perusahaan sawit untuk terus beroperasi, dengan atas nama pembangunan dan kemajuan masyarakat.
Sementara, pengalaman yang ia alami berbeda dari teori. Tentu hal ini membuat Santo, yang sangat anti terhadap sawit, menjadi sangat gusar.
Profesor benar secara teori, tapi ia tidak pernah merasakan kehilangan tanah, kehilangan rumah tinggal, kehilangan kepercayaan, kehilangan identitas. Di Serawai dan Ambalau, membiarkan sehektar sawit tertanam tidak lain dengan membiarkan kuman penyakit berkembang biak. Awalnya hanya di ujung jari, tapi nantinya menggerogoti seluruh tubuh, dari sel darah, tulang, otak, kaki, kepala, paru-paru, jantung (Danum – Bagian 22)
Sementara itu Benediktus
Di Desa Sakai, setelah tim ekspedisi angkat kaki, adik Santo, Benediktus, berkunjung ke Kemangai, Ibu Kota Kecamatan Ambalau. Tujuannya adalah untuk berbelanja. Ia memiliki uang yang cukup banyak dari pemberian Santo.
Di Kemangai, ia bertemu dengan Amat dan Bonar, sahabat-sahabat karibnya. Amat lantas menjejali Benediktus tentang prospek cerah berkebun sawit.
“Kau pernah dengar petuah bapak-bapak kita? Kalau mau makan di hari ini, pergilah memancing. Kalau mau ada makanan hingga lima tahun lagi, tanamlah karet. Kalau mau ada makanan dua puluh tahun lagi nanti, tanamlah pokok belian…Petuah hari ini, Bens, dengarkan aku, bunyinya: kalau mau makan lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, dua puluh tahun lagi, tanamlah sawit! (Danum – Bagian 20).
Penjelasan panjang lebar Amat berhasil mempengaruhi Benediktus. Ia memutuskan untuk membeli benih-benih kelapa sawit yang ditawarkan Amat.
Seminggu telah lewat, dan akhirnya Benediktus datang ke pasar Kemangai untuk menyerahkan duitnya pada Amat. Kedua sahabat itu bersalaman. Bonar menjadi saksi transaksi itu. Benediktus memandang jauh ke hilir sungai, seolah sorot matanya menjamah kebun-kebun sawit yang ada di seluruh Serawai dan Ambalau, dan pohon-pohon sawit siap berbuah uang untuk dirinya. Pohon berbuah uang! Itu bukan dongeng ((Danum – Bagian 20).
Untuk membaca selengkapnya, silakan kunjungi www.enggangmedia.com
Discussion about this post