Danum, Karya Abroorza A. Yusra salah satu bacaan yang patut dinikmati bagi mereka yang menggemari kisah pertualangan, desa, roman, dan alam.
Novel ini berlatar belakang Desa Sakai, Kalimantan Barat yang dihuni oleh masyarakat Uud Danum. Danum telah rilis dalam bentuk cerita bersambung oleh Penerbit Enggang Media.
Tim redaksi Kelana Nusantara, Penerbit Enggang Media, dan penulis, bekerja sama untuk memuat ringkasannya secara rutin di website Kelana Nusantara.
Cerita sebelumnya: Seminar hasil ekspedisi ilmiah ke kawasan hutan di Kecamatan Ambalau telah dilakukan.
Seminar dan ekspedisi tersebut dilakukan sebagai salah satu strategi dalam menghadapi ancaman pencaplokan lahan oleh perusahaan sawit di Desa Sakai.
Di tempat lain, Benediktus, adik Santo, bersepakat dengan kawan-kawannya untuk menanam sawit.
Melaksanakan ritual adat Dalok
Usai ekspedisi dan seminar, Santo dan istrinya menyusun rencana untuk melaksanakan Dalok.
Dalok adalah ritual adat mengantar arwah ke nirwana. Dalok yang akan mereka lakukan ditujukan untuk almarhum kedua orang tua Santo.
Dalok adalah ritual pengantaran arwah tertinggi dalam kebudayaan Uud Danum.
Karena itu, biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit dan sebisa mungkin dihadiri oleh seluruh anggota keluarga.
Beruntung, penduduk kampung adalah masyarakat yang masih menjunjung semangat gotong royong, bantu-membantu, dan bahu-membahu.
Santo lantas mengunjungi beberapa kampung di sekitar Sakai untuk berdiskusi mengenai keperluan Dalok.
Bisa-bisa, orang menjual rumah untuk sekali dalok. Karena itu, sejak dulu, cara berbalas budi jadi solusi. Acara Dalok bukan sekadar milik perorangan, tetapi hajatan beberapa dusun. Ada dusun yang bertugas membawa sapi. Ada yang membawa babi. Ada yang membawa toras. Ada yang membawa kayu-kayu untuk pandung, kandang khusus babi. Pada beberapa dusun, Santo pernah membantu. Kali ini, sudah menjadi haknya untuk menagih bantuan. Bukan dengan maksud mengais-ngais kebaikan yang pernah dilakukan, tetapi, memang begitulah adanya (Danum – Bagian 23).
Kembalinya Nadi ke Sakai
Tidak lupa Santo mengundang sahabat-sahabatnya yang terlibat di dalam penelitian. Namun, hanya Nadi yang menyanggupi.
Sebelum Natal, mereka pun pergi ke Sakai. Acara Dalok yang dilakukan Santo akan diselenggarakan setelah Natal, sebelum tahun baru.
Bagi Nadi, kedatangannya kembali ke Sakai memberinya kesempatan lebih banyak untuk memerhatikan kehidupan sosial dan kebudayaan masyarakat Uud Danum.
Ia turut serta mencari kayu belian ke hutan untuk dijadikan patung toras dan sopunduk. Patung-patung tersebut nantinya diletakkan di halaman rumah.
Penanda bahwa sang empunya rumah telah melaksanakan Dalok untuk keluarga mereka yang telah berpulang.
Kepercayaan Kaharingan
Nadi juga tertarik dengan kepercayaan Kaharingan, kepercayaan kuno Uud Danum.
Di hari Natal, sepulang dari misa gereja, ia bertanya pada Santo dan beberapa tetua tentang hal tersebut.
Pengakuan negara terhadap Kaharingan, sama seperti kepercayaan tradisional lain: diakui sekaligus tidak. Samar-samar.
Proposal agar Kaharingan diakui sebagai agama resmi diletakkan di meja pemerintahan, tetapi selalu tidak ada kejelasannya. Tidak jelas apa yang menjadi alasan pemerintah. Alasan yang paling masuk akal, tapi tidak pernah diterakan sejelas-jelasnya, pemerintah sepertinya punya standar sendiri untuk apa yang disebut kepercayaan. Mungkin harus ada kitab suci yang tertulis. Mungkin harus ada hari raya. Mungkin harus ada jubah kebesaran (Danum – Bagian 27).
Nadi juga bertanya pada Puhtir yang tidak hadir ke gereja pada hari Natal. Puhtir ternyata menganut Kaharingan, sebagaimana Nek Ga, neneknya.
Bagi Puhtir, percaya terhadap sesuatu artinya meyakini dengan segenap hati, dengan segenap cinta.
Keyakinan tidak membutuhkan pengakuan administratif, dan ia mencintai untuk menjadi seorang penganut Kaharingan. Jawaban-jawaban Puhtir, membuat Nadi semakin jatuh kagum pada gadis tersebut.
“Seandainya calon suamimu nanti meminta kamu untuk pindah agama, bagaimana?”
“Aku tidak tahu. Tapi, agama itu bukan soal KTP, kan? Keyakinan itu soal hati. Jika aku pindah ke agama lain, tetapi hatiku tetap mencintai Kaharingan, bukankah aku justru berbohong, pada agama baruku juga pada suamiku?” (Danum – Bagian 28)
Dalok kemudian diselenggarakan. Tamu-tamu datang dari kampung sekitar, Sakai mendadak jadi kampung yang ramai.
Berbagai ritual berlangsung selama berhari-hari. Gong ditalu. Ratusan ayam dan puluhan babi dipotong.
Nganjan, tarian doa, sepanjang hari dilaksanakan. Mabuk tuak arak, gelak tawa, nuansa ibadah, gelagat mistis, menjadi satu.
Santo memanggil semua sanak untuk berkumpul. Sambil terkantuk-kantuk, mereka lalu berdoa. Dengan cara Katolik dan juga adat. Setelah selesai, makanan untuk arwah dan kaki sapi digantung di nisan. Inilah rukun dalam Dalok, memberi makan langsung ke makamnya (Danum – Bagian 30).
Percikan asmara Nadi dan Puhtir
Selama acara Dalok, Nadi berusaha untuk mencatat dan merekam tiap peristiwa dengan kamera.
Malam hari sebelum puncak Dalok, ia mengalami kecelakaan kecil. Saat itu ia tengah berusaha memotret kegiatan nganjan (menari doa) yang berlangsung di halaman rumah.
Malam yang gelap membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas ketika mencari tempat berpijak.
Ia lantas melompat ke pokok kapuk, pokok yang durinya berbonggol-bonggol.
Kontan, Nadi yang tidak mengenakan alas kaki tumbang seketika. Kondisi telapak kakinya serupa daun yang dicelomoti ulat. Berlubang-lubang.
Ia dipapah oleh beberapa orang naik ke teras rumah Benediktus dan kemudian dirawat oleh Puhtir. Di sini gairah asmara yang sebelumnya tersembunyi, menjadi jelas.
Ketika Puhtir membantunya berdiri, ketika Puhtir memaksa untuk memapahnya, Nadi hanya bisa pasrah. Ia nikmati semua peristiwa ini. Ia resapi dengan dalam aroma rambut Puhtir, sentuhannya, bahkan tetes peluhnya yang menyentuh lengan. Jarak antara rumah Benediktus dan rumah Maryam hanya perlu ditempuh dengan beberapa lemparan langkah, tetapi cinta tidak mengenal sempitnya ruang dan waktu. Sebuah panah amor meluncur dari langit…(Danum – Bagian 32)
Setelah puncak Dalok, malam harinya, kegiatan hura-hura berlangsung. Panggung kecil di depan rumah jadi ajang joget.
Musik dangdut diputar. Panggung disesaki manusia. Nadi menari berhadap-hadapan dengan Puhtir. Gairah asmara semakin memuncak.
Dalam keramaian tersebut, dalam himpitan-himpitan dan bau keringat, Nadi dan Puhtir saling berhadapan. Dorong sana-sini membuat tubuh mereka terpaksa beberapa kali bertubrukan. Dan, sekali waktu, hidung Nadi membentur kening Puhtir. Puhtir memasang wajah terkejut, lalu tertawa. Dipencet-pencetnya hidung Nadi. Nadi gelagapan. (Danum – Bagian 33)
Isyarat asmara di hari terakhir
Nadi yang sebisa mungkin menguasai diri, akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Puhtir. Ia pergi ke warung yang tidak jauh dari panggung.
Di sana ia bersua dengan seorang tamu dari Mentomoi yang menunjukkan foto-foto balung enggang gading hasil perburuan.
Amarah pun muncul dalam diri Nadi. Enggang gading, salah satu satwa yang paling mendekati kepunahan massal. Sering diburu untuk alasan yang tidak masuk akal.
Hari terakhir di Sakai, Nadi menghabiskan hari dengan berbincang bersama Puhtir. Ia diberi takui darok, caping hias khas Uud Danum buatan Puhtir sendiri.
Percakapan dan tindak lanjut mereka mengisyaratkan bahwa antara keduanya telah terikat satu sama lainnya dalam keromantisan asmara.
Tangan Nadi bergegar mencari jari-jemari Puhtir. Ketika jari mereka bertemu, Nadi memegang jari Puhtir erat, mengangkatnya, dan menggenggamnya dengan penuh arti. Puhtir tersenyum. Nadi langkahkan lagi kaki lebih mendekat hingga napas Puhtir dapat ia rasai menyentuh wajahnya. (Danum – Bagian 35).
Untuk membaca selengkapnya, silakan kunjungi www.enggangmedia.com
Discussion about this post