Sebenarnya uang yang dihabiskan dunia untuk persenjataan militer dan perang dalam satu minggu cukup untuk memberi makanan seluruh manusia di bumi dalam setahun.
Fakta yang mencengangkan, memang, sementara perang terus dilangsungkan tanpa jelas ujungnya, di pelosok dunia, miliunan manusia meringkih bertahan hidup dalam kelaparan.
Tapi, bisakah makanan menjadi penopang basis perubahan?
Karena ini tulisan, dan komunikasi yang dibangun satu arah, saya akan menjawab pertanyaan itu sendiri. Ya, jawabannya bisa. Secara sederhana, perubahan akan terjadi jika perut terisi. Secara kompleks namun tetap sederhana, seperti gerakan Food Not Bombs inilah…
Sedikit sejarah tentang gerakan sosial ini. Food Not Bombs adalah sebuah organisasi distribusi makanan yang alternatif. Bermaksud untuk membangun program berbagi makanan antar-komunitas yang berkepanjangan.
Dibentuk di Boston pada tahun 1980 oleh aktivis-aktivis yang terlibat pada gerakan anti-nuklir, Food Not Bombs hari ini telah bersemi menjadi gerakan politik akar-rumput yang mendunia dengan lebih dari 175 cabang otonom. Setiap grup Food Not Bombs menyajikan makanan gratis untuk orang yang membutuhkan.
Food Not Bombs percaya bahwa masyarakat dan pemerintah harus menghargai nyawa manusia di atas kekayaan material. Dan bahwa sebagian besar masalah yang ada di dunia berasal dari krisis yang sederhana ini: Makanan.
Food Not Bombs, seringnya, memulihkan makanan vegetarian yang sehat dan bernutrisi, yang sebaliknya, mungkin, oleh sebagian kita malah dibuang. Mereka, memasak untuk disajikan kepada orang yang membutuhkannya.

Dengan memberikan makanan vegetarian secara cuma-cuma di tempat-tempat publik, Food Not Bombs membawa kaum lapar dan miskin yang cenderung terabaikan ke hadapan publik.

Bahkan gerakan ini sudah meradang ke pelosok dunia, termasuk Indonesia. Salah satunya adalah Kediri dan banyak kota lainnya yang merorongrong aksi atau lebih etis dipanggil “berbagi makanan”
Dengan hadirnya Food Not Bombs, kita harusnya tersentak untuk memeriksa, setidaknya untuk sesaat, keterlibatan diri kita, melalui beragam aspek, dalam membiarkan sistem ekonomi global yang menindas semua orang yang berkelanjutan. Tidak menghabiskan makanan, misalnya.
Baca Juga: Orang Indonesia Doyan Buang-buang Makanan!
Food Not Bombs adalah salah satu bentuk protes, alih-alih amal karena membagikan makanan secara gratis. Dalam Food Not Bombs, mereka menerapkan beberapa prinsip-prinsip. Di antaranya:
- Non-kekerasan
Masyarakat kita hari ini memuja konsumerisme dan mengejar akumulasi kekayaan tak berbatas. Itu yang menjadikan jutaan lainnya kelaparan dan menjadi tuna-wisma. Kemiskinan adalah salah satu bentuk kekerasan.
Industri makanan komersial juga berpredikat kekerasan. Berton-ton makanan layak-makan dibuang hanya untuk mempertahankan profit yang tinggi.
- Pengambilan Keputusan Berdasarkan Konsensus
Food Not Bombs percaya bahwa setiap anggota di grup harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam mempertajam semua keputusan grup.
- Vegetarianisme
lebih dari 25% makanan di Amerika Serikat dibuang setiap tahunnya, dengan perkiraan 65 kg daging per orang berakhir di pembuangan sampah. Itu cukup untuk memberi makan 49 juta orang, dua kali lebih banyak dari yang kelaparan di dunia setiap tahunnya.
Data tersebut baru untuk Amerika. Belum negara lain. Betapa banyaknya makanan yang terbuang jika ditotalkan!
Pabrik-pabrik peternakan memperlakukan binatang sekadar komoditas, sebagai objek penghasil keuntungan. Mereka tidak mempedulikan kenyataan bahwa mereka binatang juga makhluk hidup, makhluk berperasaan yang merasakan rasa sakit yang luar biasa jika siksaan terus menerus diberikan. Menyajikan makanan vegetarian menunjukkan komitmen Food Not Bombs akan non-kekerasan.
Food Not Bombs bekerjasama dengan kelompok seperti Earth First, Leonard Peiter Defense Komite, Anarchist Black Cross, IWW, Home Not Jail, Anti Racist Action, In Defense Of Animal, Free Radio Movement dan organisasi lainnya yang mempunyai semangat perubahan sosial positif. Karena makanan adalah hak manusia, bukan hak istimewa segelintir saja, maka sudah selayaknya kita menghargai tiap suapan yang terhidang.
Discussion about this post