Mencari dua klenteng ini bagi pengunjung yang pertama kali menjelajah Pecinan Semarang ibarat menyelam ke bagian terdalam samudera untuk mendapatkan mutiara.
Dua tempat ibadah orang Tionghoa ini berada tersembunyi di tengah padatnya Kampung Sebandaran, bantaran Kali Semarang. Jauh dari kata tersohor seperti halnya Klenteng Sam Poo Kong.
Meski begitu, kekonuan dan keindahan klenteng ini akan membuat terkesima siapapun yang berhasil menemukan lokasinnya.
Inilah cerita dari Klenteng Hwie Wie Kiong dan Klenteng See Hoo Kiong.
Klenteng di kawasan Pecinan Semarang dengan karakter Tiongkok Selatan
Tampak dari luar Klenteng Hwie Wie Kiong terlihat lengang. Hanya ada dua kendaraan yang parkir di halamannya yang tak begitu luas.
Karakter Tiongkok Selatan langsung terlihat dari bentuk bubungan atap yang menyerupai jurai ekor walet.
Patung shi zi atau singa jantan dan betina sebagai simbol keharmonisan, menyambut setiap pengunjung klenteng.
Dinding depan klenteng ini dihiasi dengan ukiran detail, memperlihatkan kepiawaian para pengrajin kayu Tionghoa.
Dari rangka konstruksi atap terbuka hingga ukiran jendela depan menampilkan ukiran Naga yang tampak natural dan paling menawan dari klenteng ini.
Pada dasarnya, hiasan pada klenteng bukan sekadar pemanis saja. Di dalamnya, mengandung pesan moral dan “doa bisu”.
Pada ukiran berbentuk Naga, dibalik tampilannya yang gahar, dalam mitologi Tiongkok Naga adalah makhluk pembawa berkah dan pemberi perlindungan.
Jika mengamati dengan seksama, Naga ini hanya memiliki empat kuku, jumlah kuku tertinggi yang diperbolehkan untuk rakyat biasa. Naga berkuku lima khusus untuk bangunan kekaisaran.
Pembagian tata ruang klenteng
Secara garis besar, tata ruang klenteng ini dibagi jadi tiga: ruang suci utama, balai leluhur, dan ruang paling belakang yang belum diketahui fengshuinya. Tidak ada bangunan samping seperti lazimnya klenteng-klenteng besar.
Klenteng Hwie Wie Kiong memiliki tiga pintu masuk ke dalam ruang suci utama, namun pintu masuk yang sering dilalui oleh pengunjung adalah pintu masuk yang paling kanan. Hal tersebut rupanya memiliki maknanya.
Pintu paling kanan disebut Pintu Naga Hijau (Qinglong), sementara pintu kiri klenteng disebut Pintu Macan Putih (Baihu).
Masuk melalui pintu kanan merupakan lambang kemakmuran, sementara keluar dari mulut macan melambangkan lolos dari bahaya.
Akses pintu-pintu ini menandakan setiap orang yang masuk dan keluar klenteng diberi kemakmuran dan lolos dari bahaya.
Sementara itu, pintu tengah klenteng kerap dibiarkan. Pintu ini biasanya dibuka saat perayaan Cap Go Meh. Dan patung dewa utama klenteng akan dibawa keluar melalui pintu ini.
Lukisan malaikat menghiasi dua daun pintu: Qie-Lan Pu-Sa dan Wei-tuo-Pu-Sa. Keduanya adalah Bodhisattva pelindung agama Buddha. Kedua lukisan ini sebagai simbol pelindung klenteng dari roh jahat. Pada setiap pintu, terdapat ambang balok yang disebut di fu ban yang dapat dilepas.
Sirkulasi udara dan cahaya di area dalam klenteng
Melangkah ke dalam, semerbak asap menyeruak dari batang dupa yang tertancap di depan altar, aroma khas memenuhi setiap sudut ruang klenteng.
Sebagai sumber pencahayaan alami dan sirkulasi udara, terdapat tiga ruang terbuka di klenteng ini.
Dua ruang terbuka kembar berada di belakang serambi, dan satu ruang terbuka lainnya terletak di balai belakang.
Keberadaan tiga ruang terbuka tersebut menghasilkan sirkulasi udara yang baik di dalam ruang, tidak sesak oleh asap dupa karena udara senantiasa bergerak mengalir.
Sinar mentari juga bebas masuk tanpa menimbulkan panas. Orang akan merasa nyaman dan sejuk ketika berada di dalam.
Ketika siang hari, bagian dalam klenteng jadi terang benderang.
Bagian dari sejarah hidup Tan Tiang Tjhing
Suasana Klenteng Hwie Wie Kiong relatif sepi. Wajar, di Semarang klenteng ini tak semasyur Klenteng Sam Poo Kong.
Dinding klenteng ini memiliki warna warna dominan hitam, kuning, dan merah yang berpadu indah.
Menampilkan keindahaan arsitektur Tiongkok yang masih terjaga keasliannya.
Atap bangunan dipanggul oleh rangka konstruksi terbuka tanpa penutup plafon, sehingga memperlihatkan keseluruhan rangka yang begitu meriah.
Melihat permainya ornamen dan megahnya ukuran, seakan menunjukan kemakmuran Tan Tiang Tjhing, pendiri klenteng indah ini.
Membahas klenteng ini tidak bisa lepas dari sosok Tan Tiang Tjhing karena klenteng ini adalah bagian dari sejarah kehidupan sang “mayor”. Pemimpin orang Tionghoa di Semarang yang hidup di masa kolonial.
Siapakah Tan Tiang Tjhing?
Menukil dari buku “Riwayat Semarang” karya dari Liem Thian Joe, dijelaskan bahwa Tan Tiang Tjhing adalah putra dari juragan Bing, pemilik penggilingan gula di Semarang.
Tan Tiang Tjhing lahir di Semarang, tidak diketahui dengan pasti kapan waktunya, ia kemudian menghabiskan masa kecil di negeri Tiongkok.
Ketika beranjak dewasa, ayahnya memanggil Tan Tiang Tjhing untuk kembali ke Semarang.
Pemerintah kolonial mempekerjakan ayahnya untuk mengurus pacht kehutanan.
Dibutuhkan tenaga untuk mengelola penggilingan gula. Ketika tutup usia ayahnya mewariskan penggilingan gula tersebut.
Pada 1809, berdasarkan pai yang masih ada hingga hari ini, Tan Tiang Tjhing diangkat sebagai Letnan oleh pemerintah kolonial.
Walau menyandang gelar militer, bukan berarti Tan Tiang Tjhing memiliki kuasa atas sekelompok serdadu.
Pemerintah kolonial memberikan gelar ini sebagai tanda bahwa Tan Tiang Tjhing menjadi kepala masyarakat sekaligus penyambung lidah penduduk Tionghoa di Semarang (Liem, 1931 ; 90).
Klenteng sebagai tanda bakti kepada leluhur
Pada tahun 1814, Tan Thiang Tjhing ingin menunjukan baktinya kepada leluhur dengan mendirikan sebuah klenteng. Juga merangkap sebagai balai leluhur bagi marganya.
Leluhur yang dimaksud ialah Tan Goan Kong. Siapakah sosok Tan Goang Kong ini, sampai salah satu keturunannya mempersembahkan sebuah klenteng?
Alkisah di era Dinasti Tang, ada suatu tempat di dataran Tiongkok Selatan bernama Tjiang-Tjioe (Zhangzhou).
Ketika itu, wilayah ini belum tersentuh oleh pengaruh pemerintahan kaisar Tiongkok, sehingga hampir segala kejahatan terjadi.
Syahdan, Kaisar Tiongkok, Ruizong mengutus Jenderal Tan Goan Kong atau dalam ejaan Pinyin bernama Chen Yuanguang untuk mengamankan wilayah tersebut.
Setelah keamanan terjamin, Tan Goan Kong mengubah daerah tersebut dari sarang bandit menjadi daerah yang makmur.
Walau sudah jadi wilayah makmur, nyatanya masih ada pemberontakan di sekitar Tjiang-Tjioe.
Tan Goan Kong bersama pasukannya berusaha menumpasan pemberontakan tersebut dan nahasnya, Tan Goan Kong tewas dalam pertempuran.
Atas jasa-jasanya, kaisar Xuanzong yang menggantikan kaisar Riuzong, menganugerahkan gelar anumerta kepadanya dan menitahkan untuk mendirikan kuil penghormatan kepada Tan Goan Kong.
Hari ini, kuil atau klenteng yang dipersembahkan kepada sang jenderal agung tersebar di berbagai penjuru, termasuk klenteng yang diangun Tan Thiang Tjhing.
Lantaran salah satu anggota marga Tan mendirikan klenteng ini, maka nama klenteng ini aslinya adalah Klenteng Tan Seng Ong.
Kehidupan Tan Thiang Tjhing
Tampaknya semesta memberkati kehidupan Tan Thiang Tjhing sesudah ia mendirikan klenteng sebagai bakti kepada leluhur.
Tan Thiang Tjhing naik pangkat menjadi Kapten, menggantikan Kapitan Tan Tiang Khong yang mengundurkan diri karena usia.
Pada 1829, Tan Thiang Tjing naik lagi menjadi Mayor, menjadikannya sebagai orang Tionghoa pertama di Semarang yang mengemban pangkat tertinggi itu.
Pangkat tersebut memang pantas disematkan kepada Tan Thiang Tjing karena ia berjasa dalam melindungi nyawa penduduk Tionghoa di Semarang selama terjadinya Perang Jawa.
Pai dari Tan Thiang Tjhing yang menandai pengangkatannya sebagai Letnan dan Mayor masih dilestarikan dan dipajang berjejer di depan balai leluhur.
Sepanjang hidupnya, Tan Thiang Tjhing dikenal memiliki sifat royal.
Ia tidak segan memberi hadiah mahal kepada koleganya sebagai upaya memelihara ikatan persahabatan.
Hal inilah yang membuat nama Tan Thiang Tjhing tak hanya dikenal di Semarang, namun di tempat lainnya.
Tan Thiang Tjhing ketika masih hidup menempati rumah mewah di sisi selatan sungai Semarang yang dijuluki Gedong Gula karena dibangun di bekas gudang gula yang juga kepunyaanya.
Wilayah tempat tinggalnya berangsur-angsur berubah nama jadi Sebandaran, berasal dari kata Bandar.
Tan Thiang Tjhing dikenal sebagai bandar yang memegang banyak pacht atau konsensi.
Bermodal pacht inilah, ia mampu meraih kemakmuran yang tercermin lewat rumah dan klenteng yang didirikannya.
Tan Thiang Tjhing meninggal pada tahun 1833 sesudah menduduki jabatan mayor selama 18 tahun (Liem, 1931; 116-117).
Sayangnya, bangunan rumah indah sang mayor telah lama musnah dan dapat dikatakan Klenteng Hwie Wie Kiong tinggal satu-satunya warisan yang masih bisa dijumpai.
Lambat laun, semuar orang di luar marga Tan dapat bersembahyang di klenteng tinggalan Tan Thiang Tjhing ini.
Balai Leluhur marga Tan
Kembali ke arsitektur bangunan klenteng, beranjak ke belakang, terdapat bangunan yang khusus berfungsi sebagai Balai Leluhur untuk marga Tan.
Balai Leluhur atau istilah lainnya disebut sebagai rumah abu, tempat menyimpan papan arwah atau sin ci.
Keberadaan Balai Leluhur bertalian erat dengan kepercayaan tradisional Tiongkok.
Ketika orang Tionghoa menjunjung rasa hormat yang tinggi kepada yang sudah meningal dunia.
Mereka percaya, orang yang sudah meninggal masih memiliki kehidupan berkelanjutan.
Memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keberuntungan untuk mereka yang masih hidup di dunia.
Meja altar dan lemari berisi Sin Ci
Komponen utama dari Balai Leluhur adalah meja altar dan lemari yang berisi Sin Ci.
Selain budaya Tionghoa, Sin Ci atau papan arwah kerap dijumpai pada kebudayaan masyarakat Asia Timur lain seperti di Korea (shinwi) dan Jepang (ihai).
Papan ruh memuat nama-nama orang-orang yang sudah meninggal.
Penyusunan letak papan arwah biasanya disusun bertingkat sesuai silsilah keluarga. Tingkat yang tertinggi diperuntukan bagi leluhur paling atas.
Di depan lemari, terdapat meja altar dan deretan kursi. Pada hari-hari khusus, beragam buah-buahan, minuman, dan makanan akan disajikan di atas meja ini sebagai persembahan terhadap arwah leluhur.
Deretan kursi dibiarkan kosong karena mereka percaya bahwa arwah leluhur sedang duduk di kursi-kursi tersebut untuk menikmati persembahan.
Klenteng See Hoo Kiong
Beranjak dari Klenteng Hwie Wie Kiong. Hanya berjalan beberapa langkah ke barat. Kita akan berjumpa dengan bangunan klenteng lain, yang tak kalah megah dengan Klenteng Hwie Wie Kiong.
Klenteng itu adalah Klenteng See Hoo Kiong. Dari luar, klenteng ini juga terasa sepi.
Pekarangan depan klenteng ini jauh lebih luas dibandingkan dengan Klenteng Hwie Wie Kiong.
Pekarangan suatu klenteng umumnya bersifat profan, segala kegiatan masyarakat berlangsung di sini.
Karena itu, pekarangan depan klenteng harus bebas dari struktur permanen seperti pohon dan tiang.
Hal lain yang dapat diperhatikan dari klenteng ini adalah jumlah undakan yang lebih banyak.
Klenteng ini tampak lebih tinggi dibandingkan Klenteng Hwie Wie Kiong.
Ini menandakan bahwa Klenteng See Hoo Kiong memiliki status lebih tinggi di antara klenteng-klenteng di Semarang.
Liem Siong Djian dan Liem Kiem Ling memprakarsai pembangunan klenteng
Di antara seluruh klenteng di Pecinan Semarang, klenteng ini adalah yang paling bungsu.
Pada 1881, Liem Siong Djian dan Liem Kiem Ling memprakarsai pembangunan klenteng.
Seperti tidak mau ketinggalan dengan marga Tan, mereka berdua ingin mendirikan klenteng untuk marga mereka.
Demi mewujudkan pembangunan, anggota marga Liem mendermakan uangnya.
Klenteng marga Liem itupun akhirnya dibangun di lahan yang masih bersebelahan dengan klenteng milik marga Tan (Liem; 1931; 174).
Setelah bangunan klenteng berdiri, kemakmuran menyertai kehidupan marga Liem. Beberapa keturunan mereka sukses menjadi taipan.
Di samping klenteng ini, sisa kejayaan marga Liem yang masih dapat ditemui adalah bangunan villa Puri Gede di Candibaru, Semarang (kini Rumah Dinas Wakil Gubernur Jateng) dan villa yang kini jadi bagian dari Hotel Semesta.
Tata ruang bangunan Klenteng See Hoo Kiong
Dilihat tata ruang dan komponen bangunannya, Klenteng See Hoo Kiong bisa dikatakan sebelas-dua belas dengan Klenteng Hwie Wie Kiong.
Perbedaannya hanyalah pada hiasan nan indah yang tergurat pada kayu-kayu serta ukuran bangunan.
Nuansa Tiongkok masih melekat erat pada bagian luar Klenteng See Hoo Kiong, sama seperti Klenteng Tan Seng Ong yang bersanding di sebelahnya.
Atap klenteng memiliki bubungan atap berbentuk seperti jurai ekor walet atai yanwei yang jadi ciri arsitektur Minnan.
Di pucuk atap, bertengger dua pasang naga yang saling berhadapan menghadap sebuah bola api.
Pinggiran genting pada titisan serambi diberi penutup tabung bergelasir yang disebut liuliwa.
Genting semacam ini hanya diperuntukan untuk istana kekaisaran atau bangunan suci.
Salah satu hiasan pembeda klenteng ini adalah mural pada ambang bagian atas pintu yang menggambarkan kisah-kisah rakyat Tiongkok yang sarat dengan hikmah dan pesan.
Kaidah pembangunan klenteng
Bila mencermati, setiap bangunan klenteng terlihat seragam, hal ini karena pembangunan klenteng harus mematuhi semacam kaidah.
Hal tersebut bertujuan sebagai upaya menyelaraskan diri dengan energi yang terkandung di alam.
Kehidupan di dunia berlangsung lancar dan tidak terganggu oleh suatu halangan.
Karenanya, dibalik fisik klenteng yang indah, mengandung makna-makna yang terkait dengan kosmologi maupun falsafah orang Tionghoa.
Mengutamakan keselarasan dengan alam dan pengaturan kosmologi dalam kepercayaan mereka, dengan demikian klenteng memiliki dimensi yang tampak dan yang tidak tampak (Cangianto, 2013).
Klenteng See Hoo Kiong persembahan kepada Thian Siang Seng Boo
Klenteng See Hoo Kiong adalah bentuk persembahan kepada Thian Siang Seng Boo atau Dewi Laut. Sebutan lainnya lainnya adalah Maktjouw Poo atau Mazu.
Syahdan, pada abad ke-10 di wilayah Hokkian, hiduplah seorang perempuan bernama Liem Bik Nio, leluhur marga Liem.
Sewaktu bayi, Liem Bik Nio samasekali tidak pernah menangis seperti bayi pada umumnya.
Sesudah usia 8 tahun, keluarganya menyekolahkan Liem Bik Nio dan ternyata ia termasuk murid yang sangat cerdas.
Suatu hari, seorang pendeta Tao mendatangi ayah Liem Bik Nio. Rupanya, maksud kedatangan pendeta Tao itu adalah untuk menyampaikan bahwa Liem Bik Nio menunjukan tanda-tanda seorang calon dewa.
Saat berusia 16 tahun, di sumur rumahnya, Liem Bik Nio secara tidak sengaja menemukan sebuah kitab yang berisi ajaran kesaktian.
Dengan cepat, Liem Bik Nio menguasai isi ajaran kitab tersebut dan dari situlah Liem Bik Nio mulai memperlihatkan mukjizatnya.
Sepanjang hidupnya, Liem Bik Nio sering menolong para pelaut yang tertimpa musibah di tengah ganasnya lautan.
Liem Bik Nio akhirnya menjadi bagian dari pantheon Tiongkok dengan gelar Thian Siang Seng Boo atau Permaisuri Surga.
Pemujaan terhadap Dewa Laut amatlah penting bagi mereka yang berpergian melalui jalur laut. Seperti para pedagang dan perantau Tionghoa.
Pada masa lalu, para nelayan akan mendatangi kuil Maktjouw Poo saat musim menangkap ikan. Patung atau gambar dari Maktjouw Poo kemudian dipasang di buritan kapal.
Harapannya, mereka mendapat keselamatan dan diberkahi dengan hasil tangkapan ikan yang melimpah.
Bila ada perjalanan laut yang akan menghabiskan waktu lebih lama, maka akan diadakan arak-arakan Maktjouw Poo.
Pemujaanya menyebar luas tidak hanya di daratan Tiongkok, namun juga di wilayah perantauan orang Tionghoa seperti Semarang.
Para perantau mendirikan kuil atau klenteng sebagai rasa syukur kepada Thian Siang Seng Boo atau Maktjouw Poo yang telah memberi keselamatan perjalanan selama di lautan (Roberts, 2010;104-105).
Klenteng Hwie Wie Kiong dan Klenteng See Hoo Kiong berfungsi sebagai balai leluhur
Seperti halnya Klenteng Tan Seng Ong, Klenteng See Hoo Kiong juga merangkap fungsi sebagai balai leluhur.
Di balai leluhur tersebut, terdapat komponen yang sama sebagimana balai leluhur marga Tan, seperti lemari tempat menaruh papan sin ci dari marga Liem dan altar persembahan.
Pada dasarnya, balai leluhur adalah bangunan untuk peringatan, penghormatan leluhur, serta tempat menyelenggarakan upacara keluarga.
Sepanjang sejarah, balai leluhur dibuat dalam ukuran yang beragam.
Pada periode dinasti Qing, balai leluhur dibuat lebih besar karena sifat balai leluhur tidak hanya sebagai tempat sembahyang untuk mengenang leluhur semata, namun juga tempat berkumpulnya sanak saudara semarga.
Balai leluhur umunya, mencerminkan kekayaan dan status sosial dari suatu marga.
Karena itu, balai leluhur biasanya dibangun ketika kemampuan finansial sudah mencukupi (Knapp, 2010; 204-205).
Klenteng adalah inti dari masyarakat Tionghoa
Klenteng sebagai tempat ibadah sarat dengan nilai agama. Mulai dari fungsinya, peletakan tata ruang, hingga ragam hias di dalamnya menyimpan makna yang diyakini oleh orang Tionghoa.
Klenteng selain memiliki fungsi religious, juga melingkupi fungsi sosial dan budaya.
Dengan demikian, klenteng adalah inti dari masyarakat Tionghoa baik di perdesaan atau perkotaan.
Ketika banyak orang Tionghoa yang merantau ke wilayah luar Tiongkok seperti ke Indonesia, mereka akan mendirikan klenteng sebagai ungkapan rasa syukur kepada dewa-dewi atas melimpahnya kemakmuran dan keselamatan.
Dalam klenteng pula, dapat diamati suatu kesatuan seni. Tertuang dalam dekorasi yang mengandung simbol pengharapan dan berbagai kisah-kisah penuh hikmah.
Demikian halnya dengan keberadaan balai leluhur marga yang menyatu dengan klenteng-klenteng itu.
Dapat dikatakan, balai leluhur yang menyatu pada kedua klenteng ini menunjukan nilai semangat memelihara tali persaudaraan keluarga.
Di balai leluhur itulah, satu keluarga akan beribadah bersama untuk mengenang leluhur mereka. Dan dari sin ci yang tersimpan, mereka dapat mengenal silsilah keluarga.
Sekian tulisan ini. Layaknya mutiara yang bernilai tinggi, kita semua patut untuk menjadi kelestarian dua klenteng ini.
Referensi
Cangianto, Ardian. 2013. “Menghayati Klenteng sebagai Ekspresi Masyarakat Tionghoa” dalam web.budaya-tionghoa.net.
Heuken, Adolf. 2003. Klenteng-klenteng dan Masyarakat Tionghoa di Jakarta, Jakarta : Yayasan Cipta Loka Caraka.
Knap, Ronald G. 2010. Chinese House of Southeast Asia. Tuttle : Singapore.
Liem Thian Joe. 2004. Riwayat Semarang. Jakarta; Hasta Wahana.
Liu Weilin. 2013. Bagian-bagian dari Arsitekur Tionhoa dalam web.budaya-tionghoa.net.
Xuan Tong. 2013. “Asal Muasal Klenteng – Makna, Fungsi, dan Perkembangannya ” dalam web.budaya-tionghoa.net.
Qing-hua Guo. 2002. Visual dictionary of Chinese Architecture. Image publishing. Mulgrave, Australia.
Roberts, Jeremy. 2010. Chinese Mythology A to Z. New York : Chelsea House.
Discussion about this post