Kabar bahagia untuk Sahabat Kelana yang menyukai kisah petualangan, nuansa pedesaan, dan alam dengan kontur hutan.
Sejak tanggal 18 Mei 2020, setiap hari Senin hingga Jumat, Enggang Media selaku penerbit merilis Danum dalam kemasan cerita bersambung. Novel karya Abroorza A. Yusra ini berlatar alam dan budaya Masyarakat Uud Danum Desa Sakai, Kalimantan Barat
Menurut penulis, sebagian cerita di dalam Danum berdasarkan kisah nyata. Isinya tentang gejolak perubahan yang dihadapi oleh masyarakat pelosok di Desa Sakai.
Kawasan hutan, sungai, hingga pemukiman desa mereka terancam dicaplok perluasan lahan oleh perusahaan perkebunan sawit. Selain itu, Danum juga mengangkat budaya, keyakinan tradisional, hingga filosofi suku Uud Danum. Sebuah kisah asmara juga tersurat manis di dalamnya.
Danum mampu membawa kita berkelana ke alam yang “tersembunyi”. Dunia berbeda dari yang pernah kamu temui sebelumnya. Menawarkan nuansa keintiman hubungan antara sesama manusia, alam dan budaya.
Hingga pekan ini, Danun sudah merisilis 10 bagian cerita bersambung. Tema pertualangan dan kebudayaan dalam Danum sejalan dengan konsep Kelana Nusantara. Tim redaksi Kelana Nusantara, Penerbit Enggang Media, dan penulis, bekerja sama untuk memuat ringkasannya setiap dua minggu sekali di website Kelana Nusantara.
Awal sebuah Kisah
Cerita bermula dari Aloisius Santo yang geram terhadap perusahaan sawit, PT S berusaha mencaplok wilayah leluhurnya, Desa Sakai, dan hutan sekitarnya.
Santo mengeluhkan kondisi tersebut ke “orang-orang di Jakarta”, bahwa apa yang telah dilakukan PT S berpeluang melanggar HAM, undang-undang lingkungan, dan undang-undang tentang tata ruang.
Surat yang dikirimnya tidak kunjung dibalas. Justru, Santo dapat surat bantahan dari PT S yang meng-klaim setiap kegiatan PT S adalah bentuk pengabdian terhadap masyarakat.
“PT S melakukan semua itu. Bukit hendak digundulkan. Hutan adat tak dipedulikan. Sempadan sungai, apalagi. Kolong rumah masyarakat pun mereka masukkan ke dalam kawasan izin perkebunan. Dianggap apa masyarakat? Hantu? Masalah semakin pelik sebab bupati justru mengeluarkan keputusan mendukung PT S (Danum: Santo yang Berang – Bagian I).
Menanggapi polemik tersebut, lantas Santo bergerak, bekerja sama dengan Yayasan W, salah satu yayasan lingkungan untuk mengadakan penelitian ilmiah.
Tujuannya adalah melengkapi data-data yang dibutuhkan untuk memperkuat advokasi, agar jika sewaktu-waktu harus ke pengadilan, mereka memiliki bukti-bukti ilmiah yang objektif dan kuat.
Penyambutan di Desa Sakai
Rombongan peneliti yang didampingi oleh Santo akhirnya datang ke Desa Sakai. Kehadiran mereka disambut oleh masyarakat Desa Sakai dengan acara penyambutan tradisional. Mereka diinapkan di rumah mendiang orang tua Santo, yang kini dihuni oleh keluarga Benediktus, adik Santo.
Santo ditantang silat. Rupung kembali meladeni. Ia memang lelaki tua dan kurus, namun otot tangannya serupa batu-batu. Mereka beradu gerak. Hanya gerak. Memukul tanpa harus menempeleng, menendang tanpa harus menerjang. Sorak sorai menjadi-jadi apabila ada yang berguling-guling (Danum: Di Hovong – Bagian 4).
Di hadapan masyarakat, Santo mengutarakan maksud kedatangan rombongan ekspedisi. Ia berkisah tentang patung-patung kuno peninggalan nenek moyang Uud Danum , di antaranya Patung Katak-Kadal dan Patung Singa Berbadan Lembu.
Diperkirakan peninggalan sejarah tersebut telah ada sejak masuknya Hindu-Budha di Nusantara, di awal-awal penanggalan masehi, dan ketika kerajaan Majapahit melakukan ekspansi ke wilayah Kalimantan.
“Yang menjadi masalah, kawasan-kawasan tersebut, hutan kita, peninggalan nenek moyang kita, kita sendiri, terancam oleh perluasan lahan perkebunan sawit,” terang Santo dalam bahasa Uud Danum (Danum: Mengapa Mereka di Sini – Bagian 5).
Dua Kelompok Rombongan Ekspedisi
Selama penelitian, rombongan ekspedisi dibagi dalam dua kelompok. Kelompok yang pergi ke hutan dan kelompok yang menetap ke desa. Mereka yang pergi ke hutan beranggotakan peneliti satwa, sementara yang menetap di desa adalah peneliti budaya dan sosial-ekonomi.
Kelompok yang pergi ke hutan masuk ke dalam kawasan Hurung Haras Himbak, area yang dikeramatkan dalam kepercayaan Uud Danum.
Di kawasan ini, setiap bentuk perburuan dilarang. Batas kawasan kadang rancu, hanya ditandai oleh aliran sungai atau kelebatan hutan. Tetapi yang terpenting dari Hurung Haras Himbak bukanlah batas-batas, melainkan pendalaman spiritual.
Santo berkali-kali menyebut bahwa hutan Hurung Haras Himbak adalah surga kecil tempat tinggal para roh dan semangit. Semangit adalah roh-roh baik yang berkenan memberi perlindungan atau kesehatan (Danum: Hurung Haras Himbak – Bagian 8 ).
Percakapan di Tengah Hutan
Di hutan, percakapan-percakapan sederhana maupun berbobot ilmiah berlangsung. Rupung, warga desa yang turut serta selaku penunjuk jalan, mengisahkan tentang cara berburu dan bagaimana ia dicintai istrinya setelah ditubruk oleh babi hutan. Para peneliti, berkisah tentang semakin tingginya kasus perburuan satwa di Indonesia.
“Ingat kasus penangkapan penyelundup kepala enggang di bandara? Kepala enggang itu didapat dari perburuan di kawasan Ambalau. Dan berapa tahun pelakunya dihukum? Tidak lebih dari satu tahun…Hukum konservasi kita ini luar biasa indahnya. Tapi, memangnya ada tindakan yang adil? Padahal, bisnis jual beli satwa ini, termasuk kejahatan terbesar ketiga setelah jual orang dan narkoba. Kejahatan terbesar ketiga! Di dunia!”
“…sebagian besar orang mencari binatang-binatang itu hanya untuk tujuan gengsi, prestise. Hanya untuk prestise! Seolah dengan memajang foto sedang berburu, seolah dengan memiliki binatang-binatang itu, harkat martabat mereka di dunia dan akhirat akan naik, seolah surga dunia dan akhirat sudah menjadi dekat!” (Danum: Santapan dan Cerita di Rimba – Bagian 9).
Tentang Nadi
Sementara itu di Desa Sakai, Nadi, peneliti sastra dan budaya berusaha menggali informasi tentang budaya Uud Danum. Nadi memiliki latar belakang yang tidak menyenangkan terhadap identitas kesukuan.
Ia mengalami trauma masa kecil terhadap kefanatikan suku, akibat dari kerusuhan antar suku tahun 1998 yang berlangsung di Sambas, rumah masa kecilnya. Ia menyaksikan sendiri bagaimana pembataian dapat terjadi tanpa adanya alasan yang jelas.
Kesukuan sesungguhnya lebih kepada permainan politik dan kotak-kotak geografis…orang selalu butuh identitas, dan sebagian meletakkannya pada nilai-nilai kesukuan sebab pada kesukuan ada rumah tinggal yang menyediakan tarian, makanan, atau ritual khas. Ia memercayai itu sebagai sebuah pengetahuan, bukan sebuah keyakinan. Ia melihat semua itu dari ketinggian tertentu, seperti awan melihat daratan, sesekali turun, tetapi tidak untuk menyatu dengan tanah dan rerumputan. Dirinya tidak pernah memberi tempat pada kotak-kotak kesukuan. Kotak-kotak selalu menjengahkan diri (Danum: Hurung Haras Himbak – Bagian 8)
Nadi, Nek Ga, dan Puhtir
Narasumber utama Nadi dalam mencermati budaya dan sastra lisan Uud Danum adalah Puhtir dan Nek Ga.
Puhtir, perempuan belia, guru honorer di sekolah dasar yang ada di Desa Sakai. Nek Ga, seorang jajak, dukun adat, nenek dari Puhtir.
Bersama mereka, Nadi mendapatkan satu per satu gambaran rinci tentang kebudayaan Uud Danum. Tentang patung sopunduk, patung toras, ritual kematian, dan lain-lain.
Semua orang harus melakukan dalok jika sudah saatnya mereka mampu. Alasannya, segala upacara pengantaran arwah itu menentukan ke mana perginya arwah. Manusia yang meninggal, tidak langsung kembali ke nirwana. Lewat nosang, arwah hanya sampai ke langit. Lewat nyolat, arwah bisa duduk-duduk di pintu nirwana. Lewat dalok, arwah dapat berlenggak-lenggok, berjalan santai dan melambai bahagia sambil menapaki dunia nirwana (Danum: Sopunduk dan Toras – Bagian 6).
Nek Ga dan Puhtir juga menyampaikan tentang seni kepada Nadi. Momen berharga dalam penelitian ini adalah ketika Nek Ga menuturkan kolimoi, salah satu sastra lisan tertinggi masyarakat Uud Danum.
Kolimoi berisi tentang kisah-kisah kehidupan manusia di dunia kolimoi, dan konon telah diceritakan sebelum abad masehi. Sayangnya, keberlangsungan kolimoi terancam punah seiring dengan jumlah penuturnya yang semakin sedikit. Dari yang sedikit itu, semuanya berusia tua renta.
Di sini pun, di tempat yang jauh dari hiruk pikuk dunia, seni bisa berkembang begitu dahsyat. Suatu keindahan alamiah. Suatu kemesraan nyata pada sekitar. Suatu hasta karya yang adiluhung. Dan kadang untuk itu, mesti ada darah yang tertumpah –seandainya cerita itu benar adanya (Danum: Mahakarya – Bagian 10).
Sahabat Kelana, untuk cerita selengkapnya silakan kunjungi www.enggangmedia.com
Discussion about this post