Sahabat Kelana ada yang mulai kangen nonton di bioskop? Semoga pagebluk cepat berakhir dan semua normal kembali. Ohiya, buat yang udah nonton film Perempuan Tanah Jahanam (PTJ), masih inget kan adegan Dini ditangkap dua ajudan Ki Saptadi. Terus kulitnya dijadikan wayang, setelah mengalami penyiksaan yang mengerikan.
Isu di dalam film ini yang masih nempel adalah sebuah pertanyaan. “Emang bener ya, ada wayang kulit yang dibuat dari kulit manusia?” Relasi budaya apa yang dijadikan referensi oleh Joko Anwar dalam konteks wayang kulit manusia sebagai salah satu benang merah di film ini.
Simbol Budaya dalam Film Perempuan Tanah Jahanam
Di dalam film ini tidak dijelaskan secara eksplisit latar kejadian. Meski, simbol-simbol budaya dapat ditemukan dari penamaan tokoh, arsitektur, pakaian yang dikenakan para tokoh, dan nama desa tempat alur utama film ini terjadi.
Penamaan desa Harjosari, arsitektur bangunan desa, dan dialek bahasa yang digunakan masyarakat di dalam film secara awam lekat dengan simbol budaya tertentu. Terlebih, dijelaskan di dalam film, setiap kepala desa haruslah seorang Dalang. Begitu juga dengan nama-nama tokoh seperti Nyi Misni, Ki Saptadi, dan Ki Donowongso.
Terlepas dari elemen sadistis yang bertujuan untuk memikat penonton. Beberapa aspek di dalam film ini semakin mengerucut mengarah pada satu kebudayaan yang kental dengan simbol-simbol itu.
Wayang Kulit Manusia Mitos atau Kenyataan?
Masyarakat Jawa memiliki kecenderungan untuk menyampaikan sesuatu secara tidak langsung yaitu melalui simbol, sanepan (perumpamaan), ataupun sindiran. Gaya bahasa semacam itu sangat mengakar di dalam kehidupan masyarakat, sehingga banyak diketahui aturan tidak tertulis (Herusatoto, 1987: 86).
Otok Herum Marwoto menuliskan, di dunia pewayangan masih banyak sekali misteri-misteri yang belum terungkap, baik dalam hal kesusasteraan maupun bentuk wayangnya itu sendiri.
Rupa wayang kulit pada zaman dahulu tidaklah seperti yang kita lihat sekarang. Terutama bentuk wayang kulit sebelum peradaban modern. Termasuk material pembentuk yang terbuat dari kulit binatang.
Bahan Pembuatan Wayang Kulit
Pada zaman kerajaan Demak para Raja dan Wali di pulau Jawa gemar akan kesenian daerah termasuk wayang. Wayang bahkan jadi salah satu kesenian rakyat untuk media dakwah. Sunan Kalijaga, mengembangkan Wayang Purwa, wayang kulit bercorak Islam.
Mengenai material, menggunakan kulit binatang atau kulit lainnya masih butuh penelitian lebih lanjut. Soedarso dalam “Morfologi Wayang Kulit: Wayang Kulit dipandang dari Jurusan Bentuk,” mengutip historia.id mengatakan, berdasarkan Kakawin Arjunawiwaha gubahan Mpu Kanwa pada 1036, wayang sudah dibuat dengan memahat kulit. Sementara naskah Bhoma Kawya dan Bharatayuddha melengkapi penggambaran tentang bagaimana pertunjukkan wayang kulit dimainkan kala itu.
“Sampai pada adanya kelir, blencong, serta instrumen pengiringnya, dapat dipastikan apa yang tergambar pada 1036 itu adalah hasil perkembangan dari sesuatu yang sudah dimulai lama sebelumnya,” kata Soedarso.
Dituliskan dalam Kitab Kakawin Arjunawiwaha
Keterangan lain yang menyebutkan penggunaan kulit untuk wayang terdapat dalam kitab Kakawin Arjunawiwaha, nyanyian ke-V, bait 9, yang ditulis oleh Mpu Kanwa.
Sekitar tahun 1019-1042 masehi pada masa pemerintahan raja Airlangga di Kediri, di dalamnya terdapat bagian yang menceritakan pertunjukan wayang dengan cukup jelas.
Hanonton [sic, Hananonton] ringgit manangis asekel muda hidepan huwus wruh towin yan walulang inukir molah angucap hatur ning wang tresneng wiyasa malaha tan wihikana ri tat wan yan maya sahanahananing bhawa siluman.
“Orang yang menyaksikan pertunjukkan wayang, ada yang lalu menangis atau sedih hatinya, walaupun ia sudah tahu bahwa yang dilihatnya itu hanyalah kulit yang dipahat, dibuat seakan-akan dapat bergerak dan berbicara.” (Mangkudimeja, 1979: 142).
Wayang Kulit sebagai Sebuah Kepercayaan Masyarakat
Dalam esainya Otok menguraikan bahwa semenjak abad XI Masehi, wayang sudah menggunakan boneka dari kulit yang diukir (walulang inukir). Namun, hal ini belum menunjukkan bahwa kulit yang diukir tersebut adalah kulit binatang atau kulit yang lain.
Tahun 1500 sebelum Masehi bangsa Indonesia memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Di masa itu leluhur kita sering memanggil roh nenek moyang dengan sarana benda-benda yang sangat dekat dengan kehidupan.
Bahkan ada anggapan menggunakan sebagian dari organ tubuh yang sudah tiada, seperti tulang, kulit, rambut dan sebagainya. Berawal dari itulah ada kecenderungan fungsi wayang pada zaman itu bukan sebagai sarana upacara tradisi dan hiburan semata. Tapi, sebagai benda atau media untuk menghadirkan roh leluhur.
Mitos Keberadaan Wayang Kulit Manusia
Keberadaan wayang kulit yang terbuat dari kulit manusia hingga kini diyakini masih ada, meskipun dianggap mitos oleh masyarakat.
Film Perempuan Tanah Jahanam berhasil membawa kita pada kisah sesungguhnya narasi tentang hal ini. Saya lalu bertanya, “ini kisahnya beneran pernah terjadi gak ya, di desa-desa pedalaman Jawa?”
Mitosnya Ada Dusun Kedakan
Pertunjukan wayang kulit di Dusun Kedakan, Desa Kenalan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, salah satu wayangnya diyakini terbuat dari kulit manusia. Diwariskan secara turun temurun hingga sekarang, dipegang dan dimiliki oleh seorang dalang yang bernama bapak Sumitro.
Dipentaskan saat ada acara-acara khusus, seperti meruwat Bocah Bajang, meruwat Sukerto (anak yang bernasib sial), atau acara khusus di bulan Syawal dan bulan Safar.
Budaya Masyarakat Kedakan
Masyarakat Kedakan masih melestarikan budaya tradisi, salah satu yang dipertahankan adalah memetri desa. Aktivitas ini diadakan setahun sekali, pada bulan Safar (bulan Jawa/Islam).
Biasanya setiap kali mengadakan upacara memetri, di desa ini selalu ada pertunjukan wayang kulit keramat. Masyarakat setempat sangat menyakralkan wayang kulit ini karena ada 1 tokoh yang diyakini berbahan kulit manusia.
Sejarah Dusun Kedakan
Masyarakat Dusun Kedakan hanya mementaskan Wayang Kulit Manusia 2 kali dalam setahun, yaitu pada Safar dan Syawal, selain bulan itu tidak ada pertunjukan kepada umum. Kecuali ada permintaan dari warga masyarakat karena nadar (kaul).
Meneruskan cerita dari sesepuh sebelumnya, Sumitro kembali mengisahkan, ada tokoh agama bernama Ki Hajar yang membawa budaya wayang kulit ke Dusun Kedakan.
Nama Dusun Kedakan bermula dari kata duka, yang berarti marah. Dahulu Ki Hajar bersama teman satu perguruannya datang ke wilayah Kabupaten Magelang. Mereka sama-sama membawa seperangkat wayang beserta gamelan.
Teman satu perguruannya menetap di Dusun Windu Sabrang, Desa Wonolelo dan Ki Hajar Daka di Dusun Kedakan, Desa Kenalan. Suatu ketika ada kejadian yang membuat Ki Hajar marah atau dalam bahasa Jawa, duka. Setelah kejadian itu, di tempat Ki Hajar duka inilah, nama dusun Dakan berasal. Sekarang disebut sebagai Dusun Kedakan yang artinya tempat Ki Hajar duka (marah).
Wayang Kulit Benda Pusaka Milik Desa
Masih menurut Sumitro, ada dua kotak wayang kulit yang dimiliki Ki Hajar. Satu kotak tersimpan dalam batu. Kotak wayang kulit lainnya hingga kini masih ada di Dusun Kedakan sebagai barang pusaka milik masyarakat.
“Jadi wayang kulit ini adalah milik warga. Bukan milik perorangan, sebagai barang pusaka. Tetapi sering diaku milik orang pribadi.” Menurut Sumitro, peninggalan Ki Hajar selain wayang kulit, ada yang lain yaitu seperangkat gamelan.
Sekarang ini seperangkat gamelan peninggalan Ki Hajar keberadaannya sudah tidak menyatu dengan wayang kulit. “Ini yang menjadi keprihatianan masyarakat,” ungkap Sumitro.
Mitos Tokoh Arjuna
Struktur ‘Wayang Kulit Manusia’ khususnya pada tokoh Arjuna tidak jauh berbeda denga wayang-wayang pada umumnya. Terbuat dari bahan kulit, dipahat, dan disungging. Namun, berbeda dengan wayang-wayang yang lain, mitos yang berkembang di masyarakat bahwa wayang kulit tokoh Arjuna tersebutlah yang terbuat dari kulit manusia.
Sampai di sini, kita bisa sama-sama sepakat, film Joko Anwar berhasil membawa narasi kebudayaan Nusantara, khusus budaya masyarakat Dusun Kedakan sekitar abad XI Masehi.
Referensi :
‘Wayang Kulit Manusia antara Mitos dan Kenyataan’, karya Otok Herum Marwoto
Discussion about this post