Saat masih usia belasan, saya pernah kerja sebagai pelayan di kafe dekat kampus. Momen ini membuat saya sadar banyaknya orang yang datang dan pergi ke kafe; bukan tuk memesan dan menghabiskan makanan, tapi tuk memesan dan menyisakan makanan mereka.
Saat itu yang ada di pikiran saya bukan tentang bagaimana orang [yang merasa] kaya tidak sayang membuang-buang uang mereka, tapi kenapa banyak orang yang tidak bisa menghargai dan mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan.
Ketika itu, saya berpikir mereka bukan hanya tidak mensyukuri pemberian Tuhan, tetapi juga tidak menghargai apa yang sudah diberikan oleh para koki, barista, dan pelayan di kafe kami. Bagi saya, sisa makanan (food waste) bukan sekadar isu lingkungan, tapi sudah menyangkut isu kemanusiaan dan spiritual.
Tingkat Kelaparan di Tengah Sisa Makanan yang Terbuang
Sebagian besar sampah organik yang dihasilkan manusia berasal dari sisa-sisa makanan. Mulai dari kulit buah dan sayuran, tulang-belulang, makanan kedaluwarsa, sampai sisa makanan yang tidak habis karena kekenyangan atau sekadar lapar mata.
“Tahukah kamu berapa banyak sisa makanan yang kamu hasilkan dalam sehari?”
Menurut waste4change.com, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) menyebutkan bahwa sekitar sepertiga atau 1,3 miliar ton makanan yang diproduksi di dunia setiap tahunnya terbuang sia-sia.
Di Indonesia, hampir 13 juta ton makanan terbuang setiap tahunnya. Padahal, jumlah tersebut bisa memberi makan sekitar 28 juta orang, yaitu jumlah yang sama dengan tingkat kelaparan di Indonesia.
Tradisi Resepsi Pernikahan Penyumbang Sisa Makanan
Sampah organik salah satu penyumbang terbesar pemanasan global. Mirisnya, meskipun Amerika dianggap sebagai negara konsumtif, warganya hanya membuang hampir 277 kilogram makanan per kapita setiap tahunnya (2016).
Indonesia justru membuang lebih dari itu, yaitu sekitar 300 kilogram per orang setiap tahunnya. Lalu, ada Arab Saudi sebagai negara dengan jumlah penyumbang sampah organik terbanyak, yaitu hampir 427 kilogram makanan per orang setiap tahun.
Kenapa Indonesia dan Arab Saudi membuang begitu banyak makanan? Salah satu alasannya terletak pada tradisi upacara atau resepsi pernikahan yang berlebihan. Faktanya, 90 persen makanan yang dipasok selama upacara atau resepsi pernikahan di kedua negara tersebut berakhir di tempat sampah.
Penyumbang Terbesar Pemanasan Global
Bukan cuma sampah plastik, sampah organik juga penyumbang terbesar pemanasan global. Padahal, pengelolaan sampah organik yang benar bisa sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Kita bisa mengolahnya jadi kompos untuk menyuburkan tanah, makanan bergizi bagi hewan peliharaan, dan sumber energi terbarukan (biogas).
Sayangnya, banyak orang memilih untuk membuangnya ke tempat sampah dan membiarkan sampah organik berbaur dengan sampah lain sehingga menimbulkan reaksi anaerobik yang menghasilkan gas metana berbahaya bagi lapisan ozon.
Implikasi religius dan spiritual
“All faith communities recognize that food is miraculous.”
Membuang-buang makanan bukan sekadar isu lingkungan. Kalimat ini merepresentasikan seberapa besar rasa syukur yang bisa kita ungkapkan kepada Maha Pencipta dan Semesta yang telah memberi kehidupan.
Dalam konteks religius, beberapa agama mengaitkan membuang makanan dengan nilai-nilai keagamaan dan spiritual. Pada tulisan ini, saya hanya akan membahas implikasi religius dan spiritual dalam isu food waste terkait empat agama besar yang ada di dunia.
#1: Nilai-nilai religius dalam Alquran
Islam memandang makanan sebagai bagian dari harta. Membuang-buangnya sama saja dengan menyia-nyiakan harta. Hal ini terdapat dalam ayat Alquran dan hadis berikut:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra: 26-27)
“Sesungguhnya Allah membenci kalian karena tiga hal: kata-katanya (berita dusta), menyia-nyiakan harta, dan banyak meminta.” (HR. Bukhari)
#2: Nilai-nilai kemanusiaan dalam Injil
Sementara itu, terdapat seruan dalam Injil untuk mengelola sisa makanan dan bertanggung jawab terhadap orang-orang yang miskin dan kelaparan di sekitar kita yang berbunyi:
“Dan setelah mereka kenyang, Ia berkata kepada murid-murid-Nya: Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang.” (Yohanes 6:12)
Dalam Audiensi Umum 2013, Paus Francis menyampaikan beberapa komentar yang jelas tentang bagaimana konsumerisme telah membuat manusia terbiasa dengan pemborosan makanan sehingga tidak mampu memberikan keadilan sosial bagi masyarakat lainnya. Menurutnya, membuang makanan sama saja dengan mencuri dari orang miskin dan kelaparan.
“Consumerism has accustomed us to waste. But throwing food away is like stealing it from the poor and hungry.” – Pope Francis
#3: Nilai-nilai spiritual dalam ajaran Buddha dan Hindu
Dalam ajaran Buddha, ada yang dinamakan mindful eating atau intuitive eating, yaitu bagaimana memperlakukan makanan dengan baik. Ajaran ini tidak melarang memakan apa pun, tetapi lebih berfokus pada cara menikmati makanan bukan secara emosional, melainkan spiritual.
Inti ajaran ini adalah bagaimana manusia bisa memaknai setiap makanan tanpa mengonsumsinya secara tergesa-gesa, tidak diselingi dengan kegiatan lain (seperti bermain gawai), merasa cukup dengan apa yang dimakan, dan membina kedekatan spiritual dengan sumber makanan.
Bagaimana sebaiknya memperlakukan makanan?
Pertama, susun perencanaan untuk membuat (baca: memasak) atau membeli makanan yang dibutuhkan (bukan diinginkan). Lihat panduan pengelolaan makanan dari EPA yang berjudul Food: Too Good to Waste untuk membuat perencanaan makanan agar tidak banyak membuangnya.
Hindari mengambil makanan terlalu banyak (lebih baik nambah daripada membuangnya). Beli produk lokal di pasar tradisional untuk mengurangi emisi karbon akibat transportasi pengiriman.
Pisahkan sampah organik dari sampah lainnya. Karena sampah organik akan membusuk, sebaiknya simpan di kompartemen tertutup. Menjadi relawan kampanye lingkungan di sekitar tempat tinggalmu.
Yuk, habiskan makananmu dan kelola sampahmu!
Artikel Ini Rilis Bersama Perempuansufi
Discussion about this post