KELANA – Kehadiran moda transportasi darat, dalam hal ini kereta api/trem uap di Demak tidak lepas dari meningkatnya arus perdagangan antara Eropa dan Hindia-Belanda.
Terutama setelah pembukaan Terusan Suez pada 1869.
Investasi asing kemudian berdatangan memacu arus pertumbuhan ekonomi Hindia-Belanda.
Klenteng Hwie Wie Kiong dan Klenteng See Hoo Kiong di Pecinan Semarang
Namun, pertumbuhan ekonomi belum ditopang oleh infrastruktur yang memadai.
Jalan raya utama Groote Post Weg yang dibangun pada masa Daendels (1808-1811), akses utama yang melewati Demak ketika itu masih berwujud jalan tanah, sulit dilewati saat musim hujan.
Perbaikan berungkali pada jalan tersebut membebani keuangan pemerintah.
Sementara angkutan darat yang ada ketika itu masih berupa pedati dan perahu yang daya angkutnya terbatas.
Warisan Keluarga Schumtzer di Ganjuran, Yogyakarta
Sejak 1867 kehadiran moda transportasi kereta api di Pulau Jawa sedikit menjawab beberapa kendala.
Namun, masalah selanjutnya pembangunan jalur kereta api menghabiskan dana yang cukup tinggi, sehingga belum mampu menyambungkan jalur di beberapa wilayah.
Pantura jadi salah satu contoh, kawasan dengan potensi cukup besar, memiliki populasi penduduk yang mulai ramai dan pasar-pasar yang buka setiap harinya.
Kawasan ini juga memiliki tujuh pabrik gula yang angka produksinya lumayan tinggi.
Segala potensi tersebut belum mampu menarik perhatian pemerintah untuk membuatkan jalur kereta di sana.
Ketika itu, pemerintah masih terpaku pada pembuatan jalur kereta api pada wilayah Jawa bagian selatan danwilayah pantai utara Jawa masih belum terjangkau kereta (SJS, 1907; 9-10).
Trem uap di negeri Belanda
Menyebrang jauh ke negeri Belanda, pada rentang tahun yang sama, 1879, masyarakat mulai menggunakan moda transportasi berbasis rel, yaitu trem uap.
Trem uap sekilas menyerupai kereta api, perbedaaannya kecepatan moda transportasi ini dibatasi menurut aturan, tidak lebih dari 15 km/jam.
Karena lajunya lebih pelan, trem uap memiliki titik pemberhentian yang banyak.
Dan jadi sarana transportasi komuter di lingkungan pedesaan.
Perbedaan lainnya trem uap memiliki biaya pembangunan yang realtif lebih murah dari kereta api reguler.
Karena jalur trem dibangun dengan memanfaatkan sebagian jalan yang sudah ada, tanpa membuka jalur baru.
“Dari perkembangan transportasi di negeri Belanda sana, akhirnya tercetus gagasan untuk mendatangkan moda transportasi sejenis di Pantura sebagai jawaban untuk mengatasi keadaan perhubungan Pantura yang masih tertinggal dari tempat lainnya itu.” (SJS, 1907: 17).
Konsensi pembangunan trem uap dari Semarang hingga Juwana
Gagasan tersebut berasal dari dua pengusaha Belanda dan seorang Insinyur Inggris.
I.F. Dijkman; mantan ahli mesin di Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij yang kemudian menjadi pengusaha kayu dan kopi di Pati.
Lalu William Walker; insinyur Inggris yang juga importir mesin buatan Inggris, dan Baron G.H. Clifford;
Pengusaha perkebunan yang sudah memiliki pengetahuan mendalam soal lingkungan dan masyarakat di Hindia-Belanda (Dagblad van Zuidholland en ‘s Gravenhage, 19 Agustus 1880).
Ketiganya mengajukan konsensi pembangunan trem uap dari Semarang hingga Juwana kepada pemerintah pada 1 Desember 1870.
Dan konsensi itu akhirnya diberikan pada 18 Maret 1881 berkat dukungan Menteri Koloni saat itu, Baron van Golsten.
Untuk mewujudkan dan mengelola konsensi tersebut, maka dibentuklah maskapai Semarang Joana Stoomtram Maatchappij pada 28 September 1881.
Tahap pembangunan jalur trem SJS diawali dengan penjajakan rute, penentuan lokasi pemberhentian dan jenis lebar lintasan.
Lokomotif yang bakal digunakan, serta penggalangan dukungan dari pemerintah setempat.
Lebar trek yang dipilih menggunakan lebar 0,914 seperti yang tertuang dalam konsesi.
Kemudian, atas permohonan direktur SJS pertama, Baron v.d. Goes van Dirxland, pilihan lebar jalur berubah menjadi 1067 mm mengikuti lebar jalur yang digunakan oleh Staaspoorwegen.
Alur sejarah trem uap di Hindia-Belanda
Alur sejarah trem uap di Hindia-Belanda dimulai pada 1 Desember 1882 dengan dibukanya jalur dalam kota Semarang dari Jurnatan ke Jomblang.
SJS selanjutnya meneruskan sambungan trem ke rute luar kota Semarang hingga Juwana.
Pembangunan jalur yang berada di bawah arahan insinyur Clement Martens tersebut dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama adalah ruas Semarang-Genuk yang dibuka pada 2 Juli 1883.
Dan trem uap untuk pertama kalinya beroperasi di Demak terhitung dari dibukanya ruas Genuk-Demak pada 28 September 1883.
Dari Demak, pembangunan jalur trem diteruskan dengan ruas Demak-Kudus yang dibuka 15 Maret 1884 (Rietsma, 1916: 174).
Tahapan pembangunan jalur SJS akhirnya berhasil menyentuh sampai Joana dan dibuka untuk umum pada 19 April 1884 yang dirayakan secara meriah.
Kemeriahan pembukaan jalur trem uap Semarang
Di Demak pembukaan jalur trem uap Semarang-Joana dirayakan dengan gelaran permainan rakyat di alun-alun seperti balap karung dan panjat pinang (De Nieuwe Vorstenlanden, 25 April 1884).
Salah satu titik yang dilalui rute tersebut adalah Demak, dengan tempat pemberhentian semula diposisikan dekat dengan Pasar Bintoro.
Ini karena sejak awal, SJS sengaja menempatkan stasiun sedekat mungkin dengan pasar di wilayah kota-kota besar.
Alasannya untuk mendapatkan lebih banyak penumpang dan barang.
Pemilihan lokasi ini tidak terlalu bermasalah di tempat lain.
Hanya saja khusus di Demak, pemerintah setempat khawatir jika stasiun berdekatan dengan pasar akan menimbulkan gangguan lalu lintas.
Ditambah kemungkinan jika pedagang pasar akan menggelar dagangannya di atas rel.
Negosiasi akhirnya dilakukan oleh SJS yang berlangsung dari Januari hingga Agustus 1883.
Hasilnya, SJS diizinkan pemerintah untuk membuka stasiun di dekat pasar Demak. SJS rupanya sudah menggali karakter masyarakat Jawa saat itu.
Menurut SJS, bila ada trem yang hendak melintas dan di depannya ada kerumunan, kerumuman itu dengan sendirinya akan membuka jalan untuk trem yang akan lewat dan kembali berkeruman seperti sedia kala setelah trem melintas (SJS, 1907: 53).
Kehadiran trem uap membawa manfaat untuk Demak
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran jalur trem Semarang-Juwana yang melintasi Demak telah mendatangkan manfaat yang sangat memuaskan.
Arus perpindahan barang dan penduduk antar wilayah menjadi lebih lancar dari sebelumnya.
Sebagai lumbung padi Jawa pada saat itu, hasil dapat diangkut ke berbagai tempat dengan cepat sehingga resiko hasil panen membusuk di perjalanan dapat terhindarkan.
Di samping itu, barang-barang yang diimpor dari luar dapat didatangkan ke pedalaman sehingga masyarakat yang tinggal jauh dari pelabuhan dapat mendapatkan barang dengan mudah.
Keberadaan jalur trem uap juga dimanfaatkan oleh peziarah makam Walisango.
Mengingat makam salah satu Walisanga, Sunan Kalijaga, letaknya tidak terlampau jauh dari stasiun Demak.
Sisi lainnya berdampak negatif pada sebagian penduduk lokal
Sekalipun membawa manfaat yang cukup besar, di sisi lain kehadiran kereta api dan trem telah merampas rezeki sebagian penduduk lokal seperti yang ditulis G.D Willinck untuk harian De Locomotief, 4 September 1897.
Sebelum adanya kereta dan trem, perpindahan barang dan penumpang bergantung pada layanan pedati dan perahu yang disediakan oleh penduduk lokal.
Pendapatan sekitar ribuan gulden bisa mereka raup setiap tahunnya.
Pemilik warung pinggir jalan pun juga kecipratan sebagian rezeki dari kegiatan itu.
Namun secara tiba-tiba, kehadiran trem membuat pendapatan mereka merosot tajam.
Masyarakat berbondong-bondong beralih ke trem sebagai moda transportasi karena lebih cepat dan ongkosnya terjangkau untuk semua kalangan.
Akhirnya uang yang dulunya mengalir di antara rakyat lokal, kini semuanya terserap keluar ke negeri Belanda, ke kantung-kantung investor SJS di negeri Belanda.
Stasiun Demak semakin ramai dan berkembang
Stasiun Demak bertambah ramai seiring dibukanya jalur percabangan ke arah Godong yang mulai beroperasi pada 15 November 1888.
Kemudian pada 13 September 1894, selesailah tahapan pembangunan jalur Demak-Blora sehingga Stasiun Demak menjadi lebih ramai daripada sebelumnya.
Menginjak abad ke-20, kegiatan Stasiun Demak akhirnya menjadi lebih padat sehingga bangunan dan emplasemen stasiun Demak yang sudah ada selama ini dirasa tidak mencukupi untuk kebutuhan angkutan trem.
Karena itu, SJS memutuskan untuk membangun stasiun Demak baru di sebelah barat kota.
Pembangunan ini tertuang dalam surat permohonan kepala perwakilan SJS di Hindia-Belanda, Hendrik Jacobs, yang dialamatkan kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tertanggal 1 Desember 1912.
Meskipun wacana pembangunan stasiun kedua Demak sudah digulirkan dari tahun 1912, pembangunan stasiun akhirnya dihentikan untuk sementara pada tahun 1915 akibat Perang Dunia I sedang berkecamuk di Eropa yang menyebabkan tersendanya pasokan barang dari luar.
Setelah tertunda beberapa waktu, pembangunan stasiun baru Demak kembali dilanjutkan pada bulan November 1919.
Insinyur yang bertanggungjawab atas pembangunan stasiun adalah insinyur Sehonevegel dan rancangannya bangunan stasiun dibuat oleh arsitek Van Leeuwen.
Sementara proses pembangunannya diawasi oleh seorang pribumi bernama Widagdi. (De Locomotief, 26 April 1921).
Pesta peresmian stasium Demak Baru
Pada malam tanggal 25 April 1921 pukul tujuh kurang seperempat, sebuah rangkaian trem uap berangkat meninggalkan Stasiun Jurnatan Semarang menuju ke arah Demak.
Trem tersebut mengangkut rombongan tamu undangan yang pada malam itu berkesempatan untuk menyaksikan seremoni peresmian stasiun Demak Baru.
Di dalam rombongan itu, tampak wakil direktur SJS, van Alphen.
Setelah menempuh perjalanan selama 45 menit, tibalah mereka di Stasiun Demak Baru yang telah dihiasi dengan aneka dekorasi.
Pesta peresmian tersebut berlangsung sampai pukul sebelas malam.
Keesokan harinya, Stasiun Demak Baru mulai dibuka untuk umum dan operasional Stasiun Demak lama dipindahkan ke stasiun baru.
Saat baru pertama kali dibuka, sempat ada keluhan dari masyarakat karena jarak stasiun yang baru terlampau jauh dari pusat kota Demak.
Ini karena adanya perubahan konsep pembangunan stasiun yang dibuat oleh SJS.
Jika awalnya SJS sengaja membangun stasiun sedekat mungkin dengan permukiman atau pusat perekonomian.
Maka belakangan SJS memutuskan untuk membangun stasiun baru yang letaknya lebih ke pinggiran.
Lingkungan sekitar Stasiun Demak Baru saat itu masih berupa lahan kosong yang belum berpenghuni.
Dengan keadaan seperti itu, maka SJS dapat membangun gedung stasiun baru yang lebih besar disertai dengan sarana penunjang lainnya.
Meskipun lokasinya sudah berpindah, tata letak stasiun Demak Baru tidak memiliki perbedaan dari perletakan sebelumnya.
Dari segi tata ruang, baik stasiun lama maupun stasiun baru berorientasi pada Jalan Raya Pos yang membelah kota Demak.
Bedanya hanyalah stasiun yang baru diberikan jarak beberapa meter dari jalan raya, tidak seperti stasiun sebelumnya yang berhimpitan langsung dengan jalan raya.
Identitas arsitektur bangunan stasiun Demak Baru
Ciri khas dari bangunan Stasiun Demak adanya atap bentuknya meniru atap Masjid Agung Demak.
Kemudian dibangun jalan penghubung ke jalan raya utama, untuk memancarkan kesan monumental ke seluruh penjuru kota.
Di ujung jalan penghubung yang tegak lurus itulah ditempatkan bangunan stasiun.
Sesudah Stasiun Demak kedua beroperasi, jalur trem dalam kota Demak ditutup dan dialihkan agak ke pinggir.
Tujuannya untuk mengurangi jumlah perlintasan rel dengan jalan utama kota yang seringkali menjadi penghambat arus lalu lintas.
Bangunan Stasiun Demak Baru dibuat berbeda dari pendahulunya.
Bangunan stasiun Demak yang pertama bentuknya berupa peron terbuka tempat penumpang menunggu trem dan di ujung perong ada bangunan kecil untuk kantor.
Tiang dan dinding kedua bangunan tersebut masih terbuat dari kayu.
Sementara bangunan Stasiun Demak Baru bangunannya sudah berdinding bata dan tiang-tiang penyangga atap peronnya terbuat dari besi.
Melangkah ke dalam Stasiun Demak Baru, pengunjung akan melalui ruang depan dengan langit-langit terbuat dari kayu.
Dan dilengkapi dengan deretan jendela kaca sebagai sumber pencahayaan.
Ruang depan ini dahulu adalah tempat penumpang trem uap membeli tiket.
Di sebelah kanan-kiri ruang depan adalah ruang kantor pegawai stasiun.
Di belakang bangunan stasiun, terdapat bekas peron stasiun yang masih dapat dijumpai tegel-tegel lama yang kondisinya sudah rusak.
Bagian ini aslinya dipayungi oleh atap overkapping yang memanjang.
Di bawah bentang atap tersebut berjajar empat lajur rel.
Dua lajur untuk jalur Semarang-Kudus, satu lajur untuk jalur Demak-Purwodadi, dan satu lajur lainnya untuk angkutan barang.
Atap overkapping tersebut masih berdiri di tempatnya hingga tahun 1990an sebelum akhirnya hilang tak berbekas.
Bagian lain yang sudah hilang jejaknya adalah depo lokomotif yang dahulu ada di sebelah barat.
Meskipun sudah ada beberapa bangunan penunjang yang lenyap, untungnya ada bangunan penunjang lain yang masih tersisa seperti menara air, gudang, dan rumah dinas pegawai.
Berakhirnya masa jaya trem uap di Demak
Situasi angkutan trem uap di Demak mulai memasuki masa sulit sesudah tahun 1930.
Karena persaingan dengan moda angkutan truk dan bus yang saat itu mulai bertambah banyak.
Saldo SJS terus menujukan angka rugi meski jumlah personelnya sudah dikurangi dan gaji pegawai dipangkas.
Kondisi semakin bertambah berat pada masa pendudukan Jepang.
Satu persatu pejabat SJS diinternir dan pengelolaan angkutan kereta dan trem uap diambilalih oleh militer Jepang.
Sejumlah jalur ditutup dan Jepang mencopot rel untuk dipindahkan ke tempat lain.
Salah satu jalur yang hampir ditutup Jepang adalah jalur Demak-Blora dengan alasan sudah ada jalur kereta Semarang-Cepu.
Untungnya jalur tersebut urung ditutup setelah insinyur SJS, Ir. M.Ph. Broekhuijsen berhasil meyakinkan kepada kepala perkeretapian Jepang saat itu, Mayor Asaya, bahwa rel jalur Demak-Blora beratnya terlalu ringan dan usianya sudah tua.
Setelah kemerdekaan, situasi politik yang masih tidak menentu membuat pengelolaan jalur trem uap SJS belum dapat pulih.
Alih-alih SJS disatukan dengan maskapai kereta lain menjadi satu badan perkeretapian milik Belanda bernama Vereenigde Spoorweg sebelum akhirnya dilebur ke Djawatan Kereta Api (Broekhuisjen, 1947; 414).
Stasiun Demak akhirnya purna tugas seiring ditutupnya jalur kereta Semarang-Rembang pada tahun 1986.
Berbagai sebab di antaranya karena prasarana yang sudah uzur, banyaknya penumpang gelap, serta kalah bersaing dengan kendaraan pribadi dan angkutan bis.
Tidak lagi terdengar deru mesin trem uap tiad bergema di peronnya.
Setelah 65 tahun pengabdian dalam melayani penumpang, Stasiun Demak kini sedang tertidur untuk selamanya.***
Sumber:
Broekhuijsen, M. Ph.1947. “De Samarang Joana Stoomtram-maatscliappij 1882-1947” dalam Spoor en Tramwegen No. 26, 10 Desember 1947 hlm. 411-416.
Rietsma, S. A. 1916. Indische Spoorweg Politiek Deel I. Batavia : Landsdrukkerij.
Semarang Joana Stoomtram Maatschappij. 1907. De Tramwegen op Java. ‘S-Gravenhage : Kon. Ned. Boek – en Kunsthandel van M. M. Couvee
Dagblad van Zuidholland en ‘s Gravenhage, 19 Agustus 1880
De Nieuwe Vorstenlanden, 25 April 1884
De Locomotief, 4 September 1897
De Locomotief, 26 April 1921.
Discussion about this post