Memotret hubungan antara alam dan manusia, yang berpagut dan berpilin, tidak segampang yang dibayangkan. Seorang fotografer, tidak cukup hanya berkunjung ke hutan, jepret sana sini, lalu selesai. Jika hal itu yang menjadi tolok ukur kapasitas seorang fotografer, terutama yang berorientasi pada wildlife photography, tentu yang tercipta hanya karya-karya dangkal.
Saya berjumpa beberapa orang yang mampu memotret dengan menyadari elemen-elemen penting dari hubungan antara alam dan budaya, menjadikan karya-karya hasil bidikan mereka tidak berbatas pada estetika atau eksotisme alam belaka.
Mereka turut merasakan esensi atau setidaknya nilai-nilai yang mungkin diraih dari kondisi alam. Satu di antara beberapa orang (yang sedikit itu) adalah Sugeng Hendratno.
Kami Biasa Memanggilnya Babe
Babe, begitu saya dan sahabat-sahabatnya kerap memanggilnya. Ia adalah fotografer dari Kalimantan Barat yang mengabdikan diri pada kerja konservasi alam. Sebelum mengenal dunia fotografi, ia menggeluti seni lukis. Pernah menempuh pendidikan formal di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) di Jogjakarta namun tidak selesai.
Sekembalinya ke Pontianak, ia kerap diundang oleh hotel-hotel untuk mendekorasi atau melukis. Suatu kali, salah satu hotel membeli kamera dan Babe diminta untuk mendokumentasikan acara-acara hotel dengan kamera tersebut. Sejak saat itu fotografi dan dirinya menjadi dua hal yang saling bertaut.
Beberapa tahun berkarya di hotel, Babe lalu memutuskan meniti jalan baru. Ia pergi ke pelosok Kalimantan, Rumah Betang Ensaid Panjang, Sintang untuk mendokumentasikan budaya masyarakat Iban di sana.
Agaknya, dari sini, hasrat murni seorang Babe semakin meluap. Budaya dan alam menjadi motivasi utamanya menekan tombol shutter. Mulai dari tahun 2003, ia jarang di rumah karena lebih banyak pergi ke pelosok Kalimantan.
Pilihan Hidup Babe di Dunia Wildlife Photography
Pilihan hidupnya didukung oleh kesempatan-kesempatan untuk turut serta dalam ekspedisi WWF-Indonesia selaku yayasan lingkungan. Kawasan Heart of Borneo (kawasan lindung inisiasi tiga negara: Indonesia, Malaysia, Brunei, yang luasnya sekitar 2 juta hektar) mungkin sudah ia jelajahi tiap sudutnya.
Hutan telah menjadi rumah keduanya. Ia selalu menjadi fotografer pilihan utama bila akan dilakukan ekspedisi dokumentasi satwa-satwa, dari orangutan di perbukitan hingga pesut di kawasan pesisir.
Perannya dalam mengembangkan fotografi di Kalimantan Barat juga tidak kecil. Ia pernah mendirikan Pontianak Fotografi dan School of Rock. Fotografer maupun videografer muda binaannya hampir mencapai seratus orang.
Karya Fotografi Babe
Bicara soal karya, foto-foto Babe selalu mengandung makna yang kuat. Ada dua foto Babe yang masih membekas di kepala saya hingga hari ini.
Pertama, foto orangutan yang tengah menggendong anak. Foto tersebut berlokasi di Teluk Aur, Kapuas Hulu.
Kedua, foto seorang ibu yang sedang berendam setengah badan dengan anaknya. Si anak yang berusia di bawah lima tahun, mendekap tubuh dengan erat, seolah takut dengan dingin air, namun sang ibu justru beraut wajah bahagia.
Lewat karya tersebut Babe seolah berpesan, “Sehebat apapun budaya dan peradaban yang kita bangun, mustahil untuk memisahkan diri dari alam.”
Ia pernah berkata, bahwa dalam berkarya, antara pikiran dan hati harus seiring sejalan, sebab karya menjadi wakil atas pemaknaan diri si seniman.
Saya kira, prinsip seperti itu yang membuat karya-karya Babe memiliki kekuatan. Karya-karyanya tidak lahir dari sekedar jepretan pada kamera, namun juga pengetahuan, pengalaman, kelana-kelana ke hutan, keakraban dengan hampir semua orang yang berjumpa dengannya.
Selamat Jalan Babe
Sekali waktu saya pergi bersamanya menuju kawasan pesisir Batu Ampar, Kubu Raya untuk hunting satwa. Sejak subuh, kami sudah harus beranjak dari tempat menginap. Menelusuri cabang-cabang sungai dengan perlahan. Mesin klotok (kapal air) dimatikan agar tidak menakuti satwa apapun.
Selama hunting, Babe memerhatikan dengan cermat ke sekitar. Beberapa burung tertangkap mata, tetapi Babe tidak tergesa-gesa mengangkat kamera. Ia tetap berdiam diri saja, seolah meresapi alam, menyatukan dirinya dengan udara dan hutan bakau.
Akhirnya, pada momen tertentu, seakan mendapat isyarat dari alam, jari-jari dan kamera Babe mulai berkerja.
Agustus 2019, Babe berpulang. Usianya belum lagi mencapai enam puluh. Mereka yang mengiring kepergiannya, datang langsung ke pemakaman maupun dengan doa-doa dari kejauhan. Merasakan kesedihan yang mendalam. Babe dikenal sebagai manusia yang mudah bergaul, dari masyarakat kampung hingga pejabat tinggi, dari anak kecil hingga orang-orang tua.
Tribute to Sugeng Hendratno
Pada 13-15 Desember 2019, diadakan acara A Tribute to Sugeng Hendratno. Agenda utamanya, launching buku fotografi “Eksotik Borneo, Seni Mata Melihat ala Sugeng Hendratno” dan pameran foto karya-karya Babe.
Acara berlangsung di Canopy Centre Pontianak. Mereka yang hadir, berasal dari berbagai latar, seperti NGO, komunitas-komunitas fotografi dan lingkungan, seniman, pemerintah, pihak hotel, para akademisi, hingga perwakilan masyarakat Ensaid Panjang.
Buku dicetak dua kali. Beberapa pihak hotel menawarkan pameran serupa di hotel mereka. Para musisi menampilkan performa musik hingga larut malam. Tokoh adat Ensaid Panjang melantunkan bekana, syair-syair berbahasa Iban yang mengandung wejangan-wejangan hidup.
Semua itu dipersembahkan untuk Babe, menunjukkan bahwa arti hidupnya berbekas dalam memori tiap orang. Ia tidak usang walau raganya telah berpulang. Ars Longa, Vita Betis.
Seni itu panjang, hidup itu singkat. Kiranya, hal itu pantas disematkan kepada seorang Sugeng Hendratno.
Discussion about this post