Sebelumnya Baca: Welcome to Raja Ampat (Babak II, Bagian IV)
Kampung Pam sudah di depan mata. Terik matahari menyilaukan pandangan kami. Di kejauhan terlihat pulau seperti berpagarkan pepohonan kelapa.
Suara ombak bergesekan dengan pecahan karang, semua orkestrasi alam di pulau kecil ini begitu identik dan terus terekam di dalam ingatan.
Kami kemudian, menuruni perahu viber Paitua. Menapaki runcingnya pasir putih bercampur pecahan karang kecil-kecil.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki saya melihat anak-anak kecil sedang duduk-duduk di pondok.
Selayang pandang kemudian, kami langsung menuju rumah Bapa Saul Urbasa yang ditempati anaknya, Kak Gatrija Urbasa.
Tiba di Kampung Pam, kami meminta izin untuk tinggal

Tanah berpasir, perkampungan dengan jarak rumah jarang-jarang teramat asing bagi saya. Rasa syukur dan perasaan tenang bertambah ketika kaka Gatrija, putri pertama bapa Saul Urbasa menyambut kami di rumahnya.
Gesit pergerakan kami saat itu, tidak memilih beristirahat, melainkan langsung minta diantar ke rumah kepala kampung oleh Pace Maikel Fakdawer, sesuai dengan pesan Bapa Saul Urbasa di hari sebelumnya. Berteman obrolan tersebut kami sampai di kantor kepala kampung.
Kami dipersilakan duduk, pace Maikel memberi pengantar kepada Kepala Kampung. Kemudian, Sufy memperkenalkan diri, menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan sambil memberi selembar lampiran surat dari kampus dan berkas lainnya.
“Perkenalkan bapak, nama saya Sufy, dari kampus Universitas Padjdaran, saat ini saya sedang menyusun tesis dengan tema “Kehidupan Masyarakat Pesisir Raja Ampat”.
Fokusnya mengenai sektor Ekonomi, Bapa.” Terang Sufy, kemudian berlanjut memperkenalkan saya dengan bapa Kepala Kampung.
“Ini Deni Rajid teman saya yang akan membantu penelitian selama di kampung Pam, Bapa, untuk itu saya memohon ijin untuk beberapa hari ke depan kami akan banyak berkeliling di sekitaran kampung.” jelas Sufy memberi tahu nama saya, sesuai dengan isi surat penelitian yang tertera.
“Iya Ade, Bapak dengan senang hati menerima kedatangan kalian, silahkan berkeliling kampung, nanti bapa memberi tahu masyarakat Toh,” ujar bapa Kepala Kampung.
“Cuman pesan dari bapak satu saja Ade, jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan saja,” lanjutnya menyisipi amanat, sekaligus mengakhiri percakapan.
“Terima kasih banyak Bapa sudah menerima, di sini kami tinggal di rumah Bapa Saul Urbasa, saya pamit dulu kesana bapak ya, mungkin besok sudah mulai berbaur dengan masyarakat,” tutup Sufy mengakhiri. Lalu kami bertiga kembali menuju tempat singgah.
Kampung ini mengembalikan ingatan ke tahun 90an

Hari pertama menginjakan kaki di Kampung Pam, Kepulauan Raja Ampat saya masih terhanyut keheningan serta perasaan yang membawa pada ruang dan waktu di tahun 90an.
Ramah tamah para tetangga saat saling bertukar cakap di beranda rumah kaka Gatrija mengingatkan pada masa kecil saya. Kemudian kami saling bertukar tanya seputar Jawa dan Papua.
Semburat senja muncul ketika kami berkeliling, hingga sampai di persimpangan jalan kami menjumpai aktivitas masak-memasak masyarakat. Tungku berada di halaman rumah dengan kayu bakar menyala selaras dengan latar jingga lautan yang mengintip di balik ranting pepohonan.
Saya mengobrol sejenak dengan masyarakat Kampung Pam, dan mendapat pengetahuan baru. Ternyata, selain berfungsi untuk memasak, asap tungku digunakan untuk mengurangi Agas.
Agas, masuk dalam suborder Nematocera, belakang saya ketahui langsung ketika memerhatikan kulit anak-anak kecil di sekitar kampung. Agas dapat membawa bakteri yang bila terkena gigitan akan membuat kulit sangat gatal dan memicu untuk digaruk. Luka hasil garukan inilah yang dapat menyebabkan bengkak merah hingga bernanah.
Pikir saya, Agas jadi ancaman yang tidak bisa diremehkan.
Kami kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri jalan setapak untuk sejenak menikmati semburat senja yang perlahan meredup di dermaga. Memutar balik suasana menuju kegelapan seisi kampung.
Setelah mulai gelap, kami pulang menapaki jalur setapak perkampungan. Beberapa meter dari dermaga depan, kami menyusuri blok pertama yang membentang lurus dengan halaman berpasir.
Sampai di blok kedua yang berada di tengah perkampungan. Kami menjumpai rumah beratapkan asbes saling berhadapan. Ketika gelap tiba Dong (Mereka) duduk-duduk di beranda rumah berdendang samar bunyi generator dari setiap ruang.
Merenungi kehidupan masyarakat Kampung Pam
Kami kemudian tiba di rumah Ka Gatrija, letaknya berada di blok terakhir berbatasan dengan lahan tidak berpenghuni penuh ditumbuhi pohon kelapa
Di rumah, kami membersihkan diri. Lokasi kamar mandi berada di luar, Rembulan menyinari perkampungan, beratapkan langit hitam bertabur bintang.
Momen langka ini tidak lantas saya abaikan, seusai membersihkan diri saya duduk di beranda dapur di antara rumah besar kaka Gatrija. Merenungi setiap jengkal kehidupan masyarakat Kampung Pam. Tidak lama Sufy datang dan kami terhanyut dalam obrolan.
Obrolan santai di malam sunyi teralihkan oleh ajakan Pace Maikel. “Ayo ikut tidak mas ada acara makan besar masyarakat kampung?”, terdengar nyaring suara Pace.
“Hayu mang urang kaditu” (ayo mang kita kesana) ajak Sufy. “Sigana urang didieu wae mang” (kayanya saya di sini saja mang).
Listrik jadi masalah klasik di kampung ini
Tidak lama berselang, Kaka Manoa datang menghampiri. Kaka Manoa ini adalah calon suami Kak Gatrija.
Ia kebetulan baru selesai membenahi Panel Surya sumber penerangan yang digunakan masyarakat kampung selain generator (genset).
Setelah santai kami duduk bersebelahan dan saya memulai obrolan, “Kaka kalau tiang listrik dan kabel PLN sudah dari kapan dipasangnya?”
“Ah itu baru-baru saja mas, 2018 kah kalau tidak salah”, timpalnya. Kaka Manoa juga memberi tahu sampai sekarang listrik belum beroprasi, sehingga masyarakat belum bisa menikmati.
Padahal fasilitas seperti tiang dan kabel-kabel sudah berdiri kokoh, tapi masih dibiarkan begitu saja.
Tidak heran hampir seluruh masyarakat kampung jika gelap tiba banyak menghabiskan waktu di beranda teras. Jika dirasa sudah mengantuk dan Agas sudah berkurang, baru Dong bisa tidur tenang di dalam rumah.
Tidak semua rumah memiliki generator untuk mengalirkan listrik. Beberapa yang beruntung harus menghabiskan 5 liter bensin untuk menerangi rumah selama semalam.
Beruntung, harga satu liter bensin Rp10.000 masih mampu dijangkau masyarakat. Itupun dapat dibayangkan, untuk tidur nyaman saja harus menyiapkan uang Rp50.000.
Beban listrik cukup mencekik bagi masyarakat, ditambah untuk keluarga yang memiliki balita di rumah. Kalau sampai kehabisan persediaan bensin, keberadaan Agas cukup mengganggu jam tidur.
Apalagi tidak semua keluarga mampu membeli generator dan bahan bakar untuk aliran listrik.
Saya mulai mempelajari setiap sudut kampung ini
21 April 2019, hari kedua di Kampung ini. Saat itu kami sedang di dapur menghangatkan badan di tungku, sedang Ka Gatrija, Pace Manoa, dan Dille (anak perempuan dari Williem) bersiap akan berangkat ke Biak, Papua Barat.
Mengenai hal ini sudah disampaikan oleh ka Gatrija kemarin, tidak lama setelah kami sampai.
“Kaka sa (saya) su (sudah) selesai menyimpan (beberes), sebentar sa jalan. Jadi Kaka, sa titip rumah ee, nanti kalau ada apa-apa bilang Pace Maikel saja, sa su bilang sama pace, anggap saja rumah sendiri ee”, pesan kak Gatrija Urbasa.
Di hari yang sama, Sufy juga harus berpisah dengan saya setelah mendapat kabar dadakan.
“Mang urang neangan datana di Piaynemo nya, mang didieu okay” (mang saya mencari datanya di Piaynemo ya, mang di sini okay), sambil mengemas peralatan bertahan hidup Sufy menyampaikan pesan itu.
“Siap mang, berkabar weh mang” (okay mang, saling kasih kabar saja ya mang).
“Okay mang, oh enya mang lamun arek cek-cek sinyal, ke amang teangan nepi ka manggih papan leutik. Eta cirina mah, ayana di tempat tertentu, tah didinya anu ayaan sinyal mah, engke cek-cek sms di urang nya mang” (okay mang, oh iya mang kalau mau cek-cek sinyal, nanti mang cari sampain nemu papan kecil, itu tandanya, adanya di tempat tertentu mang, nah di sana yang ada sinyalnya, nanti cek-cek sms dari saya ya mang), terang Sufy.
“okay mang”
“Mang ieu nasi ransum ku urang dibeukel nya, jeung nginjeum sarung mang” (Mang ini nasi ransumnya dibawa ya, sama pinjam sarung mang”), pesan terakhir sebelum pergi dan terlihat tergesa karena sudah dinanti oleh masyarakat Pam yang akan ke pulau Piaynemo.
“Okay mang bawa weh“ (okay mang bawa saja)




























Discussion about this post