Bagi Kang Hawe, arus mudik adalah istilah yang aneh, karena arus artinya gerak air dan mudik adalah bergerak menuju udik (hulu sungai).
Coba bayangkan air bergerak ke hulu sungai. Ini bertentangan dengan hukum alam. Tapi, inilah keajaiban bahasa karena sifatnya yang ‘manasuka’. Apalagi jika sudah jadi keseharian.
Berusaha untuk menggugat istilah tersebut, kemungkinan besar bakal dicuekin atau malah bakal kena rundung.
Bagi kebanyakan orang istilah yang sudah mapan tidak perlu digugat apa lagi dirubah—karena, mengutip Kang Hawe, “yang sudah enak, buat apa dipermak” (Setiawan, 2018).
Membahas tentang mudik, saya jadi ingat biasa melakukannya ketika ke Majalaya. Jaraknya lumayan dekat sekitar 45 menit perjalanan menggunakan sepeda motor.
Perjalanan mudik ke Majalengka

Tapi tahun ini, saya harus urung melakukannya karena sejak beberapa bulan yang lalu, ibu harus merawat nenek yang sakit di Bandung. Beruntung istri saya mudik ke Majalengka jadi saya bisa ikut.
Kami memutuskan pergi pada hari ketiga setelah Lebaran dengan menggunakan sepeda motor. Demi menghindari kemacetan yang bisa bikin kepala pening.
Ini adalah pengalaman pertama kami berpergian jauh menggunakan sepeda motor.
Berangkat dari Bandung selepas subuh. Di tengah perjalanan, ternyata, Jl. Soekarno-Hatta sudah ramai sekali. Padahal matahari belum nongol. Kami jadi was-was dibuatnya.
Matahari akhirnya nongol saat kami berada di simpang Cileunyi. Di sana, keramaian terurai. Hati kami jadi sedikit tenang.
Perjalanan dari Jatinangor ke Sumedang lancar sekali. Hanya di Tanjungsari perjalanan rada mendet dan selebihnya lancar jaya.
Merasa ada ikatan batin dengan kota Sumedang

Seperti biasa, setiap kali sampai di Cadas Pangeran tepatnya di sekitar daerah Ciherang saya selalu menoleh ke arah kiri. Melihat dua patung yang saling berjabat dengan tangan kirinya masing-masing.
Kedua sosok tersebut adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda ke-36, Herman Willem Daendels dan Bupati Sumedang Pangeran Kusumadinata IX, atau lebih dikenal dengan nama Pangeran Kornel.
Patung tersebut dibuat sekitar awal tahun 80an oleh Sutarja, Bupati Sumedang ke-49 untuk mengenang heroisme Pangeran Kornel ketika menguggat kebijakan kerja paksa yang dilakukan oleh Daendels.
Setibanya di Sumedang, kami lumayan kaget melihat sampah yang berceceran seenaknya. Bahkan di alun-alun, kami dibuat lebih kaget lagi dengan banyaknya pedangan kaki lima yang mangkal di sana. Tadinya mau berhenti tapi melihat keramaian keterlaluan itu akhirnya kami terus jalan.
Saya selalu merasa ada ikatan batin dengan kota Sumedang. Pertama, moyang bapak berasal dari sini dan kedua nama saya diambil dari tugu yang berada di alun-alun Sumedang.
Karena lumayan lapar, akhirnya kami berhenti di daerah Cimalaka. Tapi karena tahunya baru banget digoreng dan banyak sekali orang yang mengantri, kami cuma makan leupuet dan melanjutkan perjalanan.
Di sepanjang perjalanan menuju Majalengka hati saya tidak karuan karena gagal mencicipi tahu Sumedang. Konon, tahu Sumedang dilahirkan dari eksperimen Ong Kino. Seorang imigran asal Tiongkok yang diteruskan oleh anaknya, Ong Bung Keng.
Dari tangan Ong Bung Keng inilah tahu warisan bapaknya jadi wabah yang menjalar ke seluruh penjuru kota Sumedang—bahkan sampai ke perbatasan Majalengka.
Majalengka, kota kecil kaya sejarah

Setibanya di Kadipaten, udara yang awalnya sejuk berubah agak panas. Ketika sampai di Majalengka, udara panas yang lembap langsung menyambut kami. Padahal saat itu masih pagi sekitar jam delapan lebih sedikit.
Majalengka adalah kota kecil dengan sejarah yang mengagumkan. Konon, Prabu Siliwangi pernah bertahta di sana. Sepeninggalnya wilayah ini dikuasai oleh berbagai kerajaan.
Hari ini, patilasan-patilasan Prabu Siliwangi dan kerajaan lainnya tidak pernah sepi dari wisatawan.
Saya pernah ngobrol santai dengan seseorang yang mengaku keturunan Prabu Siliwangi. Beliau konon berhasil menemukan gerbang keraton sang Prabu di Majalengka. Hanya saja wujudnya tidak dapat langsung dilihat alias gaib. Busyet!
Bagi yang menekuni sejarah kasundaan tentu sering berhadapan dengan pertanyaan ini, “Jika memang pernah ada kerajaan ini itu, mana buktinya? Di mana keratonnya? Mana sisa-sisa keratonnya? Mana artefak-artefaknya?”
Saya selalu memburu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Sejauh ini, jawaban yang saya dapat kurang memuaskan. Dalam sebuah obrolan, pak Isa pernah mengajukan pendapat yang menarik.
Baginya, selain disebabkan oleh bencana alam, bisa saja keraton-keraton di tanah Sunda dibumihangsukan sampai rata dengan tanah oleh musuh-musuhnya.
Tapi pak Isa, begitu juga saya hingga hari ini masih terus mencari-cari jawaban-jawaban yang sekiranya dapat menutup salah satu lubang sejarah yang sering mengganggu tidur itu.
Selain hal-hal mengagumkan di atas, Majalengka juga dikenal sebagai salah satu puser seni budaya sunda dan jangan lupa, kota ini juga banyak melahirkan para cendikiawan seperti Alm. Ayatrohaedi dan Ajip Rosidi.
Setelah bersalaman, berbincang, dan tentu saja makan. Sekitar jam 11 siang kami memutuskan untuk pulang. Perjalanan dari Majalengka ke arah Sumedang lancar tapi ketika akan masuk ke Sumedang kota, kami disuguhi kemacetan yang cukup menyebalkan.
Baru sekitar jam setengah dua kami sampai di Sumedang kota dan langsung mencari tempat ngopi yang adem.
Mampir ke rumah uwa Usup yang konon punya elmu Halimun
Sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandung, kami mampir ke rumah uwa saya yang berjarak sekitar satu kilometer dari Sumedang kota. Uwa Usup menyambut kami dengan hangat dan uwa istri langsung menyuruh kami makan.
Uwa Usup adalah pribadi yang menyenangkan begitu juga istrinya. Sebelum pensiun, beliau berkerja sebagai pemborong.
Pada akhir tahun 60an beliau pernah jadi Pegawai Negeri Sipil tetapi tidak berselang lama mengundurkan diri karena tidak sudi jika rambut gondrongnya dipangkas pendek.
Kata bapak saya, uwa Usup dulunya seorang begundal tukang berantem yang disegani di daerah Kiaracondong.
Bahkan pernah baku pukul dengan serorang perwira tentara. Kejadian ini yang membuat gempar keluarga, karena beberapa hari setelahnya rumah Alm. aki Ishak dilabrak aparat.
Saat itu Uwa Usup ada di rumah tapi anehnya mereka tidak berhasil menemukannya. Konon, uwa Usup punya elmu halimun—bisa menghilang! Ketika saya tanyakan langsung, beliau hanya terkekeh sambil berkata, “Ah, ceuk saha eta?”
Menelusuri trah keluarga Ayah
Sambil makan saya bertanya tentang silsilah keluarga kami. Beliau menjelaskan setengah lupa. Pokoknya, dulu, karuhun kami adalah kuwu di daerah itu.
Uwa berbicara banyak soal Alm. Kakek. Katanya, Aki Ishak adalah seorang manusia yang pintar. Saya ingat, beliau pernah membacakan saya semacam ensiklopedia dalam bahasa Jerman dan Belanda.
Koleksi bukunya juga banyak dan sekarang saya mewarisinya. Hal yang paling menarik dari Alm. Kakek adalah perjalanan spiritualnya. Beliau pernah keluar masuk berbagai agama dan aliran kepercayan.
Saya menduga beliau pernah ikutan juga gerakan teosofi yang sempat popular di Bandung. Tetapi, setelah bapak saya lahir, beliau konsisten mendalami sufisme Al-Ghazali sampai akhir hayatnya.
Sekitar jam setengah empat, kami pamit dan melanjutkan perjalanan. Sumedang menuju Bandung ramai lancar berkat kesigapan aparat kepolisian dalam merekayasa lalu lintas.
Menelusuri trah keluarga Ibu
Di perjalanan pulang, saya lumayan nelangsa tidak bisa mudik ke Majalaya. Sejak kecil saya tinggal sana bersama kakek dan nenek dari Ibu.
Saya merasa sangat beruntung dan beryukur sempat tinggal bersama beliau. Karena, bagi saya, Alm. Kakek, AS Partawijaya adalah orang yang paling berpengaruh di dalam kehidupan saya.
Beliau adalah seorang guru Sekolah Dasar yang sangat mencintai ragam seni sunda. Beliau membuat saya doyan nonton wayang golek, karawitan, film, dan musik—saya mengenal Black Sabbath dan Frank Sinatra darinya.
Beliau tidak pernah protes dengan pilihan musik saya yang ‘brang-breng-brong’ tidak keruan itu.
Bahkan, saat kali pertama manggung di acara 17 Agustusan di desa kami, saya membawakan lagu Pride dari Madball dan beliau sama sekali tidak marah.
Malah terlihat tertawa riang sedangkan warga lainnya terlihat masam. Tapi, beliau adalah salah satu Tokoh Masyarakat, mereka tidak bisa berbuat apa-apa.
Saya sangat terpukul ketika beliau meninggal. Tetapi dari keterpukulan inilah saya menelusuri silsilah beliau.
Beliau pernah bilang kalau bapaknya (uyut saya) adalah seorang polisi, Suhana namanya. Bapaknya Suhana adalah seorang pedangan bernama Adma.
Awalnya, pengetahuan saya soal silsilah keluarga tandas sampai di situ. Tetapi beberapa bulan yang lalu, ibu membawa silsilah yang lumayan lengkap yang didapat dari salah seorang kerabat.
Karuhun saya adalah Raden Tubagus Damiri atau Eyang Tanggulun—Eyang Ulun. Saya menduga beliau berasal dari Banten yang hijrah dan bermukim di Tanggulun (Talun), Majalaya.
Dari gelarnya, kemungkinan besar beliau adalah orang yang pertama kali membuka daerah tersebut. Kemungkinan besar juga, saat membukanya beliau menanggul aliran sungai Citarum yang melintas di daerah tersebut—tanggulun bisa jadi berasal dari kata tanggul. Sampai hari ini, masih banyak kerabat saya yang tinggal di daerah itu.
Kami tiba di rumah sebelum magrib. Rasanya lelah sekali banget pisan. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana capeknya mereka yang mudik dari Bandung ke Jawa dengan menggunakan sepeda motor bersama istri dan anaknya.
Mudik menelusuri asal-asul nenek moyang
Amboi! Mudik adalah budaya yang khas dan bukan sekedar pulang kampung untuk melepas rindu semata—juga pamer harta.
Bagi saya, mudik semacam kesempatan langka untuk menelusuri asal-usul trah keluarga. Melakukannya bukan untuk membuktikan bahwa saya keturunan siapa atau apa.
Tapi dengan mengenal asal-usul sendiri, saya semakin mengenal diri sendiri. Tidak mungkin saya akan menjadi seperti mereka karena dimensi ruang-waktu kami jelas berbeda.
Dan tentunya ada beberapa hal yang belum khatam seperti tahun berapa Raden Tubagus Damiri hijrah ke Majalaya serta siapa moyangnya dan terutama asal usul keluarga bapak.
Saya akan terus mengejarnya walapun, mengutip Harari (2018), “mengejar tidak sama dengan mendapatkan.”
Karena budaya pengarsipan yang payah saya rasa akan sangat sulit untuk memastikan akurasi alur sejarah keluarga sendiri. Itulah mengapa Harari kemudian menulis, “Sejarah sering dibentuk oleh harapan yang dibesar-besarkan.”
*Bandung, 20 Juni 2018
Discussion about this post