Pada mula, kebanyakan berpikir
Beberapa tahun ke belakang, saya selalu kesulitan untuk tertidur. Hal ini sangat melelahkan karena saya harus cari cara cepat untuk menutup mata rapat dan menghindari terbangun di tengah malam.
Istri saya selalu bilang, “makanya kalau mau tidur jangan banyak mikir!”
Betul juga. Barangkali saya terlalu banyak berpikir. Kalau tidur kening saya mengerut persis seperti orang yang sedang berpikir—Begitu kesaksian istri saya.
Tapi apa yang sebetulnya saya pikirkan? Banyak. Salah satunya barangkali memulai tulisan tentang black metal ini.
Adalah saudara saya, tepatnya anak dari adiknya nenek yang entah apa sebutannya, yang jelas kami bersaudara dan akrab.
Saat itu, sekitar tahun 1997 saya sudah main band membawakan lagu-lagu Madball, Ryker’s, Warzone, One Life Crew, Burgerkill, Total Chaos, The Exploited, Savor of Filth, Slayer, dan Sepultura.
Berkenalan dengan Black Metal
Dari saudara saya ini, untuk kali pertama saya mengenal black metal. Perkenalan yang saya rasa cukup unik. Saya sudah banyak mendengar kabar tentang black metal tetapi belum pernah mendengarkan musiknya.
Konon, black metal adalah ‘musik setan’ dalam pengertian yang sebenarnya dengan aksi panggung serupa ritual pemanggilan iblis ke muka bumi.
Pada suatu sore yang lumayan cerah, menjelang magrib saudara saya mengajak ke pemakaman umum kampung kami untuk sesi foto band black metal yang baru dia bentuk. Saya menolak karena takut, pemakaman kampung kami terkenal angker. Saudara saya itu memang sableng.
Dia dan kawan satu band-nya membawa berbagai aksesoris, seperti spike, baju hitam sobek-sobek, salib terbalik buatan sendiri, belt peluru, krim putih, dan hitam untuk corpse paint [1]—dan, ya, dia membawa kemenyan dan beraneka kembang.
Katanya, “Meh eweh nu ngaganggu.” Dasar sableng!
Sekitar dua mingguan hasil foto sudah jadi. Maklum, saat itu masih zaman analog. Mencetak foto membutuhkan waktu yang lama. Foto-fotonya ternyata cukup bagus—seram, dan memang itu yang diharapkan.
Sambil melihat-lihat hasil fotonya, saudara saya memutar lagu Naglfar dan Burzum, “Yeuh dangukeun black metal!”.
Berkenalan dengan kegelapan
Dua lagu itu jadi perkenalan pertama saya dengan black metal. Tetapi, jujur, saya kurang sreg, musiknya terlalu monoton.
Singkat cerita, saya malah lebih menyukai musik black metal yang lebih ‘mainstream’ seperti, Cradle of Filth, Dissection, Behemoth, Hate, Dimmu Borgir, Marduk, Watain, Wolves in the Throne Room, Rotting Christ, Mayhem, dan Sunn O))).
Saya bukan penikmat black metal yang kaffah. Karena nyatanya lebih menyukai band-band black metal yang ‘mainstream’ dan lebih bernuansa death/melodic death. Malah saya lebih tertarik pada dinamika kultural yang terjadi di dalam skena musik black metal.
Ketertarikan saya, salah satunya, dipicu oleh Cradle of filth, Behemoth, dan Rotting Christ yang dalam lirik dan beberapa video klipnya menampilkan simbol-simbol tertentu dalam bentuk yang sangat vulgar.
Hal ini ternyata sejalan dengan minat saya yang semakin besar terhadap simbolisme, oklutisme, dan kebudayaan kuno.
_________________________________________
[1] Yuka Dian Narendra. Glokal-Metal: Baurnya Batas Budaya dan Imaji Jawa yang Baru. “Corpse Paint adalah gaya make up yang digunakan oleh musisi Black Metal dalam penampilannya (Lihat Phillips dan Cogan 2009:54).
Sebagian menganggap bahwa Corpse Paint merupakan ekstensi dari citraan Metal yang dikreasikan oleh Kiss (salah satu pionir Heavy Metal asal Amerika sejak 1973 – ibid. 132-135) dan juga King Diamond (ibid: 130).
Akan tetapi sebagian lagi (lihat tulisan Chris Campion 2005, dalam The Guardian) mengatakan bahwa Dead (Per Ohlin, 1969-1991, ex-vokalis Mayhem) adalah orang pertama yang menggunakan Corpse Paint karena memang ingin terlihat seperti mayat.” (Surya University, 2014).
Pengetahuan dalam Semesta Cadas!
Menariknya, saya mendapat banyak sekali pengetahuan baru hasil dari perkelidanan antara buku-buku yang saya baca dengan lirik lagu dan video klip dari band-band black metal.
Ini membuat saya lebih banyak membaca dan menggali informasi mengenai black metal dalam konteks kultural.
Setelah lumayan banyak membaca tentang skena musik ini, saya akhirnya sedikit banyak mengerti bahwa black metal bukan hanya sekedar musik dengan distorsi yang memekakan telinga semata.
Black metal adalah subgenre dan subkultur yang paling ekstrim di skena musik cadas dunia. Bagaimana tidak, beragam kontroversi lahir darinya.
Lahirnya Kegelapan
Istilah Black Metal sering dihubung-hubungkan dengan band metal asal Inggris, Venom. Pada tahun 1981 Venom merilis album berjudul Black Metal.
Pada album tersebut Venom mengeksplorasi citra-citra ‘satanisme’, seperti pentagram dan salib terbalik, serta iblis berkepala kambing (Baphomet).
Album tersebut kemudian dianggap sebagai titik tolak dari perkembangan subgenre black metal yang mengusung resistensi terhadap selera dominan dan berbagai upaya untuk terlihat ekstrem (Narendra, 2014:10).
Selain Venom, Bathory, Celtic Frost, dan Hellhammer, dianggap sebagai santo-patron skena musik black metal. Para sesepuh ini secara musikalitas terdengar seperti band-band speed/trash metal [2] umumnya akan tetapi satanisme dan paganisme jadi tema yang dominan dalam produksi estetis-tekstual maupun visualnya.
_________________________________________
[2] Valeri Tsatsishvili. Automatic Subgenre Classification Of Heavy Metal Music. “The music, nowadays referred to as the First Wave of Black Metal, was rather close to speed metal of its time in terms of musical features” (University of Jyvaskyla, 2011), 27-28.
Mother North melahirkan kegelapan yang lebih pekat!
Pada tahun 1990an, skena musik black metal yang lebih otentik lahir di Norwegia dan dengan cepat menyebar ke negara-negara Scandinavian lainnya. Band-band seperti, Mayhem, Burzum, Darkthrone, Immortal, Gorgoroth, Marduk, dan Dark Funeral lahir di era ini.
Beberapa peneliti menyebut era ini dengan istilah the second wave of black metal tetapi saya lebih suka menggunakan istilah black metal renaissance [3].
Karena selain mengeksplorasi dan reinterpretasi musikal dan lirik yang lebih extrim dan radikal, black metal telah menjelma semacam arena dalam mereginterpretasikan identitas kultural mereka.
Dari reinterpretasi di atas, ideologi Scandinavian lahir kembali sebagai resistensi terhadap ‘kultur kekristenan’ yang dianggap telah membaptis tanah dan leluhur mereka secara paksa.
Terbentuklah ideologi-ideologi yang relatif baru di dalam skena black metal Norwegia seperti, satanisme (anti-christian), paganisme, national socialist black metal, red and anarchist black metal, depressive atau suicidal black metal, hyperboreanisme [4], dan lainnya.
Ragam ideologi ini adalah pemberontakan, resistensi terhadap kuasa-kuasa yang selama ini dianggap telah menjajah.
Ideologi-ideologi ini bukan pepesan kosong semata karena dalam perkembangannya menjelma jadi gerakan massa dan individu yang cukup nyata[5].
Salah satu contohnya adalah kasus Varg Vikernes, yang didakwa telah melakukan pembunuhan dan pembakaran beberapa Gereja di Norwegia.
Mas Yuka menulis, “Pembakaran gereja Storetveit di Bergen, Norwegia, tahun 1992. Kasus bunuh diri Per Ohlin (alias Dead, vokalis Mayhem) dan terbunuhnya Øystein Aarseth (alias Euronymus, gitaris Mayhem) oleh Varg Vikkernes dari Burzum membuat citra NBM menjadi semakin buruk dan dekat dengan perilaku ekstrem (Narendra, 2014).
Bandung, 5 Juli 2020.
____________________________________________
[3] Lingga Agung. Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika. “Renaisans (Renaissance) secara harfiah berarti “kelahiran kembali”: “re” (kembali) dan “naissance” (kelahiran).
Istilah ini merujuk kepada sebuah gerakan kebudayaan pada abad ke-14 yang bermula di Italia dan menyebar hampir ke seluruh Eropa hingga akhir abad ke-17.
“Kelahiran kembali” yang dimaksud dalam istilah Renaisans adalah kembali lahirnya kebudayaan Yunani Klasik, setelah berabad lamanya kehidupan masyarakat Italia dan Eropa termasuk seni didominasi oleh aturan yang ketat dari Gereja.
Renaisans atau “kelahiran kembali” bukanlah reproduksi kebudayaan antik, melainkan interpretasi baru atasnya” (Yogyakarta: PT. Kanisius, 2017), 37.
[4] Hunter Hunt-Hendrix. Transcendental Black Metal. A Vision Of Apocalyptic Humanism. “The black metal that was born in Scandinavia in the mode of Fortification can be termed Hyperborean Black Metal.
Hyperborean Black Metal is lunar, atrophic, depraved, infinite and pure. The symbol of its birth is the Death of Dead. Its tone is Nihilism and its key technique is the Blast Beat.” (Hideous Gnosis: Black Metal Theory Symposium 1), 54.
[5] Yuka Dian Narendra. Glokal-Metal: Baurnya Batas Budaya dan Imaji Jawa yang Baru. “Pembakaran gereja Storetveit di Bergen, Norwegia, tahun 1992. Kasus bunuh diri Per Ohlin (alias Dead, vokalis Mayhem) dan terbunuhnya Øystein Aarseth (alias Euronymus, gitaris Mayhem) oleh Varg Vikkernes dari Burzum membuat citra NBM menjadi semakin buruk dan dekat dengan perilaku ekstrem.
Paganisme dalam kancah NBM menjadi ideologi tentang identitas Skandinavia yang merujuk pada nenek moyang bangsa Skandinavia, yaitu bangsa Viking.
Kepunahan bangsa Viking akibat pembantaian di masa penyebaran agama Kristen ketika di kawasan Skandinavia, menjadi dalil utama penolakan para pelaku subkultur Black Metal terhadap kekristenan, termasuk juga pada dengan berbagai bentuk agama yang terorganisir.
Merepresentasikan diri sebagai makhluk “jahat” dan “mengerikan,” ataupun “dekat dengan kematian” merupakan bentuk-bentuk artikulasi ekstremitas tersebut.” (Surya University, 2014), 11.
Sumber Bacaan:
- Agung, Lingga. 2017. Pengantar Sejarah dan Konsep Estetika. Yogyakarta: PT. Kanisius.
- Hunter Hunt-Hendrix. Transcendental Black Metal. A Vision Of Apocalyptic Humanism. Hideous Gnosis: Black Metal Theory Symposium 1.
- Narendra, Y. Dian. 2014. Glokal-Metal: Baurnya Batas Budaya dan Imaji Jawa yang Baru. Surya University.
- Tsatsishvili, Valeri. 2011. Automatic Subgenre Classification Of Heavy Metal Music. University of Jyvaskyla.
Repertoire Black Metal Writer Playlist: Black Metal Legions
Ilustrasi sampul artikel oleh Agraworks
Discussion about this post