Beberapa belas tahun lalu, anak ingusan itu merasa takjub dengan keindahan arsitektur yang pada 27 Juli 2020 genap berusia 1 abad.
Ketika itu saya belum banyak mengetahui sisi baik kolonial Belanda. Jejak kemegahan arsitektur Gedung Sate Bandung, bagi anak usia belasan seperti saya saat itu melekat terus di dalam ingatan.
“Saya mencintai kota ini pada pandangan pertama”, kalimat itu yang terucap di dalam hati beberapa belas tahun lalu.
Fawwaz Dafa menuliskan, pada 27 Juli 1920 peletakan batu pertama Gedung Sate dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung Walikota Bandung saat itu yaitu B. Coops, dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia yaitu J. P. Graaf van Limburg Stirum.
Uang Logam Rupiah 1.000 bergambar Gedung Sate penyelamat di saat genting
Gedung Sate seakan terus mengikuti perjalanan hidup, di bulan yang sama tepatnya pada 20 Juli 2010, Wakil Presiden RI ketika itu, Prof. DR. Boediono meresmikan beredarnya uang logam (UL) Rupiah pecahan 1.000 (seribu).
Uang logam Rupiah pecahan 1.000 (seribu) memiliki desain bergambar angklung dengan latar belakang Gedung Sate pada bagian belakang, sedangkan sisi depanya bergambar Garuda Pancasila.
Siapa yang menyangka uang logam Rupiah pecahan 1.000 (seribu) ini dikoleksi oleh pasangan hidup saya, dan pada akhirnya jadi penyelamat di situasi sulit saat ini.
Situasi lucu yang menambah kesan Gedung ini bagi saya.
Gaya Arsitektur Indo-Eropa
Melalui buku berjudul Bandoeng en haar Hoogvlakte (1952), D. Ruhl menyatakan keindahan Gedung Sate.
Pada saat kunjungan di bulan April 1923, Ir. H. P. Berlage juga menyatakan bahwa “Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis”.
Duo arsitek Belanda Cor Pashier dan Jan Wittenberg ikut pula menyatakan pendapatnya akan kemegahan Gedung Sate, “langgam arsitektur Gedung Sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa”.
Kenapa disebut Gedung Sate?
Saya sempat bertanya-tanya, awal mula penamaan Gedung Sate. “Letaknya satenya di sebelah mana?”
Berbekal rasa ingin tahu yang kuat dengan merangkum berbagai sumber dan memperhatikan lebih jelas bentuk bangunan ini.
Ternyata pada puncak menara bangunan ikonik kota Bandung ini terdapat tusukan yang sekilas terlihat seperti tusuk sate. Tusukan ini menusuk 6 buah benda bulat seperti sate.
6 buah sate ini menandakan biaya yang dihabiskan untuk membangun gedung ini yaitu konon sekitar 6 juta gulden.
Megahnya Ornamen Arsitektur Gedung Sate
Gedung yang pada zaman kolonial bernama Gouvernements Bedrijven adalah hasil karya Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo, Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, Kol. V.L. Slors.
Pembangunanya melibatkan 2000 pekerja dan 150 orang di antaranya adalah pemahat.
Ketika itu Gedung Sate direncanakan sebagai gedung pusat pemerintahan, memiliki peran untuk menandakan kemegahan Bandung dari sisi desain arsitektur.
Karena itu, Gerber mengambil dan mengaplikasikan gaya arsitektur Reinaissance Perancis yang megah dalam fasad Gedung ini.
Orientasi fasad Gedung ini juga sangat diperhitungkan. Mengikuti sumbu poros utara-selatan, dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.
Pada bagian tengah fasad, terdapat ornamen menyerupai bentuk candi yang disebut Kori Agung.
Sentuhan arsitektur Nusantara
Ornamaen ini juga kerap disebut Paduraksa, biasanya digunakan sebagai pembatas sekaligus gerbang akses penghubung antarkawasan dalam kompleks bangunan khusus.
Ornamen yang kental dengan gaya arsitektur Hindu-Buddha ini sering dijumpai pada gerbang masuk bangunan-bangunan lama di Jawa dan Bali.
Kemudian, Gedung ini memiliki 2 bentuk atap. Pada puncak atap yang menaungi bagian depan bangunan dan berbentuk perisai, terdapat ornamen atap yang berciri tradisional perpaduan ragam ornamen Hindu, Buddha, dan India.
Sedangkan pada atap yang paling tinggi menggunakan gaya pura/tumpang seperti meru di Bali atau pagoda di Thailand. Terlihat sangat jelas, pada elemen ini Gerber ingin memasukkan aliran arsitektur Nusantara.
Sementara untuk bagian jendela, gaya arsitektur Moor yang marak di wilayah barat dunia Islam (Spanyol, Maroko, Tunisia, Aljazair, Mesir, hingga Suriah) memberikan pengaruh pada bangunan Gedung Sate.
Jendela berbentuk seperti busur yang terbuat dari material bata plester yang condong ke arah luar. Dilengkapi dengan kaca berkusen kayu pada bagian dalamnya.
Di sekeliling, bata plester ini diukir secara sederhana mengikuti bentuk busur jendela tersebut.
Setelah mencari tahu tentang Gedung ini, saya mencerna, bangsa Belanda ketika itu dengan segala kepentingannya biar bagaimanapun telah memberi pengetahuan berupa hasil karya nyata.
Tidak hanya sebatas itu, sampai hari ini peninggalan arsitektur jejak kolonial Belanda secara konstruksi dan estetika tak lekang oleh zaman.
Tidak hanya Gedung Sate Bandung.
Referensi:
Gedung Sate, Keindahan Ornamen Arsitektur Indo-Eropa karya I Gusti Ayu Ceri Chandrika Meidiria. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017.
Foto sampul artikel oleh hajigarang
Discussion about this post