Suasana khusyuk menyertai kunjungan ke kompleks gereja Hati Kudus Tuhan Yesus yang berada di Ganjuran, Bantul.
Selain tempat ibadah, gereja ini juga sebagai tujuan wisata religi bagi umat Katolik.
Setiap harinya peziarah datang dan berdoa menghadap bangunan berbentuk candi yang berada di samping timur bangunan gereja utama.
Kehadiran bangunan candi yang berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha di tengah tempat ibadah umat Katolik ini bisa jadi dapat membuat bingung pengunjung yang pertama kali datang ke sini.
Bertambah bingung lagi ketika mengetahui candi ini adalah warisan dari keluarga Schmutzer, pemilik pabrik gula berdarah Belanda.
Tulisan berikut akan mengangkat jejak kebaikan yang ditinggalkan oleh keluarga Schmutzer.
Merintis usaha pabrik gula pada 1 September 1862
Sekitar pertengahan abad 19, sepasang suami-istri dari Belanda tiba Ganjuran. Mereka adalah Stefanus Barends dan Elise Fransisca Wilhelmina Kathaus.
Seperti kebanyakan pendatang Belanda kaya pada saat itu, mereka merintis usaha pabrik gula pada 1 September 1862.
Pabrik gula tersebut bernama Gondang Lipuro, akronim dari dua nama dusun tempat pabrik gula tersebut berdiri, Dusun Kaligondang dan Dusun Lipuro.
Pada 1876, Barends meninggal dan ia mewariskan pabrik gulanya kepada istrinya.
Walau sudah tujuh tahun berdiri, belum terlihat tanda-tanda kemajuan yang berarti.
Bahkan pada tahun 1882, pabrik gula Gondang Lipuro terancam bangkrut akibat kegagalan panen.
Setelah menjanda selama empat tahun, Elise Kathaus kemudian menikah lagi dengan Gottfried Schmutzer. Dari pernikahan keduanya, ia dikaruniai empat anak.
Mereka adalah Elise Anna Maria Antonia Schmutzer (lahir 1881), Josef Ignatius Julius Maria Schmutzer (lahir 1882), Julius Robert Anton Maria Schmutzer (lahir 1884) dan Eduard Milhelm Maria Schmutzer (lahir 1887).
Pada masa lampau, kompleks gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY) bersanding dengan kompleks pabrik gula Gondang Lipuro.
Letaknya di sebelah timur kompleks gereja. Pabrik gula ini memiliki sejarah yang lebih lama dari gereja.
Schmutzer Bersaudara
Josef dan Julius Schmutzer memiliki ketertarikan yang sama pada bidang teknik.
Selepas tamat dari HBS Surabaya, keduanya melanjutkan pendidikan di Politeknik Delft, Belanda.
Selama di Belanda, Schmutzer bersaudara melibatkan diri pada gerakan Mahasiswa Katolik.
Ketika itu, masa puncak revolusi industri yang berjalan mesra dengan kapitalisme.
Di sisi lain, revolusi industri tak hanya membuahkan aneka mesin-mesin ajaib, namun juga menciptakan beragam masalah sosial yang mengusik nurani.
Sayangnya, para pemilik modal hanya berkutat mengejar kemajuan materi semata, sementara hak-hak sebagian buruh kerap diabaikan.
Buruh dilarang untuk berserikat dan kalaupun bisa biasanya dikekang. Kecilnya pendapatan membuat buruh hanya bisa tinggal di rumah yang kurang layak untuk ditinggali.
Hal yang hampir sama juga terjadi di Jawa, kecilnya upah membuat buruh tidak mampu mengenyangkan isi perut seluruh anggota keluarganya.
Seringkali mendapati anak-anak buruh dalam keadaan kurang gizi. Singkat cerita, baik buruh di Jawa maupun di Eropa, adalah kaum yang paling disengsarakan selama revolusi industri.
Rerum Novarum, Ensiklik Paus Leo XIII
Gereja Katolik sebagai otoritas keagamaan terbesar di Barat, menaruh simpati pada penderitaan kaum buruh.
Paus Leo XIII lantas menerbitkan ensiklik Rerum Novarum, Ajaran Sosial Gereja pada 1891.
Perlu diketahui, selain sebagai bentuk perhatian gereja terhadap hak-hak buruh, Rerum Novarum juga merupakan upaya gereja untuk menangkal pengaruh ajaran Marxsisme di lingkungan pekerja Katolik (Burchell, 1984; 80-81).
Anjuran dari Rerum Novarum meliputi:
- Tidak menganggap buruh sebagai komoditi,
- Pembagian keuntungan yang merata
- Perhatian kepada tuntutan buruh,
- Kesucian keluarga harus dijaga dengan memberi upah yang layak
- Dan mengurangi jam kerja untuk anak-anak dan wanita.
Sayangnya, anjuran dari gereja ini lebih banyak menuai cercaan dengan alasan akan menghambat kemajuan.
Para pemilik modal, sekalipun setiap Minggunya pergi ke gereja, enggan menuruti. Karena artinya keuntungan yang masuk ke kantung jadi berkurang.
Sebagai penganut agama Katolik yang taat, Schmutzer bersaudara berusaha mendalami Ajaran Sosial Gereja. Mereka bertekad untuk menerapkannya bukan di Eropa, melainkan di Jawa (Aritonang dan Steenbrink, 2008; 702).
Pengelolaan pabrik gula Gondang Lipuro oleh Schmutzer bersaudara
Meninggalnya suami kedua dan anak bungsunya dalam waktu yang berdekatan, membuat Nyonya Elise Kathaus terpukul.
Bersama putrinya, ia menyusul kedua putranya ke Belanda pada tahun 1905 dan meninggal di Surabaya pada 1912.
Keluarga Schmutzer sonder si sulung Elis kembali lagi ke Ganjuran pada 1910.
Sepeninggal Kathaus pada 1912, pengelolaan pabrik gula Gondanglipuro dilanjutkan oleh Josef dan Julius Schmutzer.
Perbedaan warna kulit Schmutzer bersaudara dengan buruhnya, tidak jadi halangan untuk melasanakan Ajaran Sosial Gereja yang dulu dipelajari selama di Belanda.
Bagi Schmutzer bersaudara, buruh bukanlah barang komoditi sebagaimana pandangan kebanyakan pemangku pabrik gula lainnya ketika itu, melainkan sebagai mitra kerja.
Schmutzer bersaudara memberi hak kepada buruh untuk membentuk serikat buruh pabrik Gondang Lipuro, Tjipto Utomo.
Dari kesepakatan kontrak dengan serikat buruh tersebut, Schmutzer bersaudara memutuskan untuk mengurangi jam kerja, menaikan upah buruh sebesar 5% per tahun, memberi tunjangan pensiun dan asuransi kesehatan, menyediakan perumahan yang layak, dan memberi jatah hari libur.
Di samping itu, anggota serikat buruh diperkenankan untuk mengetahui keadaan keuangan pabrik (Aritonang dan Steenbrink, 2008; 703).
Karya kemanusiaan Julius Schmutzer dan Caroline van Rijckevorsel
Pada 1919, Josef Schmutzer menikah dengan Lucie Cornelle Amelie Hendriksz, kemudian setahun berikutnya menerima tawaran sebagai anggota Volksraad dan pindah ke Bogor.
Walau demikian, ia masih menjalin kontak dengan saudaranya di Ganjuran. Sepeninggal saudaranya, Julius Schmutzer lalu menikah dengan Caroline van Rijckevorsel, saudari muda dari pastor Leopold van Rijkevorsel.
Sebelum menikah, Caroline bekerja sebagai perawat dan sebagaimana suaminya, ia memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi.
Rumah Sakit Santa Elisabeth Ganjuran
Pada 1921 kedua pasangan ini menyulap garasi rumah menjadi poliklinik. Kemudian, poliklinik tersebut menempati gedung rumah sakit yang lebih besar pada 1 Juni 1934.
Dalam pelayananya, empat suster dari Ordo Carolus Boromeus membantu Caroline Schmutzer.
Mereka adalah Bunda Cunegundis, Suster Barbarine, Suster Iris, dan Suster Amonia.
Pada awalnya mereka sempat kesulitan berkomunikasi dengan pasien karena perbedaan bahasa, beruntung ada seorang perempuan pribumi bernama Waginem yang bersedia membantu mereka dalam berkomunikasi.
Rumah sakit ini kemudian berkembang, memiliki sebuah mobil untuk meningkatkan pelayanan menjemput pasien.
Hari ini rumah sakit tersebut bernama Rumah Sakit Santa Elisabeth Ganjuran.
Sekolah rakyat
Tidak hanya rumah sakit, karya sosial keluarga filantropi ini meluas hingga ranah pendidikan.
Julius Schmutzer dan Caroline van Rijckevorsel membuka 12 sekolah rakyat yang diperuntukan untuk anak laki-laki dan perempuan.
Mereka memilih angka 12 sebagai lambang dari 12 rasul yang diutus Yesus. Mendatangkan Guru-guru dari kweekschool Muntilan.
Schmutzer menyisihkan sebagian keuntungan pabrik untuk menghidupi sekolah rakyat. Sepeninggal Schmutzer, Yayasan Kanisius mengelola sekolah-sekolah tersebut.
Atas karya sosialnya selama di Ganjuran, Tahta Suci Vatikan menganugerahkan Bintang Gregorius kepada Julius Schmutzer pada 1930.
Berikutnya pada 1933, istrinya mendapat bintang Oranje Nassau dari Kerajaan Belanda disertai ucapan selamat dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Rumah Sakit Panti Rapih, warisan keluarga Schmutzer di Yogyakarta
Warisan sejarah lainnya dari keluarga Schmutzer dapat dijumpai di lingkungan kota Yogyakarta.
Masyarakat Yogya boleh jadi mengenal kompleks rumah sakit ini, namun sedikit yang mengetahui asal-usulnya. Warisan sejarah itu adalah Rumah Sakit Panti Rapih.
Kisah bermula ketika pengurus Gereja hendak membuka layanan kesehatan di Yogyakarta. Mengingat rumah sakit di kota Yogyakarta saat itu masih terbatas.
Awalnya para Suster Ordo Fransiskan diminta mengelola, namun mereka menolak dengan alasan sudah fokus di bidang pendidikan.
Pengurus Gereja kemudian meminta bantuan pada Suster Carolus Borromeus dan mereka menyanggupi.
Kebetulan, istri Julius Schmutzer adalah mantan siswa dari sekolah keperawatan yang dikelola Suster Carolus Borromeus.
Mendengar rencana pembangunan rumah sakit di kota Yogya, Julius Schmutzer berkenan untuk membantu biayanya.
Rancangan arsitek Frans Josep Lowrens Ghijsels
Pada Minggu tahun 1928, ia menelepon kepala biro arsitek Algemenee Ingineurs en Architect, Frans Josef Lowrens Ghijsels.
Mereka berdua mendiskusikan rancangan gedung Rumah Sakit Panti Rapih yang hendak didirikan oleh Julius Schmutzer di pinggir utara kota Yogyakarta.
Setelah rancangan disepakati, pada 15 September 1928 dilakukan upacara peletakan batu pertama yang dilakukan oleh istri Julius Schmutzer (Akihary, 1996: 65).
Pengelolaan rumah sakit tersebut kemudian dilimpahkan kepada suster-suster Carolus Boromeus dari kota Maatsctricht, Belanda.
Lantaran para suster tersebut dulunya tinggal di Susteran yang berada di dekat plengkungan, maka rumah sakit tersebut diberi nama Ziekenhuis Onder der Bogen yang dapat diartikan sebagai Rumah Sakit di Bawah Lengkungan. Saat ini bernama Rumah Sakit Panti Rapih.
Rumah sakit masih belum memiliki jendela, air, listrik, dan perabotan pengisi ketika para suster mulai menempati.
Kemudian, pada 24 Agustus 1926 Mgr. van Velsen memberkati rumah sakit tersebut. Barulah mengejar pembangunan.
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII menghadiri pembukaan rumah sakit
Pada 14 September 1929, pembukaan Rumah Sakit Panti Rapih dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Para tamu undangan yang terdiri dari pejabat kolonial, petinggi gereja, dan keluarga keraton dibuat terpana dengan arsitektur bangunan yang tampak bercirikan Nusantara.
Kendati rumah sakit tersebut milik yayasan agama Katolik, namun sehari-harinya menerima pasien dari semua latar belakang.
Awal dibuka memang tidak berjalan mulus. Pasien yang datang masih sedikit karena Rumah Sakit Panti Rapih belum mampu menyediakan tempat bagi rakyat miskin karena keterbatasan dana.
Beruntung Bruderan FIC memberi uluran tangan untuk membangun bangsal khusus yang menampung kalangan tidak mampu.
Pada bulan Januari 1932, berangsur-angsur mulai banyak pasien yang berobat di rumah sakit Onder de Bogen (Onder de Bogen, 1937; 376-378).
Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus, Ganjuran
Sebagai umat Katolik yang baik, keluarga Schmutzer mendukung kegiatan keagamaan Katolik di Ganjuran yang ketika itu diampu oleh Rm, Van Driessche, SJ.
Keluarga Schmutzer bersedia memberi tumpangan ketika Romo tersebut datang ke Ganjuran untuk menggelar ibadah misa dan memberikan pelajaran agama.
Kendatipun, keluarga Schmutzer adalah penganut agama Katolik yang taat, tidak ada paksaan bagi buruh yang bekerja pada mereka atau warga sekitar pabrik untuk mengikuti agama mereka.
Di antara mereka memang ada yang akhirnya menjadi Katolik, tapi atas kehendak sendiri.
Karena itulah jumlah umat Katolik di Ganjuran terbilang masih sedikit. Sebelum Schmutzer memutuskan untuk mendirikan bangunan gereja pada 1924, kegiatan ibadah berlangsung di kediaman keluarga Schmutzer.
Meskipun kecil dan sederhana, gereja ini cukup untuk menampung umat Katolik ketika beribadah.
Sayangnya, rupa gereja Ganjuran yang sekarang tidaklah sama dengan gereja yang diresmikan Schmutzer.
Gereja ini tidak mampu menahan kuatnya guncangan gempa bumi pada 2006 silam.
Bagian depan bangunan gereja lam runtuh, selama beberapa bulan jemaat beribadah di gereja darurat yang terbuat dari bambu.
Kini, di atas gereja lama telah berdiri gereja baru yang bentuknya lebih tradisional.
Satu-satunya jejak dari gereja lama yang masih dapat dijumpai adalah batu prasasti yang menandai upacara peletakan batu pertama pada 1924.
Candi Ganjuran bercorak Katolik
Di samping timur gereja, berdiri sebuah monumen berbentuk candi, titik perhatian utama di kompleks gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (HKTY).
Kendati tidak semonumental Candi Prambanan atau Borobudur, namun candi ini memiliki keunikan.
Mungkin tiada padanannya di dunia karena Candi Tyas Dalem atau Candi Ganjuran bercorak agama Katolik.
Sebagai bentuk rasa syukur atas berkah dan kasih yang telah dilimpahkan kepada usaha dan karyanya, Julius Schmutzer mendirikan monumen yang didevosikan kepada Hati Kudus Tuhan Yesus.
Julius Schmutzer sengaja memilih bentuk candi karena baginya, kepercayaan dan kebudayaan tradisional Jawa telah jadi anasir.
Mendarah daging pada setiap orang Jawa dan sulit untuk ditinggalkan.
Karena itulah untuk mempermudah pengenalan dan pemahaman orang Jawa tentang ajaran Katolik, Schmutzer menyelipkan beberapa unsur budaya Jawa yang sekiranya tidak bertentangan dengan ajaran Katolik (Soekiman, 2014;87).
Candi adalah wujud kebudayaan Jawa yang monumental dan mudah dikenali orang.
Candi yang pada masa silam adalah tempat suci umat agama Hindu-Buddha oleh Schmutzer dijadikan sebagai sarana ibadah umat agama Katolik.
Upacara pemberkatan monumen
Pada 26 Desember 1927 Mgr. A. van Velsen memimpin upacara pemberkatan monumen
Mempersiapkan bahan untuk pembangunan candi dari berbulan-bulan sebelumnya untuk disusun jadi landasan.
Pengerjaanya tampak begitu halus dan tanpa cacat. Pada kesempatan tersebut, sebuah lempengan tembaga yang berbunyi “Bila candi ini hancur, Kristus Raja tetap selamanya di Ganjuran” ditanamkan di dalam sumur peripih.
Bersamaan dengan lempengan tersebut, ditanam arca Yesus buatan pematung bernama Iko.
Arca ini duduk di atas tahta dan berbusana layaknya raja Jawa di masa silam.
Sebagai elemen penting dari ikonografi Hati Kudus Tuhan Yesus, terdapat atribut ikonografi hati menyala di dada arca (Van Rijckvorsel, 1928 ; 130-137).
Setelah pembangunannya selesai, monumen candi tersebut kemudian diresmikan pada 11 Februari 1930.
Di dalam relung candi, juga ditempatkan arca Yesus yang serupa dengan yang ditanamkan pada tahun 1927, namun dengan ukuran yang lebih besar.
Secara tidak langsung, upaya yang dilakukan Schmutzer tersebut telah memberi nafas baru pada kebudayaan Jawa.
Kepergian keluarga Schmutzer
Schmutzer bersaudara tidak selamanya hidup bersama di Ganjuran. Selepas menjadi anggota Volksraad, Josef Schmutzer kembali ke Belanda.
Kesibukannya sebagai pengajar membuat Josef tidak sempat kembali ke Ganjuran hingga ia meninggal di Belanda pada 26 September 1946.
Walau demikian, Josef selama di Belanda berusaha memberi dukungan pada saudaranya di Ganjuran.
Sementara itu, Julius Schmutzer, kesehatannya mulai sedikit memburuk hingga akhirnya menyusul kakaknya kembali ke Belanda pada 1934 untuk mendapatkan perawatan lebih baik di sana.
Kepergian keluarga Schmutzer jadi kehilangan besar bagi para buruh, suster, guru, dan warga sekitar yang telah menganggap keluarga Schmutzer sebagai bagian dari mereka.
Pada tahun 1930an, secara ajaib Pabrik Gula Gondang Lipuro lolos dari terjangan krisis ekonomi. Ketika pada saat yang sama hampir seluruh pabrik gula di Jawa ditutup.
Akhir cerita Pabrik Gula Gondang Lipuro
Meskipun mampu melalui masa-masa sulit, krisis ekonomi, dan pendudukan Jepang.
Sayangnya pejuang membumihanguskan Pabrik Gula Gondang Lipuro agar tidak dipakai militer Belanda sewaktu Agresi Militer Kedua.
Hanya menyisakan rumah sakit, gereja, dan sekolahan saja.
Julius Schmutzer menghabiskan hari-hari terakhirnya akhirnya untuk membangun kembali pabrik yang terlanjur hancur.
Beberapa kali ia berkunjung ke Indonesia untuk bertemu dengan beberapa tokoh politik dan pemerintah ia dekati, termasuk I.J. Kasimo sesama penganut Katolik.
Meskipun sudah mengeluarkan segala daya upaya, situasi politik yang tidak menentu akhirnya membuat Schmutzer menanggalkan keinginannya untuk mendirikan kembali Pabrik Gula Gondang Lipuro.
Tidak bisa dipungkiri kehadiran pabrik gula di Jawa selama masa kolonial sudah memberikan jalan bagi industrialisasi Jawa.
Namun, di sisi lain, industrialisasi tersebut memunculkan masalah sosial dari ketimpangan kesejahteraan hingga pertikaian kaum pekerja dengan majikan.
Dari sekian banyak cerita buruk yang ditinggalkan oleh industri gula di Jawa, masih ada secercah kisah mulia seperti yang sudah ditunjukan oleh keluarga Schmutzer.
Perbuatan-perbuatan mulia mereka terekam dalam kepingan sejarah yang telah mereka tinggalkan.
Dan ketika kepingan tersebut disatukan, maka hasilya adalah suatu mosaik yang akan melengkapi lembaran sejarah industri gula di Jawa.
Referensi
Akihary, Huib. 1996. Ir. F.J.L. Ghisels, Architect in Indonesia (1910-1929). Utrecht : Seram Press.
Aritonang, Jan Sihar & Steenbrink, Karel. 2008. A History of Christianity in Indonesia. Leiden : Brill.
Burchel, S.C. 1984. Abad Kemajuan. Jakarta : Tira Pustaka.
Onder de Bogen. 1937. Gedenkboek bij Het Honderd-Jarig, Bestaan Der Liefdezusters van de H. Carolus Borromeus. Amsterdam : Drukkerij. H. J. Koersen.
L. Van Rijkevorsel S.J. 1928. “Eerste Steenleggeing van Eeen H. Hart Monument op Java” dalam Sint Claverbond. Nijmegen ; N.V. Centrale Drukkerij.
Soekiman, Djoko. 2014. Kebudayaan Indis ; Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi. Depok : Komunitas Bambu.
Discussion about this post