• ABOUT US
  • PRIVACY POLICY
  • TERM OF USE
  • DISCLAIMER
  • HUBUNGI KAMI
  • SITEMAP
Selasa, 17 Mei 2022
Kelana Nusantara
No Result
View All Result
  • Login
  • KELANA
  • AKOMODASI
  • SOSOK
  • HIPOTESA
  • BUDAYA
  • KULINER
  • ACARA
Kelana Nusantara
  • KELANA
  • AKOMODASI
  • SOSOK
  • HIPOTESA
  • BUDAYA
  • KULINER
  • ACARA
  • Login
No Result
View All Result
Kelana Nusantara
No Result
View All Result
Mengapa Orang Sunda Malas?

Vanwege het Cultuurstelsel verplichte inheemse aanplant van rietsuiker op de Malangse vlakte, areaal Krebet (Circa 1870) via Leiden University Libraries Digital Collections

Komputasi Awan, Tongkat Sihir Menuju Masa Depan Dunia

Mitos Wayang Kulit Manusia pada Film Perempuan Tanah Jahanam

Mengapa Orang Sunda Malas?

Mitos Kemalasan Orang Sunda Lahir dari Politik Kolonial

Kelana Wisnu Sapta Nugraha by Kelana Wisnu Sapta Nugraha
15 Mei, 2020
in Budaya, ZZ Slider Utama
869 36
0
Share on Facebook

Baca jugaArtikel :

Indahnya Honey Moon Penuh Petualangan di Santorini Beach Resort, Gili Trawangan

Oriental Eksotik, Rub of Rub Mengajak Pendengar Menengok Masa Lalu

Backpackeran dari Jakarta – Nusa Penida Budget Rp2 Jutaan

Fans Protes, Tengen Uzui Demon Slayer Entertainment District Arc Disebut Poligami

Dua abad yang lalu, tidak jauh dari Jatinangor, Patih Parakan Muncang diancam diseret ke Batavia jika ia masih bermalas-malasan; seorang mandor di Sumedang dikenai hukuman cambuk dengan rotan dan 5 tahun kerja paksa karena lalai mengawasi perkebunan kolonial.

Kedua catatan mengenai kaitan kemalasan dan orang Sunda itu ditulis oleh F. de Haan dalam Priangan, De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsh Bestuur tot 1811, jilid III cetakan tahun 1912.

Tujuh puluh tahun setelah tuan-tuan kolonial minggat dari Indonesia yang telah merdeka, di Jatinangor, seorang meener kulit coklat berkata, “orang Sunda teh malas karena alamnya yang sejuk.” Sebagai orang Sunda, ia menunjuk hidungnya sendiri.

Tahun lalu ketika saya pulang kampung ke Blitar, saya mendengar pernyataan serupa. Kali ini keluar dari mulut orang Jawa. Sahabat kecil saya berkata, “lebih untung mempekerjakan orang Jawa karena mereka lebih tekun daripada orang Sunda yang pemalas”. Konon, ia percaya bahwa trah Majapahit atau Mataram Kuno lah yang memiliki takdir sebagai pemegang kuasa di Nusantara.

Pernyataan rasis, ahistoris, serta chauvinistik yang keluar secara serampangan itu perlu ditinjau. Stigma rasial itu tidak lahir dari kenyataan bahwa orang Sunda bersifat malas, tapi lebih rumit daripada itu.

Malas dan Mitos Cinta Kerja

Vanwege het Cultuurstelsel verplichte inheemse aanplant van rietsuiker op de Malangse vlakte, areaal Krebet (Circa 1870) via Leiden University Libraries Digital Collections

Penyair Latin Virgil menulis sebuah ode yang menghina pekerjaan, ia merayakan kemalasan dan menyebutnya sebagai hadiah dari para Dewa, “O Melibae Deus nobis haec etia fecit” (Tuhan telah memberikan kita hari-hari yang menyenangkan ini).

Terjemahan sembarang dari baris puisi Latin itu mungkin tidak tepat, tapi baris itulah yang dikutip oleh menantu Karl Marx, Paul Lafargue dalam bukunya The Right to Be Lazy (1883) yang menyorot kemalasan sebagai sebuah wacana yang dibuat oleh kapitalisme untuk menciptakan ilusi cinta bekerja.  

Senada dengan itu, Syed Hussein Alatas dalam The Myth of Lazy Native (1977) juga menerangkan bahwa mitos kemalasan pribumi adalah wacana yang lahir dari rahim kolonialisme.

Johannes Graaf van den Bosch © Kruseman, C.
Waanders, F.B. Shelfmark KITLV 47A9, (Circa 1850) via Leiden University Libraries Digital Collections

Ilmuwan Malaysia yang lahir di Bogor itu mengatakan bahwa sedikit sekali catatan mengenai kemalasan di Jawa pada abad ke-16 dan ke-17—wilayah Priangan secara geografis adalah bagian dari Pulau Jawa. Mitos malas berkembang pada abad selanjutnya beriringan dengan penolakan para bumiputera untuk dikerahkan bekerja dalam program tanam paksa van Den Bosch.

Alatas (1977) mengatakan bahwa tuan-tuan kolonial menyebut para pribumi yang bekerja serta bekeringat untuk mereka: membosankan, lamban, dan kekanak-kanakan. Van Den Bosch menyamakan kecerdasan bumiputera dewasa setara dengan perkembangan intelektual anak-anak Belanda yang berumur 12-13 tahun. 

Menurut Lombard (2005) malas sebagai suatu bawaan lahir merupakan wacana yang dikembangkan oleh kolonial dalam mencari pembenaran terhadap aksi sepihak yang mereka lakukan. Wacana itu juga bertujuan untuk membentuk gagasan rasis terhadap bumiputera.

Citra lancung bumiputera yang malas itu dibangun kolonial untuk melancarkan agendanya.

Agenda Kolonial dalam Tanam Paksa

Perang Jawa (1825—1830) membuat kas pemerintah kolonial terkuras. Kebijakan yang dibuat sebagai solusi untuk masalah itu adalah Cultuurstelsel. Pemerintah kolonial mengerahkan masyarakat Hindia—Belanda untuk menanami lahan mereka dengan tanaman komoditas ekspor.

Cultuurstelsel atau tanam paksa diyakini oleh para tokoh politik konservatif di Amsterdam sebagai solusi jitu untuk membangkitkan ekonomi tanah jajahan serta dapat menyumbangkan keuntungan bagi Belanda.

Pada 1791 ketika Revolusi Prancis masih segar di ingatan, seorang tokoh liberal, Dirk van Hogendrop mendesak pemerintah Belanda untuk menghapus kerja rodi, perbudakan, serta tanam paksa di tanah koloni. Ia memberi saran pada pemerintah Belanda untuk mengenalkan masyarakat jajahan terhadap sistem kerja dan perdagangan bebas.

Sebelas tahun kemudian, Gubernur Jendral Hindia—Belanda, Johannes Siber menyanggah gagasan itu. Ia mengajukan enam alasan dalam surat yang bertitimangsa 19 Mei 1802. Alasan pertama yang ia ajukan mengatakan, “orang Jawa terlalu malas dan lamban untuk memperoleh lebih dari yang mereka butuhkan untuk penghidupan”

Dalam upaya mendorong perkembangan tanam paksa serta kerja rodi, pemerintah kolonial melakukan pembinaan masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan menertibkan sistem penanggalan dan waktu di Nusantara. Sebelumnya, penanda pergantian hari adalah pukulan bedug magrib saat malam turun, bukan pada tengah malam.

Peralihan penanda waktu dari wujudnya yang sakral menjadi profan menurut Lombard dalam Nusa Jawa (2005) menimbulkan masalah. Ia berpengaruh secara langsung terhadap denyut kehidupan masyarakat bumiputera, khususnya soal ketepatan waktu yang berkaitan dengan kerja.

Pengaruh dari pembaratan waktu itu tidak berdampak baik bagi bumiputera. Pemerintah kolonial hendak memasung masyarakat jajahan dengan jerat perbudakan modern menggunakan waktu.

Orang-orang Sunda di Lereng Gunung pada Masa Kolonial. Lokasi Nagreg (Sumber: Arsip Nasional RI/Koleksi Pribadi)

Dalam kacamata kolonial pemberadaban bumiputera bertujuan untuk menyiapkan tanah jajahan menuju negara modern. Beriringan dengan itu ribuan hektar tanah di Priangan dibuka jadi perkebunan. Pemerintah kolonial mengubah tanah Priangan menjadi perkebunan tanaman komersial.

Betapa pentingnya tanam paksa bagi pemerintah Belanda dapat dilihat dari hukuman yang diberlakukan kepada pejabat petinggi setempat yang dianggap menghambat.

Malas Sebagai Perlawanan Terhadap Kolonialisme

Mereka yang menghambat agenda kolonial adalah para pemalas. Kata luij (malas) dan ijverloos (seenaknya, tidak tekun) dapat ditemukan dalam arsip-arsip yang menyebut para mandor Sunda yang bertugas mengawasi perkebunan-perkebunan VOC. Perkebunan itu ditanami nila, lada, dan kopi.

Anjuran penanaman yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial tidak dapat dilawan. Pada 1791 dua Raden dibuang selama satu tahun ke Pulau Edam, Kepulauan Seribu karena tidak mengindahkan perintah penanaman kopi. Tabiat itu dicap sebagai kemalasan.

Hasil panen perkebunan di Priangan telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika tidak memuaskan, mandor akan dihukum. Pada tahun 1706 salah satu mandor Jawa bernama Ombol dibuang ke Pulau Onrust karena “malas”, ia tidak cukup berhasil memaksa masyarakat di daerahnya untuk menghasilkan panen yang dihendaki oleh pemerintah.

Dalam tanam paksa para bumiputera dipaksa untuk giat. Jika didapati tidak sesuai dengan bayangan ideal kerja paksa menurut kolonial, para pemimpin di daerah tersebut lah yang bertanggung jawab. Pada tahun 1747, Bupati Cibalagung dihukum karena “ketidaktekunan“-nya (ijverloosheijt). Pada 1788 seorang patih Parakan Muncang, yang disinggung diawal, diancam diseret ke Batavia jika ia tetap “bermalas-malasan” (zodra hij weder den luijaart speelt).

Kelalaian menurut kacamata kolonial juga hasil dari sifat malas. Salah satu mandor di Sumedang, yang disebut di awal, dihukum pada tahun 1805 karena lalai mengawasi perkebunan. Pada 1800 seorang kepala desa di Karawang kakinya dirantai, beberapa desa dan pengawasnya dihukum dengan rantai karena “malas”.

Orang-orang Sunda dan Lembu. Lokasi Pengalengan (Sumber: Arsip Nasional RI/Koleksi Pribadi)

Catatan hukuman tersebut adalah akar dari stigma kemalasan orang Sunda. Penggambaran orang Sunda atau Jawa sebagai pemalas memiliki fungsi penting dari ideologi kolonial. Malas adalah delik dari setiap hukuman yang dijatuhkan kepada mereka yang tidak menguntungkan serta menghambat agenda pemerintah kolonial.

Tidak mengindahkan aturan, tidak dapat memenuhi hasil panen seperti yang telah ditetapkan, ketidaktekunan dalam bekerja, lalai dalam mengawasi perkebunan, serta segala masalah yang menghambat produksi tanam paksa dianggap sebagai perlawanan terhadap kolonial.

Alih-alih melihat masalah tersebut secara struktural, pemerintah kolonial memilih untuk melihatnya sebagai masalah yang homogen dan negatif, karena malas. Sayed Hussein Alatas (1977) mengatakan bahwa sifat malas orang Jawa merupakan perlawanan terhadap kolonialisme.

Senada dengan itu, Eduard Douwes Dekker, seorang humanis Belanda, menggunakan nama pena Multatuli menulis antitesis terhadap pandangan sebangsanya di dalam novel besarnya Max Havelaar (1860) mengatakan bahwa sikap acuh tak acuh bumiputera terhadap perintah tanam paksa pemerintah kolonial adalah perlawanan diam-diam.

Mengapa Orang Sunda Malas

Citra malas dibuat oleh kolonial untuk membuat masyarakat Nusantara menyesuaikan diri dengan model kerja Eropa. Penyesuaian waktu, serta segala hal yang berkaitan dengan agenda untuk mengadabkan para pribumi dalam sudut pandang kolonial bertujuan untuk pengerahan kerja paksa.

Beberapa catatan yang berasal dari Priangan mengenai kemalasan orang Sunda itu adalah akar dari stigma rasial yang sampai saat ini masih melekat terhadap orang Sunda. Dengan alasan apa pun, sifat manusia sama sekali tidak berhubungan dengan etnis atau ras.

Stigma rasial mengenai orang Sunda yang bersifat pemalas adalah wacana buatan kolonial untuk mengarahkan bumiputera terhadap ilusi cinta kerja paksa. Wacana kemalasan pribumi penting bagi kolonial untuk melancarkan Ideologinya. Predikat itu sama sekali tidak berkaitan dengan bentang alam atau alasan tidak masuk akal lainnya.

Bagi orang-orang yang masih melekatkan predikat pemalas terhadap orang Sunda atau Jawa, itu berarti ia melakukan generalisasi yang brutal. Gagasan ini lahir karena kurangnya empati, berkembang dari prasangka yang sombong. Secara tidak sadar pula, stigma rasial itu keluar dari orang-orang yang pikirannya didominasi oleh gagasan kolonial Barat.

Bagi mereka yang melihat bangsa kolonial Barat sebagai bangsa beradab, rentangan cerita panjang kolonialisme membuktikan bahwa sesunggahnya para tuan-tuan Eropa ini adalah gerombolan pemalas yang melakukan segala cara agar cepat kaya.

Tags: Budaya NusantarakelananusantaraKolonialOrang Sundatanam paksavan den BoschVOC
Share2109Tweet310Pin112SendShareSend
Previous Post

Komputasi Awan, Tongkat Sihir Menuju Masa Depan Dunia

Next Post

Mitos Wayang Kulit Manusia pada Film Perempuan Tanah Jahanam

Kelana Wisnu Sapta Nugraha

Kelana Wisnu Sapta Nugraha

Mahasiswa sarjana Sastra Indonesia Unpad dan pemimpin redaksi Penerbit Jungkir Balik. Tertarik pada kajian sastra, perang dingin, pasca-kolonial, serta kajian genosida.

Related Posts

Indahnya Honey Moon Penuh Petualangan di Santorini Beach Resort, Gili Trawangan
Akomodasi

Indahnya Honey Moon Penuh Petualangan di Santorini Beach Resort, Gili Trawangan

3 Februari, 2022
85
Oriental Eksotik, Rub of Rub Mengajak Pendengar Menengok Masa Lalu
Budaya

Oriental Eksotik, Rub of Rub Mengajak Pendengar Menengok Masa Lalu

1 Februari, 2022
83
Backpackeran dari Jakarta – Nusa Penida Budget Rp2 Jutaan
Kelana

Backpackeran dari Jakarta – Nusa Penida Budget Rp2 Jutaan

10 Desember, 2021
89
Fans Protes, Tengen Uzui Demon Slayer Entertainment District Arc Disebut Poligami
Hipotesa

Fans Protes, Tengen Uzui Demon Slayer Entertainment District Arc Disebut Poligami

9 Desember, 2021
65
Sejarah Trem Uap: Stasiun Demak Abad 19
ZZ Slider Utama

Sejarah Trem Uap: Stasiun Demak Abad 19

9 Desember, 2021
70
FOOD NOT BOMBS: Bentuk Protes Melalui Makanan
Budaya

FOOD NOT BOMBS: Bentuk Protes Melalui Makanan

7 Desember, 2021
100

Discussion about this post

Artikel Terpopuler

Mahabhusana Wilwatiktapura, Pakaian Kerajaan Majapahit

Mahabhusana Wilwatiktapura, Pakaian Kerajaan Majapahit

26 Februari, 2020
5.6k
Mengapa Orang Sunda Malas?

Mengapa Orang Sunda Malas?

15 Mei, 2020
5.6k
Klenteng Hwie Wie Kiong dan Klenteng See Hoo Kiong di Pecinan Semarang

Klenteng Hwie Wie Kiong dan Klenteng See Hoo Kiong di Pecinan Semarang

13 September, 2020
1.2k
Berkelana ke Wilayah Penutur Bahasa Sunda di Jawa Tengah

Berkelana ke Wilayah Penutur Bahasa Sunda di Jawa Tengah

23 Mei, 2020
2.1k
Daun Kelor: Sejarah, Mitos dan Manfaatnya

Daun Kelor: Sejarah, Mitos dan Manfaatnya

14 September, 2020
1.4k
Kenapa Banyak Orang Menolak Feminisme?

Kenapa Banyak Orang Menolak Feminisme?

12 Mei, 2020
495

Rekomendasi Kelana

Indahnya Honey Moon Penuh Petualangan di Santorini Beach Resort, Gili Trawangan

Indahnya Honey Moon Penuh Petualangan di Santorini Beach Resort, Gili Trawangan

3 Februari, 2022
85
Oriental Eksotik, Rub of Rub Mengajak Pendengar Menengok Masa Lalu

Oriental Eksotik, Rub of Rub Mengajak Pendengar Menengok Masa Lalu

1 Februari, 2022
83
Backpackeran dari Jakarta – Nusa Penida Budget Rp2 Jutaan

Backpackeran dari Jakarta – Nusa Penida Budget Rp2 Jutaan

10 Desember, 2021
89
Fans Protes, Tengen Uzui Demon Slayer Entertainment District Arc Disebut Poligami

Fans Protes, Tengen Uzui Demon Slayer Entertainment District Arc Disebut Poligami

9 Desember, 2021
65
Sejarah Trem Uap: Stasiun Demak Abad 19

Sejarah Trem Uap: Stasiun Demak Abad 19

9 Desember, 2021
70
FOOD NOT BOMBS: Bentuk Protes Melalui Makanan

FOOD NOT BOMBS: Bentuk Protes Melalui Makanan

7 Desember, 2021
100

Yuk Ikuti Kelana Nusantara!

  •       taufan haidar   kelananusantara  bekalpetualanganmu
  •       evaanggarr   kelananusantara  bekalpetualanganmu
  •       delumanto   kelananusantara  bekalpetualanganmu
  •       ant tiflen   kelananusantara  bekalpetualanganmu
  • AS Laksana dan Yusi Avianto Pareanom membawa Semarang yang berbeda dari Nh  Dini  Semarang yang lebih aktual dan kekinian  Tidak ada sawah dan burung kuntul yang beterbangan di atasnya  Tidak ada seekor kerbau menarik pedati untuk mengangkut hasil bumi    Foto oleh  wachidchoirulamin      Selengkapnya di kelananusantara com       kelananusantara2020  kelananusantara  bekalpetualanganmu
  • masyarakat Kayaan terdahulu menganggungkan konsep spiritual pada tiga pilar  yakni  Tenangan   pembagi rejeki    Tipang   pencipta   dan  Tinge   pemelihara   Tiga pilar ini memiliki kemiripan dengan konsep trinitas gereja    Foto oleh  litenatu id      Selengkapnya di kelananusantara com       kelananusantara2020  kelananusantara  bekalpetualanganmu
  • Rendang dan kopi pasangan serasi makanan terenak di dunia     Selengkapnya di kelananusantara com       kelananusantara2020  kelananusantara  bekalpetualanganmu
  • Family Cafe Bergaya Bohemian di Cijantung  Jakarta Timur     Selengkapnya di kelananusantara com       kelananusantara2020  kelananusantara  bekalpetualanganmu
  • Restoran yang mengampanyekan gaya hidup Vegan demi lingkungan     Selengkapnya di kelananusantara com       kelananusantara2020  kelananusantara  bekalpetualanganmu
Facebook Twitter Instagram

Bekal Petualanganmu

Iwakmedia Digital Indonesia

Iwakmedia Workshop II
Ruko Jatimurni, Jl Jatimurni No. 2.
Jatipadang, Pasar Minggu.
Kode Pos 12540. (+6221) 780 8020.
Jakarta - Indonesia
Basecamp Kelana Nusantara
Jl. Mentor, Gg Dakota, RT.01/RW.05
Sukaraja, Cicendo.
Kode Pos 40175.
Kota Bandung - Indonesia

Tentang Kelana Nusantara

  • About Us
  • Privacy Policy
  • Term Of Use
  • Disclaimer
  • CONTACT US

Kelana Nusantara © 2020. All Rights Reserved. Powered by iwakmedia.

No Result
View All Result
  • About Us
  • Term Of Use
  • Privacy Policy
  • Disclaimer
  • Sitemap
  • Kelana
  • Sosok
  • Akomodasi
  • Budaya
  • Kuliner
  • Hipotesa
  • Acara
  • Login

Kelana Nusantara © 2020. All Rights Reserved. Powered by iwakmedia.

Welcome Back!

Sign In with Google
OR

Login to your account below

Forgotten Password?

Create New Account!

Sign Up with Google
OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. Cookie settingsACCEPT
Privacy & Cookies Policy

Privacy Overview

This website uses cookies to improve your experience while you navigate through the website. Out of these cookies, the cookies that are categorized as necessary are stored on your browser as they are essential for the working of basic functionalities of the website. We also use third-party cookies that help us analyze and understand how you use this website. These cookies will be stored in your browser only with your consent. You also have the option to opt-out of these cookies. But opting out of some of these cookies may have an effect on your browsing experience.
Necessary Always Enabled

Necessary cookies are absolutely essential for the website to function properly. This category only includes cookies that ensures basic functionalities and security features of the website. These cookies do not store any personal information.

Non-necessary

Any cookies that may not be particularly necessary for the website to function and is used specifically to collect user personal data via analytics, ads, other embedded contents are termed as non-necessary cookies. It is mandatory to procure user consent prior to running these cookies on your website.

Add New Playlist