Terminator, Transcendence, 2001: A Space Odyssey, Her, Upgrade, The Matrix, iRobot, dan Ex Machina hanya sebagian kecil dari daftar panjang film-film dengan cerita sama yaitu interaksi manusia dengan kecerdasan buatan, tetapi disampaikan secara berbeda. Kecerdasan buatan diproyeksikan sebagai puncak peradaban manusia dan komputasi awan jadi salah satu elemen dasarnya.
Kini, persaingan inovasi dan perang perebutan pasar komputasi awan sudah berlangsung dan kian nyata melibatkan rakasa-raksasa teknologi.
Perang Dingin 3 Raksasa Teknologi
Perang dingin di sektor ini melibatkan setidaknya tiga raksasa teknologi yaitu Amazon, Google, dan Microsoft. Garis start perangnya yaitu pada 2006 saat Amazon memulai penggunaannya. Amazon yang awalnya menjual buku secara daring menjajaki model bisnis baru dengan mencoba menawarkan layanan komputasi bernama AWS (Amazon Web Services).
Inovasi-Inovasi AWS
Kala itu, layanannya tidak membidik pengguna langsung tetapi menawarkan fungsionalitas via pengembang lain. Layanan AWS dapat diakses melalui HTTP, menggunakan REST arsitektur dan SOAP protokol.
Terus berinovasi, AWS kemudian menargetkan pasar personal dengan hadirnya AWS Snowmobile atau AWS Snowball. AWS Snowmobile merupakan truk yang membawa semacam kontainer berukuran 14 x 3 x 2,5 meter yang kokoh dan tahan banting.
Kontainer tersebut memiliki kapasitas data hingga 100 petabyte atau sekitar 100.000 terabyte dengan kecepatan sekira 1 TB per detik. Seiring berjalannya waktu, inovasi-inovasi baru AWS terus bermunculan.
Komputasi awan jadi primadona era digital karena menawarkan fleksibilitas atau kemudahan mengakses data kapan dan di mana saja.
Saat keterbatasan kapasitas penyimpanan data jadi kendala, komputasi awan adalah alternatif yang menggoda. Ketika suatu lembaga atau perseorangan butuh media menyimpanan data berskala gigabyte atau terabyte, external hard drive atau flash drive masih bisa diandalkan.
Lain soal ketika ukuran data mencapai skala petabyte. Solusi yang paling memungkinkan adalah memanfaatkan komputasi awan. Efisiensi menjadi alasannya karena pengguna tak perlu lagi mengeluaran biaya ekstra untuk membeli server, memori, program, bahkan sumber daya manusia untuk perawatan.
Microsoft Punya Windows Azure
Ceruk pasar itulah yang diperebutkan dalam perang dingin antara Amazon, Google, dan Microsoft. Dua tahun setelah kemunculan AWS, Microsoft memasuki medan tempur dengan amunisi bernama Windows Azure.
Layanan Windows Azure meliputi manajemen, kontrol keamanan, mobilitas, jaringan, analisis, serta mendukung perangkat lunak pihak ketiga.
Layanan Windows Azure kala itu hadir begitu lengkap dengan harga bersaing. Namun, sistem yang dibangunnya bukan tanpa kelemahan. Layanan Windows Azure kerap mendapat sorotan minor, salah satunya yaitu saat terjadi pemadaman selama 40 jam tahun 2016.
Boleh dibilang, Microsoft saat ini mengekor di belakang Amazon dalam perang ini. Namun dengan sejarah panjangnya, Microsoft patut diperhitungkan.
Google Punya Ekosistem Kuat
Raksasa lainnya dalam perang dingin ini yaitu Google. Meski muncul belakangan, Google sudah punya ekosistem kuat yang jadi pembeda. Dunia menyebut ekosistem itu dengan istilah Google DNA yang terdiri atas Android, Gmail, YouTube, PlayStore, dan masih banyak lagi.
Google terang-terangan menyampaikan visinya mengaplikasikan teknologi kecerdasan buatan dalam berbagai aspek kehidupan. Tengok saja inovasi terbaru Google di aplikasi Google Translate berupa terjemahan kamera instan.
Teknologi itu memungkinkan pengguna melihat dunia dalam bahasanya sendiri hanya dengan mengarahkan lensa kamera ke objek foto berupa teks berbahasa asing.
Pada era ekonomi berbagi saat ini, apa yang dilakukan Google dalam ekosistemya yang bersifat terbuka telah memudahkan penggunanya. Gil Press, salah satu kontributor Forbes memprediksi bahwa dengan ekosistem yang dimilikinya, Google akan memenangi perang dingin komputasi awan dalam 10 tahun ke depan meski saat ini Amazon masih jadi pemimpin dengan menguasai 33 persen pangsa pasar dunia.
10 Tren Utama yang Membentuk Ulang Dunia
James Canton, konsultan Global Fortune 1000 yang berafiliasi dengan Gedung Putih serta berbagai perusahaan besar seperti AT&T, MasterCard, IBM, dan General Electrics menyebut bahwa setidaknya ada 10 tren utama yang akan membentuk ulang dunia sebelum tahun 2030.
Dalam bukunya, The Extreme Future, James Canton menyebut 10 tren itu adalah dunia pascaminyak, inovasi ekonomi, revolusi tenaga kerja, perkembangan ilmu kedokteran, weird science, keamanan, benturan kebudayaan, perubahan iklim, kebebasan individu, serta rivalitas Amerika Serikat-Tiongkok.
Lagi-lagi, dengan fleksibilitasnya, komputasi awan jadi gerbang utama untuk bisa mengendalikan 10 tren itu.
Menurut James Canton, internet dan data akan semakin memegang peranan penting terhadap 10 tren itu karena mampu mengakomodasi 5 faktor penentu yaitu kecepatan, kompleksitas, risiko, perubahan, dan kejutan. Beberapa di antaranya bahkan sudah dirasakan sekarang saat big data jadi aset ekonomi yang bernilai tinggi.
Komputasi Awan di Indonesia
Beberapa startup lokal seperti Gojek, Traveloka, Halodoc, Grab, dan Moka kini memakai layanan komputasi awan dari AWS. Komputasi awan dinilai mampu memberi keleluasaan karena pengguna dapat mengerjakan lebih banyak hal dengan upaya yang lebih sedikit.
Pasar layanan komputasi awan di Indonesia terus meningkat. Data Scientist Lembaga Riset Telematika Sharing Vision yang juga Dosen Institut Teknologi Bandung Dimitri Mahayana memprediksi, belanja layanan komputasi awan di Indonesia akan mencapai $266 juta atau sekira Rp3,7 triliun tahun 2021.
Menurut survei Sharing Vision, 85 persen responden memakai komputasi awan privat, 5 persen memakai komputasi awan publik, dan 10 persen sisanya memilih layanan komputasi awan hibrida.
Kondisi itu membuat pasar komputasi awan di Indonesia semakin dibidik perusahaan asing. Saat ini semakin banyak perusahaan asing yang tertarik mengembangkan layanannya di Indonesia.
Keraguan pengguna
Di sisi lain, Country Manager Red Hat Indonesia Rully Moulany mengatakan bahwa adopsi komputasi awan di Indonesia masih terkendala keraguan pengguna.
“Cloud sangat luar biasa, tapi kalau sudah keenakan memakai satu provider, untuk berpindah, susahnya minta ampun,” ujar Rully.
Banyaknya penyedia layanan komputasi awan, menurut dia, menimbulkan keraguan pengguna untuk menggunakannya karena khawatir perusahaan akan kesulitan memindahkan beban kerja saat dibutuhkan.
“Pada akhirnya, secara komersial akan mencapai satu titik ketika pengguna merasa (upayanya) tidak masuk akal. Dengan kata lain, terjebak,” ujar dia.
Padahal, pemanfaatan komputasi awan untuk pengolahan big data sudah sangat krusial saat ini. Tersedianya data dalam jumlah besar dan hadirnya teknologi komputasi awan yang murah bisa mendorong kemajuan berbagai bidang seperti riset dan pemerintahan.
Andry Alamsyah, Ketua Research Center Digital Business Ecosystem Telkom University mengatakan, pemanfaatan big data di sektor pemerintahan sudah sangat mendesak.
“Peran big data bagi pemerintahan atau layanan publik sekarang sama pentingnya dengan sektor bidang lain sehingga pemerintah tidak dapat menutup mata dalam mempelajari bahkan menerapkan big data dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Masalahnya, organisasi pemerintahan ragu karena tidak mudah mengadopsi kemajuan teknologi dibanding organisasi bisnis. Salah satu penyebabnya adalah penetapan anggaran dan komponen komputasi awan acap tidak termaktub di dalamnya. Belum lagi persoalan kurang tersedianya sumber daya manusia yang berorientasi teknologi.
Di bidang riset, menurut Andry Alamsyah, big data berkontribusi bagi pengolahan statistik. Umumnya, pengembangan keilmuan baru butuh terobosan-terobosan radikal sehingga dukungan komputasi awan sangat krusial.
Akan tetapi, banyak peneliti tidak akrab dengan big data dan komputasi awan. Mereka cenderung melakukan penelitian memakai metode yang sudah biasa dipakai.
“Dapat dibayangkan, kalau peneliti saja masih butuh banyak waktu untuk memperdalam dan menguasai teknologi big data, hasil dan manfaat penelitian berbasis metode big data belum dapat dirasakan manfaatnya secara luas,” katanya.
Kini, melenyapkan keraguan pemanfaatan komputasi awan menjadi langkah pertama dalam mempercepat, mengurangi biaya, meningkatkan akurasi, dan meningkatkan layanan di berbagai bidang kehidupan.
Discussion about this post