
“Ngapain ngurusin feminisme? Udah nggak zaman tau!”
“Di Islam itu nggak ada feminisme karena kodrat perempuan dan laki-laki sudah diatur di dalamnya.”
“Feminisme itu melanggar kodrat, lho!”
Sepenggal opini publik itulah yang pernah saya terima ketika sedikit berbincang tentang feminisme bersama beberapa orang teman. Bukan cuma laki-laki, melainkan juga perempuan. Mendengar opini-opini tersebut, saya pun bertanya-tanya dalam hati, “Kenapa banyak orang menolak feminisme?”
Dari sekian banyak perbincangan tentang feminisme, saya menemukan beberapa alasan kenapa orang tidak suka atau bahkan menolak feminisme.
Apa itu Feminisme?
Pertama, mari kita bahas terlebih dulu apa yang dimaksud dengan feminisme. Dalam KBBI, feminisme berarti gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.
Mengutip Medium.com, seorang feminis bernama Carrie Chapman Catt mengatakan feminisme adalah gerakan pemberontakan yang mendunia terhadap semua hambatan artifisial yang telah dimasukkan hukum dan adat istiadat antara perempuan dan kebebasan manusia.
Sementara itu, definisi lain merujuk pada pengakuan bahwa ada ketidakseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang di dalamnya perempuan secara sengaja ditempatkan dalam peran yang lebih rendah dari laki-laki.
Dalam Britannica, feminisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam ruang lingkup sosial, ekonomi, dan politik. Kemudian, International Women’s Development Agency mengatakan bahwa sederhananya, feminisme merujuk pada persamaan hak dan peluang untuk semua gender dan jenis kelamin.
Perempuan jadi pihak yang paling sering mendapat stigma dan diskriminasi. Itulah kenapa dewasa ini kita mengamati feminisme lebih menggaungkan isu perempuan. Feminisme berupaya untuk menghormati beragam pengalaman, identitas, pengetahuan, dan kekuatan perempuan serta memberdayakan semua perempuan untuk mewujudkan hak-haknya.
Dari semua definisi yang ada, semua merujuk pada kesetaraan gender dan persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Artinya, ada ketimpangan atau ketidakadilan yang dialami salah satu pihak yang membuat gerakan feminisme muncul ke permukaan.
Menyoal “Sama” dan “Setara”
Pada aktivitas sehari-hari kita mungkin pernah mendengar selintas ungkapan, “Kalau feminis, ya nggak usah minta tempat duduk sama laki-laki di ruang publik lagi dong!” atau “Kalau gitu, perempuan juga harus mau angkat galon dan benerin genteng, dong!”
Ragam justifikasi kaum patriarki kadang kerap hadir menyinggung isu feminisme. Sayangnya, banyak yang tidak memahami bahwa ada perbedaan antara kata “sama” dan “setara”.
Menilik kembali pada KBBI, kata “sama” berarti serupa (halnya, keadaannya, dan sebagainya); tidak berbeda; tidak berlainan; sedangkan kata “setara” berarti sejajar. Kita tidak bisa memaknai kedua kata tersebut dengan persepsi yang sama karena kondisi perempuan dan laki-laki jelas berbeda.
Sebelum berbicara mengenai kodrat ada baiknya kita telusuri dulu makna kata “kesamaan”. Perempuan dan laki-laki memang berbeda, maka tidak bisa disamakan. Tapi, kedudukan, hak, peluang, dan penerimaan sosialnya bisa setara atau sejajar/seimbang.
Jadi, feminis itu memperjuangkan “Hak yang sama”, bukan segala sesuatunya mesti sama. Lha wong setiap orang juga punya keunikan masing-masing.
Mari kita ambil contoh lain. Seorang adik berumur 5 tahun dan seorang kakak berumur 15 tahun meminta persamaan hak kepada orang tua mereka untuk mendapat pendidikan yang layak.
Lalu, apakah orang tua mereka akan memasukkan kedua anak tersebut ke kelas yang sama? Absolutely not. Jadi, jangan lagi ada perdebatan angkat galon dan benerin genteng lagi, ya!
Kesadaran Masyarakat Terkait Feminisme
Feminisme bukan berarti mengagungkan pengalaman perempuan saja, menganggap perempuan lebih penting daripada laki-laki, atau bagaimana perempuan harus lebih baik dari laki-laki; melainkan bagaimana seluruh manusia (apa pun gendernya) punya hak dan peluang yang sama dalam ruang lingkup kehidupan. Inilah yang biasa kita sebut kemanusiaan.
Meski gerakan feminisme telah mendunia dan banyak orang meyakini persamaan hak untuk semua orang, tidak banyak orang yang menyadari bahwa itu adalah bagian dari ide feminisme. Bahkan, hanya satu dari lima perempuan muda di Inggris dan AS yang mengklaim diri mereka sebagai feminis.
Berdasarkan jajak pendapat YouGov 2018 yang dipublikasikan BBC, ditemukan bahwa hanya 34 persen perempuan di Inggris yang menjawab “ya” saat ditanya apakah mereka seorang feminis.
Sejalan dengan itu, kurang dari setengah partisipan di lima negara yang setuju bahwa mereka adalah feminis dengan persentase 8 persen responden di Jerman dan 40 persen di Swedia.
Meski begitu, sebuah penelitian terhadap 27.000 orang di AS pada 2016 menemukan bahwa dua pertiga partisipan meyakini pentingnya kesetaraan gender dan dalam jajak pendapat UK 2017, ditemukan bahwa hanya 8 persen yang setuju dengan peran gender tradisional tentang laki-laki yang bertugas mencari nafkah dan perempuan yang harus tinggal di rumah.
Artinya, sudah lebih banyak orang yang percaya bahwa kesetaraan gender adalah sesuatu yang penting dan layak diperjuangkan. Tapi, tidak semua orang sadar bahwa feminisme adalah gerakan yang merepresentasikan persepsi mereka tentang hal ini.
Pengalaman dan Latar Belakang Sosial
Hampir satu dari tiga orang dengan kelas sosial menengah ke atas menyebut diri mereka sebagai feminis, sedangkan hanya satu dari lima orang dengan kelas sosial menengah ke bawah yang mengakui diri mereka sebagai feminis.
Sementara itu, delapan dari sepuluh orang dengan latar belakang penghasilan yang rendah cenderung mendukung persamaan hak untuk semua orang, tetapi tidak tertarik dengan isu feminisme. Bukan hanya itu, latar belakang ras dan pengalaman diskriminatif juga membentuk opini publik terkait feminisme.
Penelitian mengenai pandangan kaum milenial AS menemukan bahwa 12 persen perempuan Hispanik, 21 persen perempuan Afro-Amerika, 23 persen perempuan Asia, dan 26 persen perempuan kulit putih diidentifikasi sebagai feminis.
Dari data tersebut, tiga perempat orang mengatakan bahwa feminisme telah mengubah hidup perempuan kulit putih jadi lebih baik, namun hanya 60 persen dari mereka yang setuju bahwa feminisme telah meningkatkan kualitas hidup perempuan etnis lainnya, terutama Afro-Amerika.
Stereotip yang keliru
Banyak orang menganggap bahwa feminisme hanya untuk perempuan sehingga nilai-nilainya dianggap bertentangan dengan budaya mayoritas (patriarki) yang notabene menganggap laki-laki sebagai manusia kelas satu.
Banyak kelompok antifeminis yang membuat konsep seolah-olah feminisme adalah gerakan melawan laki-laki. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah beberapa stereotip yang keliru terkait feminisme menurut The Life of Science:
#1: Feminis sering kali bertindak sebagai korban
Banyak orang menganggap bahwa seksisme sudah mati dan kesetaraan gender sudah tercapai sehingga feminisme dianggap berlebihan dan bertindak seolah-olah banyak perempuan yang menjadi korban dalam isu kemanusiaan.
Secara general, mungkin kita melihat bagaimana perempuan bisa mengenakan jenis pakaian yang sama dengan laki-laki. Di beberapa negara, perempuan sudah bisa mengakses berbagai layanan publik yang sama dengan laki-laki.
Perempuan sudah bisa menjadi pemimpin dan mendapat hak yang sama untuk berpartisipasi di ranah politik. Tapi, bagaimana dengan misoginis terselubung, hegemoni patriarki yang manipulatif, dan budaya seks yang kerap lebih menguntungkan laki-laki dan merugikan perempuan?
Apakah kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak bukan korban kemanusiaan yang wajib diperjuangkan? Apakah semua wilayah di negara sudah memerdekakan perempuan dan menghapus nilai-nilai perempuan sebagai manusia kelas dua, bahkan kelas ketiga? Silakan telusuri literatur yang berkaitan untuk cari tahu jawabannya, ya.
#2: Feminisme membuat perempuan terlihat lemah
Banyak orang menganggap bahwa feminisme hanya membuat perempuan terlihat lemah sehingga layak dibela mati-matian. Betul, memang banyak perempuan yang bisa mengatasi seksisme dan berjuang sedemikian rupa sehingga mampu berdikari.
Oprah Winfrey, Sally Ride, dan Melinda Gates telah membuktikannya. Tapi, apakah mereka berhenti memperjuangkan hak kaum perempuan? Tidak. Mereka kuat untuk bisa menguatkan perempuan dan manusia lain yang belum bisa berdiri tegak.
Jika melihat data statistik kemampuan perempuan, ada banyak pemimpin perempuan yang memiliki prestasi gemilang dalam hal akademik maupun karier. Tapi, banyak hambatan yang dialami perempuan untuk sampai pada tahap itu dan salah satunya adalah seksisme.
Pelecehan seksual masih menjadi masalah besar di dunia akademik dan menyebabkan banyak perempuan memutuskan untuk meninggalkan karier mereka karena dehumanisasi dan diskriminasi. Jadi, pada dasarnya, feminisme tidak mengatakan bahwa perempuan itu lemah. Tetapi, lebih kepada dorongan kepada kaum perempuan untuk bisa memberdayakan potensi yang dimiliki dalam mencapai apa yang dicita-citakan.
#3: Feminis membenci laki-laki
Banyak orang takut kalau feminisme akan membuat laki-laki kehilangan kekuatan, pengaruh, dampak, otoritas, dan kontrol, dan peluang ekonomi; terutama di lingkungan yang kuat dengan budaya patriarki sehingga mereka menganggap feminis sebagai kelompok yang membenci laki-laki, bahkan cenderung tidak puas dengan kesetaraan gender.
Dalam ranah patriarki, laki-laki dianggap sebagai pihak yang selalu harus terlihat kuat sehingga menciptakan toxic masculinity yang berujung pada penilaian negatif terhadap perempuan. Inilah yang melanggengkan kekuatan laki-laki di atas perempuan dan menganggap lemah laki-laki yang menangis atau memuliakan perempuan.
Feminisme bukan membenci laki-laki dan ingin menghancurkan mereka, melainkan ingin melawan budaya patriarki dan toxic masculinity yang pada hakikatnya merugikan kedua belah pihak dengan stereotip “laki-laki harus kuat dan perempuan adalah lemah”.
#4: Feminisme melawan kodrat
Kodrat yang mana? Kodrat sebagai manusia yang hanya bertugas di wilayah domestik tidak ada dalam naskah agama (kalau kamu bawa-bawa agama ke dalam isu ini ya!). Mungkin ada sebagian orang yang memaknai feminisme secara keliru sehingga terdapat femmephobia, yaitu kecenderungan untuk menganggap rendah peran-peran tradisional di wilayah domestik.
Itulah alasan kenapa menjaga rumah dan merawat anak-anak tidak dipandang sebagai “pekerjaan nyata” dan kenapa buku, film, atau musik yang cenderung lebih dinikmati kaum perempuan dianggap tidak menarik.
Pada hakikatnya, feminisme sama sekali tidak memandang rendah peran domestik; tetapi menegaskan bahwa kaum perempuan punya hak untuk memilih apakah mereka akan berperan di wilayah tersebut atau tidak. Feminisme adalah tentang kebebasan bagi semua orang untuk menemukan peran yang paling sesuai dengan potensi dan harapan mereka.
Yuk, pahami lebih dalam makna feminisme sebelum menolaknya.
Discussion about this post