Revolusi Fisik (1945—1949) menjungkirbalikkan tatanan sosial-politik. Status kebangsawaanan tidak lagi berguna. Mereka yang sebelumnya mengembik pada meneer-meneer diseret ke tanah lapang untuk dijagal. Revolusi sosial pun mekar bersama para laskar.
Pada masa penuh marabahaya, kecurigaan serta ketidakpastian ini lahir gagasan untuk membebaskan perempuan Sunda menari. Sebelumnya, mereka tidak boleh menari di ruang publik karena hal itu dianggap sundal.
Rakyat Bandung membumihanguskan tempat tinggal mereka pada masa revolusi. Pasukan Belanda tidak dapat menempati rumah-rumah dan gedung-gedung yang terpanggang. Gelombang eksodus rakyat Bandung Lautan Api menyebar.
Di tengah gejolak revolusi, Tjeje Somantri dan Oemay Martakusuma bertemu dalam pengungsian di Garut, ibu kota Priangan waktu itu. Berkat dukungan Sekretaris Residen Priangan, Rd. Barnas Prawiradiningrat, mereka pun leluasa meneruskan proyek tarinya.
Pada tahun 1947 di Garut, diadakan Kongres Pamongpraja seluruh Indonesia yang dihadiri Sukarno. Tarian karya mereka ditampilkan pada penutupan kongres di Pendopo Kabupaten. Karena terpincut dengan suguhan tarian itu, Sukarno sering memilih Garut sebagai tempat untuk acara penting.
Peran Badan Kesenian Indonesia
Setahun setelahnya para budayawan Sunda kembali dari pengungsian. Mereka mendirikan Badan Kesenian Indonesia (BKI). Berbagai kesenian daerah yang tidak diberi ruang pada zaman penjajahan diangkat ke permukaan. Bermacam kursus seni diadakan oleh BKI yang disambut banyak peserta.
Ada tiga tahap perkembangan tari BKI, terang Irawati Durban Ardjo (2007), murid tari Tjeje. Pada fase awal (1880—1942) Tjeje mempelajari dan menguasai berbagai tari dan Oemay bereksperimen dengan tari Sunda.
Fase kedua (1942—1958) Tjeje dan Oemay mengawinkan wawasan dan idenya untuk mementaskan koreografi tari Sunda modern. Fase terakhir (1958—1980) penyebaran dan pengembangan karya-karya BKI di seluruh Jawa Barat.
Ketika pemerintahan feodal dan kolonial masih mesra duduk bersama, perempuan dilarang menari di ruang publik. Duet Tjeje-Oemay menata tarian sunda untuk perempuan, yang sebelumnya tidak ada. Ada pun, tari Sunda perempuan hanya untuk kalangan bangsawan. Berkat usaha keduanya, tarian untuk perempuan berkembang.
Corak tarian yang dikembangkan oleh BKI meninggalkan pengaruh feodalisme. Tjeje keturunan priayi yang mengenyam pendidikan Eropa. Menurut Henry Spiller dalam Music and Identity Politics (2012), para pemimpin BKI berusaha untuk memisahkan citra pelacur dengan mementaskan tarian mereka. Sebelumnya, perempuan Sunda yang menari selalu diasosiasikan dengan ronggeng.
“Semua wanita dari berbagai kalangan boleh belajar menari bersama-bersama di BKI, dan mereka ditampilkan pada pertunjukan terhormat yang disaksikan oleh para pembesar,” tulis Irawati (2012). Sukarno mempercayakan suguhan untuk tamu-tamu negaranya kepada Oemay dan BKI.
Meskipun seolah berfokus pada tari tradisional, Oemay dan Tjeje tetap tidak dapat terlepas dari pengaruh Barat yang dipengaruhi oleh latar pendidikan keduanya. Selera Barat serta corak modern tampak dalam karya-karya tari mereka.
Irawati (2012) mengisahkan bahwa Oemay memiliki ide untuk meleburkan balet ke dalam tari Sunda. Ide itu lalu diterjemahkan oleh Tjeje yang menguasai berbagai bentuk tari Sunda. Lahirlah, tari Kukupu sebuah tari Sunda modern yang tampil memukau.
Tari Kukupu yang diciptakan pada tahun 1952 itu ditampilkan pertama kali di Konferensi World Health Organization di Hotel Savoy Homann, Bandung. Tari ini juga pernah ditampilkan dalam New York World’s Fair selama tujuh bulan pada April sampai Oktober 1964.
Gagasan tentang tarian binatang mandiri yang tidak terikat dengan manusia adalah kebaruan dari tari ini. Menurut Irawati, gerak tari Kukupu lekat dengan idiom gerak tari Sunda yang menggambarkan gerak kehidupan kupu-kupu yang khas.
Sekali lagi, Sukarno jatuh hati. Tari ini lalu dipamerkan pada tamu-tamunya, dikirim ke luar negeri dalam berbagai misi kesenian.
Keseluruhan unsur yang padu dalam tari Kukupu menggambarkan keindahan alam Priangan yang tidak akan pernah lepas dari kehidupan pribadi Sukarno.
Dari Priangan ke Jalan Lain Keliling Dunia
Irawati Durban Ardjo menuliskan pengalamannya bergelut dengan tari Sunda modern bertajuk “Tari Sunda Baru untuk panggung baru” (2012). Ia mengisahkan proses perjalanan berdiri di samping gurunya, Tjeje, yang membawanya keliling dunia.
Tjeje meminta izin ibu Irawati. Ia ingin membawa anak didikannya itu turut serta dalam misi kesenian atas nama Indonesia ke luar negeri. Ibu Irawati ragu untuk melepas anak perempuannya. Ia meminta pertimbangan kepada kakak laki-laki Irawati.
Alasan yang diberikan kakak laki-laki Irawati cukup logis, “Biarlah ia pergi, karena kita belum tentu dapat membiayainya untuk pergi ke mancanegara”. Lampu hijau itu mengantkarkan Irawati yang saat itu berumur 14 tahun ke Eropa Timur dan Mesir pada tahun 1957.
Para seniman dikirim sebagai perwakilan presiden. Jennifer Lindsay (2012) menyimpulkan, pelbagai misi kebudayaan pada zaman Sukarno merupakan sebuah ekspresi rasa percaya diri serta kebanggaan nasional. Misi kebudayaan paling pretensius disebut ‘Misi-misi Kepresidenan’. Misi itu ditanggung oleh pemerintah Indonesia dan dipimpin oleh Menteri.
Program itu berpengaruh secara signifikan. Para seniman jadi memiliki pandangan yang segar setelah berkunjung ke berbagai negara, seperti yang diceritakan Irawati. Dari situ pencarian mengenai rumusan peran seni tradisional untuk kehidupan sosial terus digali.
Irawati menuturkan, banyak seniman bereksplorasi agar sebuah tarian jadi mengindonesia. Di Bandung, grup tari Viatikara asuhan pelukis Barli adalah salah satu yang berupaya melakukan eksperimen itu. Beberapa karya tari dari grup ini menjunjung idealisme dan semangat tinggi, kata Irawati.
Tari Petik Teh (Sunda), Kupu dan Bunga (Sunda—Indonesia), Angin Timur (Sunda-Sumatra-Bali) adalah tiga dari sekian banyak karya grup Viatikara. Dalam bahasa sansekerta Viatikara berarti campur sari. Bersama dengan filosofi itulah mereka meleburkan beberapa unsur tari dari beberapa daerah.
Menurut Irawati beberapa tarian tradisional sebelum Indonesia merdeka tidak memiliki ragam tari untuk wanita. Selain Sunda, kondisi itu juga dialami oleh perempuan Makassar. Tapi salah satu pegiat seni, Andi Nurhani mengembangkan tari Pakerana untuk perempuan. Kisah itu serupa dengan usaha Tjeje.
Irawati juga mengembangkan tari Jayengrinengga (tari kemenangan) yang menampilkan selebrasi kehebatan prajurit wanita dengan melakukan gerakan seni bela diri. Irawati dalam artikelnya yang dimuat oleh Asian Theatre Journal (1989) menerangkan bahwa dengan mengenal dan mempelajari tarian Sunda dengan baik, “kita memecah perbedaan kelas dan kelamin yang membatasi penari pada hari-hari sebelumnya”.
Setelah Masa Keemasan Berlalu
Upaya untuk membangkitkan kesenian tradisional pada zaman Sukarno untuk dipamerkan pada publik internasional memiliki pengaruh yang penting secara personal pada para pelaku seni pada masa itu, juga untuk perkembangan seni di Indonesia.
Tapi masa keemasan geliat kebudayaan itu terhempas bersama dengan rontoknya Presiden Sukarno karena Gestok.
Peristiwa politik seperti Revolusi Fisik yang terjadi di Indonesia membuat pandangan feodal yang mengekang perempuan dalam budaya patriarki memudar perlahan.
Tapi tanpa kesadaran para laki-laki atas kesetaraan gender, rasanya musykil betul gagasan itu dapat menjadi bagian dari keseharian kita.
Tjeje dan Oemay adalah contoh laki-laki teladan yang berdiri bersama kaum perempuan. Mereka mengembangkan ruang tari yang sebelumnya dilarang diisi oleh perempuan karena stigma patriarki.
Perjuangan kesetaraan gender belum benar-benar selesai, dan tidak akan pernah melihatkan hasil yang melegakan jika para laki-laki masih tetap berkepala besar dan tidak mau dianggap sama dengan perempuan.
Maka menari tarian Sunda modern adalah salah satu bentuk perlawanan. Menarilah, sebelum menari itu dilarang!
Discussion about this post