Sahabat di Pagi Buta
Fajar masih mengintip malu-malu di balik gulita dini hari. Dari beberapa titik di komplek Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Padjadjaran, terdengar suara batang lidi yang beradua dengan pasir dan dedaunan di atas tanah.
Suasana sekitar masih sangat sepi, hanya diisi oleh beberapa mahasiswa yang datang terlalu awal untuk mengejar kelas pagi. Sementara yang lainnya, masih asik memejamkan mata dibelai mimpi.
Di waktu sesunyi ini, ada seorang sahabat yang selalu sudah hadir mendahului yang lain. Menemani berbagi cerita, bertukar suara menyeruput kopi di pagi yang dingin.
Anak-anak mengenalnya dengan nama Atep. Kami tidak perlu menyisi sebutan “Pak” atau “Mang” di depan namanya. Ini bukan berarti tidak menghormatinya, kisah di bawah ini akan memutar ulang waktu masa-masa indah kami bersamanya.
Legenda di Sastra
Aang Mulyana tidak banyak yang tahu nama ini, salah satu sosok yang mengabdi kepada Fakultas Sastra Unpad sejak 30 tahun yang lalu.
Fakultas Sastra, nama yang masih terus melekat meski pada 21 Februari 2011, berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unpad.
Atep sendiri lebih senang menyebutnya dengan nama Sastra karena sudah mengakar pada dirinya sejak komplek fakultas ini masih berlokasi di Dipati Ukur, Bandung.
Pertama kali menginjak kampus Universitas Padjajaran, usianya masih 17 tahun. Sebelumnya, ia biasa mengisi kegiatan di Jalan Suniaraja. Hingga takdir membawanya diajak oleh seorang mahasiswa untuk berdagang di kampus Unpad yang terletak Dipati Ukur.
Atep mencoba keberuntungannya dan syukurlah, ia bisa betah berada di lingkungan mahasiswa, hingga saat ini. Karena jika tidak, jaringan sosial antarmahasiswa di Fakultas Sastra tidak akan terasa istimewa.
Hal ini disoroti juga olehnya. Atep menilai bahwa mahasiswa-mahasiswi dari Fakultas Sastra memiliki perbedaan kultur yang cukup menonjol di antara fakultas-fakultas lainnya.
Menurut pandangannya, mahasiswa-mahasiswi Sastra memiliki aspek kekeluargaan yang tidak pandang bulu. Perbedaan kemampuan ekonomi tidak jadi penghalang di antara para mahasiswa untuk bergandengan dalam satu lingkaran.
Itulah satu di antara sekian alasan yang membuatnya ikut memindahkan lokasi dagangnya ke Jatinangor saat Fakultas Sastra dipindahkan ke sana.
Ia sudah merasa nyaman berada di lingkungan mahasiswa sastra, dan para mahasiswa tidak hanya melihatnya sebagai pedagang, tapi sebagai seorang sahabat. Ditambah lagi, Atep sendiri memang sempat mengambil studi D3 di fakultas ini.
Himatep (Himpunan Mahasiswa Atep)
Anak Sastra tidak merasa canggung sama sekali berbaur dengan Atep. Sebagian merasa, berkenalan dengan menyebutkan nama sambil menjabat tangan seringkali menghasilkan awal yang canggung. Namun, hal ini tidak berlaku bagi mahasiswa-mahasiswa ketika berkenalan dengannya.
Tanpa perlu mengenalkan diri, jika mahasiswanya sendiri sempat beberapa kali membeli jajanan di Atep, atau terhitung sebagai mahasiswa yang cukup aktif di kampus. Biasanya Atep akan tahu lebih dulu tanpa harus berkenalan dan langsung menyapa dengan menyebutkan nama.
Bagi orang-orang yang agak sulit berinteraksi dengan orang baru, hal ini akan terasa istimewa sehingga semua mahasiswa sebenarnya bisa langsung “cair” dengannya karena pembawaan yang supel dan santai.
Kemauan Atep untuk akrab dengan para mahasiswa senada dengan pepatah yang berbunyi, “tak kenal maka tak sayang”, wajar jika mahasiswa yang dekat dengan dirinya merasakan kedekatan khusus, sampai-sampai ada perkumpulan yang dikenal dengan nama Himpunan Mahasiswa Atep (Himatep).
Himatep adalah perkumpulan tidak resmi yang terkesan lebih mampu mengeratkan ikatan satu sama lain dibanding himpunan-himpunan lain yang resmi.
Pasalnya, berkegiatan di sini bukanlah tuntutan, melainkan lebih pantas disebut sebagai panggilan hati. Saking ikoniknya, tempat berkumpul para mahasiswa Himatep adalah salah satu lokasi yang diperkenalkan oleh kakak-kakak pembimbing saat mahasiswa baru sedang menjalani kegiatan orientasi kampus.
Semua mahasiswa dari setiap jurusan diterima dengan tangan terbuka. Hanya perlu datang dan ikut nongkrong, setiap mahasiswa bisa mengklaim dirinya bagian dari Himatep.
Meskipun Atep adalah sosok yang luwes, dan dapat menempatkan dirinya setara dengan para mahasiswa tanpa tersekat oleh usia, bukan berarti Atep bisa membiarkan perilaku yang dianggapnya tidak beretika.
Atep sangat tidak suka melihat mahasiswa yang bermalas-malasan. Dia bahkan tidak segan memarahi mahasiswa yang tidak menjalani studi sebagaimana mestinya, walaupun mahasiswa itu adalah langganan dan sudah sangat akrab dengannya.
Selain itu, Atep juga tidak segan mencoret nama mahasiswa dari Himatep yang melakukan tindakan yang merugikan sesama, misalnya mencuri.
Kopi Hitam dan Masa-masa Pahit di Fakultas Sastra
Aktivitas Atep di Fakultas Sastra tidak selalu berjalan mulus. Ia pernah diusir oleh Pembantu Dekan Fakultas ini.
Tapi, berhubung ia adalah sosok yang menduduki posisi khusus di hati para mahasiswa, akhirnya setingkat Pembantu Dekan pun tidak bisa berkutik lagi saat banyak mahasiswa menyuarakan penolakan atas pengusiran tersebut.
Pada tahun 2013, para mahasiswa Himatep sempat berdemo saat ada kebijakan kampus yang mewajibkan Atep untuk memindahkan dagangannya ke tempat yang agak jauh dari pusat keramaian kampus.
Sayangnya, upaya itu tidak berhasil menggoyahkan kebijakan yang sudah terlanjur dikeluarkan. Namun, Atep dan teman-teman mahasiswa saat itu masih bisa cukup bersyukur karena setidaknya masih bisa menjajakan dagangannya di Fakultas Sastra.
Walaupun Atep adalah sosok yang sangat akrab dengan para mahasiswa, ia pun pernah beberapa kali menerima perlakuan yang tidak mengenakkan. Sebagai pedagang, Atep selalu memberi keleluasaan bagi pembelinya untuk berhutang.
Mahasiswa bahkan bisa berhutang sampai ratusan ribu karena Atep sudah paham betul dengan kondisi orang-orang yang dekat dengannya.
Ironisnya, ada saja mahasiswa yang entah kenapa, saat tidak memiliki uang alias bokek, dia berutang ke Atep untuk membeli rokok, kopi, dsb.
Ketika ada uang, mahasiswa yang berutang itu malah beli di pedagang yang lain. Perilaku semacam itu diterima Atep sebagai salah satu bentuk pengalaman yang tidak akan mudah dilupakan.
Mahasiswa dan Pesta
Sebagai orang yang sudah dianggap keluarga oleh lingkar mahasiswa sastra, keterlibatan Atep dalam geliat aktivitas mahasiswa jadi keniscayaan.
Tanpa adanya perkumpulan Himatep, bisa saja tidak akan ada Senja di Sastra. Komunitas mahasiswa yang berfokus kepada kegiatan-kegiatan inovatif seperti Hari Ayam Sedunia, Hari Sulap Sedunia, Hari-hari Satwa, dsb.
Jika tidak ada Atep, bisa saja acara dangdutan di kampus tidak akan seheboh biasanya. Bahkan, acara-acara pesta di kampus selalu menyertakan nama warung Himatep sebagai sponsor.
Mengenai nama Himatep yang kerap mensponsori acara, hal ini bukan sebatas gurauan. Pasalnya, Atep adalah sosok yang dianggap mumpuni untuk diajak berdiskusi soal pengadaan acara-acara di kampus.
Selain foto-foto ikoniknya seringkali hadir sebagai materi utama publikasi acara kampus, ia adalah saksi hidup aktifnya jejaring sosial.
Terjalin oleh acara-acara pesta yang diselenggarakan dari tahun ke tahun. Ia juga menyaksikan minat-minat dan kreativitas para mahasiswa yang selalu berfluktuasi dari generasi ke generasi.
Selain jadi pribadi yang asik diajak berdiskusi soal upaya untuk memeriahkan Fakultas Sastra.
Keberadaan Atep adalah alasan untuk penyelenggaraan suatu acara yang kerap menyisakan pengalaman tak terlupakan di benak mahasiswa yang menghadirinya.
Tahun kemarin saja, Fakultas Sastra Unpad dimeriahkan oleh acara “30 Tahun Atep di Sastra” yang turut dihadiri pula oleh alumni-alumni yang sudah tinggal di luar kota.
Di acara-acara itulah pertemuan-pertemuan terjadi. Orang-orang bercengkerama, tertawa, dan melepas penat dari pelbagai tanggung jawab yang mengikat.
Intinya, keberadaan Atep di Fakultas Sastra dianggap sebagai cawan yang membuat kampus sastra tidak sepi dan mempererat kekeluargaan mahasiswa.
Atep dan Harapannya untuk Mahasiswa Sastra
Atep sangat senang melihat mahasiswa yang mengisi waktunya dengan kegiatan-kegiatan positif. Lulus tidak tepat waktu sebenarnya bukan masalah yang terlalu dipusingkan oleh Atep. Baginya, yang lebih penting adalah kepedulian sosial yang tinggi terhadap lingkungan sekitar.
Sebaliknya, ia tidak senang melihat mahasiswa yang kuliahnya malas-malasan, bersikap apatis, masa bodoh, dan susah dinasehati.
Mirisnya, menurut pandangan Atep, sikap apatis dan masa bodoh itu rupanya cukup lumrah di kalangan mahasiswa sekarang.
Atep bisa memaklumi karena pihak kampus menuntut para mahasiswanya untuk cepat-cepat lulus demi mengejar akreditasi.
Meski Atep sendiri merasakan adanya semangat aktivitas yang menurun, tapi ia tidak berhenti berharap kepada mahasiswa-mahasiswa Fakultas Sastra. “Rumah” baginya sejak lama.
Sempat beberapa kali berniat untuk meninggalkan Fakultas Sastra dan mengisi sebagian besar waktu di tempat tinggalnya. Tapi pada akhirnya, ia selalu kembali ke lingkungan yang sudah terlanjur dicintainya.
Ia sangat berharap mahasiswa bisa terus menempa diri melalui pelbagai aktivitas informal karena Atep menyaksikan sendiri, mahasiswa yang sudah menyelesaikan studinya di sastra mampu mengembangkan sayapnya lebih lebar berkat kemampuan yang diasah melalui aktivitas di luar kelas.
Harapan itu lahir dari kepedulian Atep terhadap mahasiswa-mahasiswa yang sudah dianggap sebagai keluarga. Keluarga yang menganggap dirinya sebagai teman untuk bercengkerama, bercerita, dan berpesta.
Discussion about this post