Sebelumnya Baca: Berkelana Berbekal Rp70 Ribu Menuju Papua (Bag I)
Ini pertama kali saya menginjakkan kaki di pelabuhan Tanjung Priok. Saya putuskan untuk menabung dan tinggal di sini. Sebisa mungkin harus tenang dan jadi bagian tempat ini.
“Sekeras itukah Ibu Kota?”, dalam benak tertampung kerisauan orang-orang tentang Jakarta. Sebaliknya, saya menerima kesan dari orang-orang di pelabuhan ini.
Ada yang menganggap sebagai penumpang, mungkin penjahat, dan sedikit aja yang percaya, saya di sini untuk mengumpulkan uang. Demi tiket tujuan Timika Papua.
Sudah saya tahu sebelumnya, kapal langsung ke Timika tak ada, melainkan harus melanjutkan dengan kapal lain dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Satu pekan, waktu yang saya lewati untuk jadi bagian masyarakat pelabuhan Priok, mengenal setiap sudutnya satu-persatu. Mulai dari orang yang paling disegani, bapak kepala polisi, buruh, TKBM, hingga penjaga toilet.
Sebelumnya sangat sulit buat saya untuk bisa ikut kerja. Memutari luasnya Priok, coba beberapa kali sampai kaki ini meninggalkan bekas pegal, namun tak ada hasilnya.
Bersahabat dengan Keadaan
Ketika sudah lelah dan lapar, saya balik ke pelabuhan untuk mengambil tas yang dititipkan ke penjaga toilet. Terus, mengambil satu bungkus supermi dan beli satu bungkus nasi putih.
Pedih kalau diinget-inget, sanggup mengirit pengeluaran, hanya dengan Rp6 ribu per hari selama 4 hari. Ngirit pisan pokona mah! (sangat irit)
Apa yang saya alami sampai mengundang tanya ibu kantin. Akhirnya ia cerita setelah tahu saya ikut kerja jadi buruh angkat barang. Di kantin inilah saya menitipkan ijazah.
Saya mendapat saran darinya, “Mun bisa ulah nunda ijazah dinu kantong” (kalau bisa jangan menyimpan ijazah di dalam tas)
Ibu kantin ini berasal dari Banjaran, daerah yang dekat dengan kampung saya. Lama-lama saya akrab dengannya, sering cerita-cerita dan makan di warungnya. Alhasil kalau lagi gak pegang uang, saya makan di sana, bayar kemudian.
Selesai makan, biasanya saya berbaur dengan penumpang lain. Menggelar bako pemberian kakek, ngabako ceuk Sundana mah. Hampir setiap hari orang-orang datang dan pergi entah itu penumpang ataupun pengantar.
Saya selalu mengawali pergaulan dengan mencari orang yang berasal dari suku yang sama, agar lebih asik dan santai saat berbagi obrolan. Tapi, justru sebaliknya saya malah dapat banyak teman hampir dari seluruh Nusantara.
Mereka ada yang baru pertama kali merantau, ada juga yang sudah lama tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Depok dan Sekitarnya. Di pelabuhan ini, memulai titik untuk sampai dan kembali pulang ke kampung halamanya dari seluruh pelosok Nusantara.
Saat musim mudik tiba, pelabuhan ini jadi salah satu tujuan yang dapat dijangkau rakyat kecil, karena harga tiketnya murah!
Terlalu Banyak Kisah di Tanjung Priok
Masyarakat pelabuhan penumpang Tanjung Priok, Jakarta Utara. Sudah 2 minggu berlalu, Priok di pundakku, tempat yang memberi rezeki sehari-hari.
Saya mau cerita tentang Pak Rahman, lelaki asal Subang, ia sudah lama tinggal di pelabuhan. Menenggelamkan diri jadi tukang ojek, kadang jadi buruh angkat barang, ketika kapal sandar di pelabuhan.
Saya ingat, Ia gak pernah maksa mengangkat barang dengan berat lebih dari 25kg. Selalu tegur saya kalau keadaan lantai dua lagi ramai oleh penumpang maupun pengantar.
Ketika pelabuhan lagi sepi, komunikasi kami jadi makin akrab. Bahkan ia memberi tahu apa saja yang boleh dan gak boleh saya angkat perihal barang.
Ia gak pernah lupa mengingatkan untuk tanya ke penumpang apakah barangnya mudah pecah atau sejenis pakaian. Maksudnya kalau ada apa-apa, kita gak salah-salah amat.
Harus hati-hati, karena buruh di pelabuhan suka kena SP kalau ada barang yang rusak. Apalagi hilang, bisa kena sanksi. Ia sudah puluhan tahun dan sudah hafal semua aturan main nyari uang di pelabuhan ini.
Walau ia sering mendapatkan perkataan kasar dan ejekan dari orang-orang, namun selalu diabaikan.
Sekilas tentang Bang Pane
Bang Pane, sebutan akrab orang-orang di pelabuhan Tanjung Priok, doi abang-abangan di sini. Orang pertama yang mengajak saya ngangkat barang, kadang boneka beratnya sampe 35-50kg.
Secara gak langsung, ia juga yang ngenalin saya sama buruh-buruh yang kerja di pelabuhan ini.
Saya sangat berterimakasih sama abang yang satu ini, karena udah ngebolehin ada di tongkronganya. Supaya gampang dapet kerja pas lagi dibutuhin.
Kawan saya bertambah dan jadi kenal dengan buruh lain. Pada suatu waktu saya dapet kerjaan mengangkat puluhan ransel yang akan diantarkan ke kapal KM. Ciremai tujuan Bau-bau.
Barang-barang itu ditangani oleh bapak Musa, agen jasa travel dan tiket kapal. Ia punya beberapa anak buah yang sudah menetap sebagai buruh dan tinggal di kantornya.
Ia selalu punya langganan tetap. Saya mengangkat ransel-ransel ini bareng Bang Gofur sampai ke deck 5. Dia dikenal identik dengan sosok Samson yang punya tenaga kuat.
Saya sendiri pernah ngeliat dia angkat barang sampai merengkuh pas naik anak tangga kapal. Tangannya meraba-raba besi tangga sebagai sanggahan. Menahan keseimbangan badan.
Ia seorang pekerja keras, selalu dibutuhkan oleh orang-orang kalau ada muatan barang yang sangat berat. Tahap pertama, setelah kenal Bang Gofur barulah saya mendapat hasil dari keringat kerja.
Upah ongkos angkat barang yang dikasih bang Gofur bisa sampai Rp100.000. Beda pas lagi kerja sama bang Pane. Saya cuma dikasih Rp30 ribu dengan berat barang sampai 50kg lebih.
Berkenalan dengan Edi Kuping

Dua hari sesudah itu saya kenalan dengan Edi Kuping. Di pelabuhan Tanjung Priok, ada tiga orang yang punya nama depan Edi. Edi miring, Edi Ojeg, dan Edi Kuping. Tipikal nama-nama preman pelabuhan. Edi yang terakhir disebut, saya punya kisah menarik tentangnya.
Orang-orang bilang doi meneruskan apa yang dahulu dikerjakan oleh ayahnya. Ada yang bilang, dia selalu kebanjiran jasa mengangkat barang dari mana-mana.
Kabar ini ternyata benar, saat saya diajak kerja. Barang itu jumlahnya ada 25 dus, di pack dengan kardus rokok. Ada juga besi dengan berat hampir 40 kg dilapisi karung dibalut selotip kuning. Keras!
Pas mengangkat barang-barang itu, “aing teu kuat pisan ampun gusti” (saya tidak kuat, ampun gusti), mau nyerah aja rasanya di tengah jalan. Ditambah di tangga masuk kapal, dibuntutin sama buruh lain yang gampang aja tereak, ngebentak kalo ada yang lambat. “Buruan! cepet anj*ng! jangan kerja kalo gak kuat!”
Setelah beberapa balikan saya mikir dua kali buat nerusin kerja angkat barang dari Edi Kuping. Gak cuma jasa angkat barang dari dia aja, barang dari siapapun kadang suka saya pikir ulang. Serba salah, kalo gak diambil, gak punya uang buat beli tiket ke Papua.
Saya Hampir Menyerah
Emosi saya memuncak, pas angkat barang punya si Edi Kuping yang 25 dus dengan berat setara dikerjakan empat orang.
Di awal saya tidak menunjukkan kekesalan ataupun raut wajah menyerah ke buruh-buruh lain yang kadang melihat dengan penuh tanya tiap kali saya kerja.
Anggapannya saya gak akan bisa mengantarkan barang dengan berat tersebut ke kapal. Melihat postur badan saya yang kerempeng ini. Ditambah jarak kapal yang jauh gak kayak biasanya.
Biasanya, kapal sandar posisinya selalu deket dengan pintu masuk penumpang. Tapi kali ini, posisi kapal ada di ujung. Kami para buruh harus melalui jalur perjalanan ngelewatin gedung terlebih dahulu.
Jaraknya sekitar 20-30 meter lebih. Baru setelah itu sampai di pintu keluar menuju kapal, kami masih harus sewa troli karena jaraknya yang lumayan jauh, dengan barang yang rata-rata berat. Aslina beurat pisan.
Itupun barang gak langsung sekaligus dapat diangkut troli, melainkan harus dibuat tiga kali jalan dengan ditumpuk di setiap perjalanan.
Setelah sampai di tangga masuk kapal, kami harus naik tangga dengan pundak membungkuk. Setelah masuk kapal kami masih harus jalan lagi ke ujung lalu naik lagi tangga untuk sampai ke deck 5. Gak selesai-selesai cobaannya, duh ampun.
Mengenal Keadilan di Pelabuhan Tanjung Priok
Emosi sudah makin memuncak, bahkan sampai ngeluarin nada tinggi dan kasar waktu itu ke si Edi. Saya sampai lupa, ini wilayah orang. Tapi mereka, sesama penghuni pelabuhan bisa ngerti. Seakan sudah jadi tradisi di antara para buruh. Bentak-bentakin orang, dah biasa.
Emosi merembet jadi saling adu bicara waktu itu ke si Edi. Kejadian ini perihal pembagian upah. Di awal saya dikasih Rp150.000, akhirnya saya beranikan diri untuk menawar keadilan.
Sebelumnya saya pernah diingatkan oleh buruh lain, “hati-hati kalo kerja sama mereka, Edi Miring sama si Edi kuping”.
Ketika itu saya minta upah lebih, “Di Awal kesepakatan upah angkat satu buah barang Rp50.000 bang, terus ini ada 25 dus, saya kerjain cuma 4 orang ditambah jaraknya jauh bang”, nada emosi saya terlontar gitu aja ketika itu.
“Iya gak gitu juga Gondrong, saya juga dikasih duit angkutnya kagak banyak, pas-pasan”, bales dia.
“Pas-pasan gimana bang? tadi saya denger kok, bos yang punya barang bilang masalah embarkasi diurus sendiri, jasa angkutnya per buah Rp50.000″, gak lama sebelum buruh lain pada dateng, Edi nambahin Rp100.000.
Menurut saya itu semua belum setimpal dan jika dibiarkan, akan menguntungkan satu orang saja, jadi penyakit ke depanya.
“Kuranglah bang, kalo segini, tambahin lagi Rp50.000 terus bayarin makan, gitu aja ya?”. Edi kuping sepakat, terus saya dibawa ke lantai dua buat makan.
Kejadian semacam ini sempat saya alami bersama Edi Miring, yang memerintah orang dengan bayaran seenak perut. Ia sudah terkenal kurang bertanggungjawab terhadap hak para buruh.
Informasi ini saya dapat tidak dari satu buruh saja melainkan dari banyak buruh. Ada juga buruh yang berbaik hati memberi tahu saya, “lain kali kalo mau ikut kerja lu pilih-pilih orangnya, kalo bisa jangan pernah mau diajak kerja sama si Edi Miring”, tuturnya.
Para TKBM dan Asmoro
TKBM adalah akronim dari (Tenaga Kerja Bongkar Muat), mereka buruh resmi pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola oleh satu koperasi. Sedangkan Asmoro adalah buruh liar yang tidak terikat oleh Pelni dan aturan di dalamnya.
Jika terjadi sesuatu harus siap nanggung akibatnya. Nama Asmoro diartikan sebagai maling, pencuri. Kenapa? sebab pada masa lalu Asmoro kerap menimbulkan masalah bagi TKBM, mencuri dan membawa keributan lainnya.
Di sisi lain, pas TKBM lagi dapet orderan banyak kadang mereka suka ngajak para Asmoro dengan satu alasan.
TKBM lainya sedang sibuk kerja. Karena itu, TKBM memanfaatkan jasa Asmoro, menguras habis tenaganya dengan bayaran sesuka hati. Mereka, para TKBM gak ikut terlibat dalam pekerjaannya, kadang justru sibuk nyari orderan lain.
Ini kisah didapat dari sesama buruh, dulu para Asmoro yang masih baru sering diospek oleh TKBM, maupun Asmoro yang sudah senior. Hal ini karena seminggu sekali ada aja Asmoro yang bikin ulah.
Dua Nasib yang Kontras
Bahasa di sini dibilangnya, “bikin berak aja”, sehingga mau gak mau dibutuhkan mental yang kuat menahan kerasnya pekerjaan menjadi buruh. Gak cuma itu, dulu sering ada razia yang bikin para Asmoro gak pernah tenang.
“Mikirin dapet duit apa enggak hari ini? Bisa naik ke kapal buat dapat ongkos angkat barang walau satu dua buah apa enggak?”.
Banyak pertanyaan menghantam ketika ada razia. Kalau tertangkap, hukumannya dibawa ke mobil terus dikunci dari jam 10 malam sampai 10 pagi. Diperlakukan lebih rendah dari kucing.
Para Asmoro juga harus siap berurusan dengan yang berwenang. Kadang dikasih pelajaran mengangkat barang berat, sambil menahan berjam-jam. Asmoro juga gak punya akses pintu masuk ke kapal sehingga harus memutar jauh.
Para Asmoro juga harus mengalah. Jika kedapatan sedang tawar-menawar dengan penumpang lalu ada TKBM di dekatnya. Tanpa punya kuasa, harus merelakan.
Berbeda dengan TKBM resmi. Saya dapat informasi dari salah seorang TKBM ketika ngobrol santai dengannya. Kabarnya, mereka harus bayar uang jaminan, deposit sebesar Rp21 – Rp24 juta di awal dengan skema dua kali bayar untuk bisa menjadi TKBM.
Barulah mendapatkan atribut lengkap. Seragam kemeja dan nomor seri di dada sebelah kanan. Nomor seri berfungsi untuk menandai kalau ada barang yang hilang dibawa kabur dan masalah lainnya. Nama di dada sebelah kiri berfungsi untuk mendapat akses pintu khusus masuk kapal.
Para TKBM memiliki keleluasaan dari pihak pengelola dan gak ada yang berani ganggu. Menyangkut uang masuk di awal tersebut, hal ini sebatas disimpan sebagai jaminan untuk kemudian dikembalikan pada saat TKBM ingin keluar.
Para TKBM juga mendapat dana pensiun sebesar Rp50 juta dengan batasan usia maksimal 70 tahun. Lebih dari usia tersebut tidak boleh menjadi buruh lagi.
Lanjut Baca: Menerobos Masuk Kapal Menuju Sorong (Bag III)
Discussion about this post