Adakah yang akrab dengan Ophelia? Siapa yang bersedih tanpa kata-kata saat ia masuk liang lahat? Siapa pula yang bersiap kecewa mengetahui babak cerita akhir Hamlet berakhir tragis? Jika kamu salah satunya, saya temanmu.
Karya Shakespeare pertama yang saya baca adalah Hamlet, terjemahan Indonesia Trisno Sumardjo. Pengalaman baca itu juga perjumpaan pertama saya dengan salah satu tokoh garda depan Manifes Kebudayaan ini.
Berbulan-bulan setelahnya, saya mengetahui Dokter Zhivago, novel terkenal Boris Pasternak juga diterjemahkan seniman kelahiran Surabaya ini. Setelah itu namanya sering saya temui.
Membaca Shakespeare Membaca Trisno Sumardjo
Trisno Sumardjo lahir pada 6 Desember 1916 di kota kosmpolitan timur laut Jawa. Ia besar dalam lingkungan berpendidikan. Ayahnya adalah seorang guru bantu.
Menginjak umur 22, setelah usai sekolah AMS II (Barat Klasik) Yogyakarta, Trisno muda bekerja sebagai guru swasta di Jember.
Pada saat pendudukan Jepang, ia bekerja sebagai pegawai Jawatan Kereta Api di Madiun. Karir keseniannya berkembang pada fase ini.
Setelah Republik merdeka, ia malang melintang sebagai redaktur majalah kebudayaan. Bersamaan dengan kematangan umurnya, terjemahan Hamlet diterbitkan pada 1950 oleh PT Pembangunan.
Terjemahan Shakespeare membuat nama Trisno dikenal luas. Selain Hamlet, ia juga menerjemahkan Antonius dan Cleopatra. Ia dapat memahami bahasa Inggris lama karena itu ia juga dijuluki sebagai spesialisnya Shakespeare. Sebelum menjadi penerjemah ia bekerja sebagai redaktur majalah kebudayaan.
Bersama H.B. Jassin ia berbagi meja majalah Seni pada tahun 1954. Bandung Mawardi mencatat, hubungan Jassin-Trisno dalam ruang majalah seni tidak mesra. Selain itu ia juga pernah menjadi orang di balik meja untuk majalah Seniman (1947—1948), majalah Indonesia (1950—1952), dan majalah Gaya pada tahun 1958.
Selain Shakespeare, Pasternak, dan Poe, banyak penulis dunia lainnya ia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Ia tidak mengenal batas-batas genre dan geografis.
Menurut Maya H.T. Liem (2011), kemampuan bahasa adalah batas penggaliannya. Trisno menerjemahkan karya-karya itu dari bahasa Inggris dan Belanda.
Sebagai seniman tulen, ia juga melukis. Pengibaran bendera Merah Putih di depan rumah Maeda adalah salah satu karya lukisnya. Dua keterampilan dan daya intelektualnya membuat ia juga menulis kritik seni rupa. Ia pernah mendapat kesempatan melancong meninjau seni rupa dunia.
Trisno Sumardjo Tidak Sepenuhnya Barat
Pada tahun 1952 ia mendapat beasiswa dari Rockefeller Foundation. Dengan itu ia melawat ke Amerika Serikat dan Eropa Barat (London, Amsterdam, Paris, Roma) selama enam bulan. Perjalanan itu tidak membuatnya kagum pada Barat, tapi sebaliknya.
Kunjungannya di beberapa museum di New York, Boston dan Chicago, seperti ke Museum Modern of Art, Metropolitan Museum, dan Brooklyn Museum membuatnya berpikir ulang. Ia menemukan beberapa karya seniman Eropa dan banyak karya seniman Amerika yang mengekor Eropa.
Waktu itu segala mitos kesenian adiluhung runtuh seketika. Trisno semakin mantap dengan seni rupa Indonesia. Sejak itu pula ia menegakkan punggung dan percaya akan masa depan seni rupa Indonesia.
Trisno memandang bahwa kebudayaan tidak perlu dipandang tinggi. Mitos-mitos yang ditanamkan kepada mahasiswa dan pelajar seni, membuat karya seolah sebagai suatu kerja rumit yang berada di langit.
Selain tidak bersepakat dengan pandangan yang menempatkan seni sebagai suatu yang istimewa, ia juga tidak sepakat dengan paham seni sebagai alat propaganda sosial-politik.
Sikap ini lahir beriringan dengan gencarnya kampanye kebudayaan bernafas sosial-politik dalam garis Lembaga Kebudayaan Rakyat.
Trisno Sumardjo pernah mengkritik sebuah pameran seni yang menganjurkan pelukis untuk menerapkan realisme sosialis. Ia tidak bersepakat dengan itu. Menurutnya, gaya realisme sosialis adalah penghalang kreativitas seniman.
Ia memegang teguh prinsip-prinsip kebebasan kebudayaan. Sikap itu membuat Trisno dikenal kaku oleh kawan-kawannya. Prinsip kebebasan berkreasi membuat ia menandatangani Manifes Kebudayaan.
Trisno Sumardjo yakin betul kebudayaan tidak boleh berada di bawah politik dan kekuatan-kekuatan sosial. Seni dan Masyarakat (1960) adalah tulisannya yang menyatakan secara gamblang pandangan itu.
Seni sebagai alat propaganda politik adalah strategi yang ditolaknya. Ia juga pernah menyatakan kekecewaannya sebagai delegasi sastrawan Indonesia ke RRC pada tahun 1957. Ia curiga acara itu bermaksud untuk menggembleng para tamu agar menjadi anggota Partai Komunis di negaranya.
Seorang Organisator Ulung
Trisno Sumardjo memiliki kemampuan organisator yang mumpuni. Kemampuan itu adalah konsekuensi dari pengalaman berkerja dalam tim redaksi semasa muda.
Ia adalah salah satu motor penggerak kebudayaan Indonesia. Ia berperan sebagai pemrasaran Konferensi Kebudayaan tahun 1950 dan pemrasaran Kongres Kebudayaan yang diadakan oleh BMKN di Bali pada 1957.
Trisno oleh lawan politik kebudayaannya disebut sebagai seorang kontrarevolusioner. Sebagai organisator Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia pada tahun 1964 ia dituduh mengkhianati garis kebudayaan dalam Manifesto Politik Presiden Sukarno. KKPI didukung oleh Angkatan Darat lewat Nasution.
Setelah itu, Manifes Kebudayaan dicekal oleh Presiden Sukarno. Trisno bersama eksponen Manifes Kebudayaan lainnya dicekal. Praktis, ia tidak menulis. Sementara, beberapa kawannya yang lain memilih mengungsi ke Malaysia.
Pasca berakhirnya pemerintahan Sukarno, kegiatan kebudayaan Indonesia semakin memusat. Dominasi pusat itu diwakili oleh dua institusi garda depan, Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta.
Trisno menjabat sebagai ketua DKJ yang pertama. Ia juga berkali-kali berkesempatan menjabat sebagai Ketua Pengurus Harian Taman Ismail Marzuki
Sikap Trisno yang memegang teguh prinsip membuat ia hidup dalam keadaan sederhana. Sikap asketisnya itu tercemin dalam kehidupan rumah tangga. Bersama keluarganya, ia sampai akhir hayat menempati rumah dinas kompleks Taman Ismail Marzuki.
Waktu ia mangkat, hari ini pada tahun 1969, Trisno tidak mewariskan rumah pribadi kepada keluargannya. Atas jasa-jasanya di bidang kebudayaan, ia mendapat Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI pada 20 Mei 1969.
Trisno yang multitalenta ini memang kaku, tapi dalam kekakuannya ia gigih memperjuang kebebasan kebudayaan sampai hembusan nafas terakhir. Pikiran dan tindakannnya semasa hidup adalah memperjuangkan kata hatinya: kebebasan kebudayaan harga mati.
Discussion about this post