INDONESIA
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V
VIVA PANCASILA!
Puisi di atas, lahir pada tahun 1975 oleh Jeihan Sukmantoro. Pada 1 Juni 2020 ini kita memperingati Kelahiran Pancasila. Puisi ini mampu memberi mata dan cukup sakti untuk menandai Pancasila sebagai Falsafah hidup manusia Indonesia. Visual kotak pada puisi ini dibentuk dari kumpulan huruf ‘V’ sejumlah 17. Satu dimensi terdiri dari empat sisi dengan jumlah huruf yang sama, yaitu sejumlah 17.
Puisi ini terdiri dari tiga bait. Bait pertama berupa visual kotak. Kedua ditandai oleh huruf ‘V’ yang berdiri sendiri. Bait ketiga ditandai oleh dua kata, /Viva Pancasila!/, dengan kemasan huruf yang dicetak tebal dan lebih besar dari keseluruhan bait-baitnya. Viva, kata dari bahasa Spanyol yang memiliki terjemahan ‘hidup’.
Kehidupan Masyarakat Indonesia dalam Puisi Visual
Pada bait pertama, Jeihan tidak menyusun huruf-huruf menjadi kata, dan kata-kata menjadi susunan kata. Ia menyusun satu huruf, yaitu ‘V’ kemudian dikelompokkan membentuk rupa visual.
Bentuk ‘V’ adalah simbol dari huruf pertama kata /Viva/, yang terjemahannya adalah hidup. Visual kotak yang terdiri dari kumpulan empat sisi yang setiap isinya dibentuk oleh 17 huruf ‘V’ menandai kondisi hidup dan kehidupan masyarakat di Indonesia.
Bentuk ‘V’ bila berdiri sendiri menandakan persona kehidupan manusia Indonesia dengan segala subjektivitasnya. Bentuk ‘V’ dapat ditafsirkan sebagai subjek yang memiliki kepribadian dan individualitas. Serta secara bersamaan berkelompok menyusun bidang ‘kotak’ bersama dengan ‘V’ ‘yang lain’.
Visual ‘kotak’ yang tersusun dari kumpulan ‘V’ ditasfirkan sebagai masyarakat yang tersusun dari kumpulan pribadi dan subjek yang memiliki kepribadian dan subjektivitas berbeda satu sama lain.
Puisi ini memiliki konteks. Konteks yang dapat memberi petunjuk. Puisi ini berjudul Indonesia. Memperjelas bahwa visual ‘kotak’ di bait pertama dimaknai sebagai satu kondisi masyarakat di Indonesia.
Petunjuk selanjutnya, dipotret oleh Jeihan dalam bait terakhir, yaitu /Viva Pancasila/, disajikan dengan font yang lebih besar dan tebal dari bait-bait sebelumnya. ‘Viva Pancasila’, ‘Hidup Pancasila’.
Viva Pancasila
Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia, milik masyarakat Indonesia. Franz Magnis Suseno dalam Kuasa dan Moral menuturkan, pancasila milik masyarakat Indonesia yang belum dimiliki secukupnya – tidak lepas dari suatu masalah lain, yaitu Pancasila sudah berurat-akar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia sejak beratus-ratus tahun, tetapi rumusannya baru diwujudkan oleh Bung Karno dalam tahun 1945.
Berdasarkan penanda pada puisi di atas, jumlah 17 huruf ‘V’ ternyata tidak sesuai bila ditafsir sebagai tanggal perumusan Pancasila, karena merunut pada data sejarah yang dituliskan oleh Franz Magnis Suseno, perumusan Pancasila terjadi pada tanggal 18, sehari setelah hari kemerdekaan Indonesia.
Pancasila sebagai dasar negara memiliki perjalanan yang panjang melibatkan tidak sedikit benturan karena melingkupi seluruh aspek manusia Indonesia.
Melalui puisi yang berjudul Indonesia, Jeihan melihat dengan sudut pandang yang berbeda.
Mancapat Kalimo Pancer
Jeihan Sukmantoro seorang Jawa yang besar di tanah Sunda. Bentuk ‘V’ yang tersusun dari 17 ‘V’ yang merupa bangunan kotak di setiap sisinya adalah ikon imaji bentuk sawah satu petak.
Sumardjo (2007) mengatakan, orang Jawa itu berpola pikir mancapat kalimo pancer, kesatuan lima dengan satu pusat. Pola pikir ini hadir melalui bait ketiga dengan ‘V’ yang berdiri sendiri, Namun tidak terpisah dari ‘V’ di atasnya yang membentuk bangunan kotak.
Penafsiran ‘kotak’ dalam sudut pandang jawa, berbeda dengan penafsiran ‘kotak’ dalam masyarakat urban. Penamaan ‘Jawa’ juga identik dengan padi dan sawah, Veth melalui bukunya Java, Geographisch, Etnologisch, Historisch mengungkapkan, pada abad ke-12 orang-orang hindu dari India menyebutkan pulau ‘Jawa Dwipa’.
Sementara, negeri India ketika itu dikenal dengan sebutan Jambu Dwipa. Pulau-pulau atau daerah-daerah diberi nama sesuai jenis tanaman yang tumbuh. Kata ’Jawa’ diambil dari tanaman sebangsa padi-padian yang dikenal dengan nama Jawawut, bahan makanan rakyat pulau Jawa waktu itu.
Jeihan menyajikan Tipografi berbentuk kotak, ikon imaji dari bentuk sepetak sawah. Satuan ‘V’ adalah simbol dari satuan hidup. Satuan ‘V’ juga dapat ditafsirkan sebagai simbol satuan padi yang bermakna bagi kehidupan manusia Indonesia.
Axis Mundi, Bentuk /V/ pada Bait Kedua
Bentuk ‘V’ pada bait kedua, secara struktur tipografi terlihat terpisahkan dari bait pertama dan bait terakhir pada puisi ini. Bentuk ‘V’ seolah-olah “terasing” sebagai pribadi dari masyarakatnya yang ‘kotak’.
Kondisi seperti ini berbeda dengan cita-cita dan harapan yang disampaikan oleh Pancasila sebagai pandangan dan dasar hidup manusia Indonesia.
Bentuk ‘V’ yang berdiri sendiri pada bait kedua ini seharusnya tidak jadi bagian yang terpisahkan dari bait pertama yang membentuk bangunan kotak.
Berdasarkan cara berpikir macapat kalima pancer dan dihubungkan dengan konteks pancasila yang disajikan pada bait terakhir berupa dua kata, /Viva pancasila!/ Maka bentuk ‘V’ yang sendiri tersebut jadi pusat dari ‘V’ lainnya yang membentuk bangunan kotak.
Sumardjo (2007) mengatakan, pusat berarti axis mundi, penghubung yang duniawi (mancapat) dan surgawi. Surgawi memiliki arah yang vertikal, sedangkan yang duniawi memiliki arah yang horizontal.
Arah vertikal surgawi terdiri dari tiga dunia, yakni langit, bumi, dan manusia. Pusat itu transenden. Daya-daya transenden menyebar dengan gerak sentrifugal ke empat penjuru mata angin desa atau negara. Sedangkan gerak sentripetal ke pusat berarti menyatu kembali dengan yang transenden.
Pancasila Milik Indonesia dan Milik Budaya Jawa
Bait terakhir berupa dua kata /Viva Pancasila!/ bisa mengarah kepada Pancasila milik Indonesia ataupun bisa juga mengarah kepada Panca-sila milik budaya Jawa.
Menurut Soenarto pada Simbolisme dalam Budaya Jawa karya Herusatoto, Panca-sila dalam budaya Jawa terdapat di pedoman Hasta Sila. Panca-sila dan Tri-sila jadi dua pedoman yang terdapat dalam Hasta Sila yang jadi sikap hidup orang Jawa.
Tri-sila adalah pedoman yang harus dilaksanakan setiap hari oleh manusia. Dan tiga hal yang harus dituju oleh budi dan cipta manusia di dalam menyembah Tuhan, yaitu: eling (sadar), pracaya (percaya), dan mituhu (setia melaksanakan perintah).
Eling bermaknda berbakti kepada Tuhan Yang Maha Tunggal. Pracaya bermakna percaya terhadap Suksma Sejati atau Utusan-Nya, Guru Sejati. Mituhu, bermakna setia dan selalu melaksanakan segala perintah-Nya yang disampaikan melalui Utusan-Nya.
Soenarto melanjutkan, sebelum manusia dapat melaksanakan Tri-Sila, setiap insan baiknya berusaha dulu untuk memiliki watak dan tingkah laku yang seperti disebut dalam Panca-Sila, yaitu: rila (rela), narima (menerima nasib yang diterima), temen (setia pada janji), sabar (lapang dada), dan budiluhur atau memiliki budi yang baik.
Pancasila manusia Jawa bila dihubungkan dengan konsep Macapat Kalimo Pancer yang dibawa oleh Sumardjo. Berarti menempatkan rila (sila pertama) sebagai Pancer.
Simbol Transenden Angka 17
Kembali kepada bait pertama yang disusun dari 17 bentuk ‘V’. Angka tujuh belas ditafsirkan sebagai simbol yang transenden, hubungan manusia dengan Tuhannya. Ini dekat dengan keimanan yang dipercaya oleh Jeihan sebagai seorang muslim. Angka 17 menunjukan jumlah keseluruhan rakaat salat wajib yang berjumlah lima.
Bentuk ‘V’ secara kesatuan bermakna hidup yang saling berkaitan antara ‘V’ sebagai bagian dari alam yang mewujud tanaman padi dan bentuk ‘V’ sebagai manusia yang hidup secara transenden menyatu dengan semesta. Terjadi keselarasan antara manusia, semesta, dan Tuhan yang transenden.
Jeihan memiliki sudut pandang berbeda mengenai Pancasila, hal ini tersirat dari judul Indonesia pada puisi ini. Ini menandakan bahwa ia mengarahkan kata ‘Pancasila’ pada Pancasila milik bangsa Indonesia dan Panca-Sila Jawa milik budaya Jawa adalah satu kesatuan.
Masyarakat Indonesia yang Sehat
Erich Fromm dalam Masyarakat yang Sehat menguraikan, kesehatan mental tercapai bila manusia berkembang secara penuh di dalam kematangan menurut karakteristik dan hukum-hukum kodrat manusia.
Penyakit mental hadir lantaran gagalnya perkembangan itu. Dari premis ini, kriteria kesehatan mental bukanlah penyesuaian individu pada tatanan sosial tertentu, melainkan kriteria universal yang berlaku untuk semua manusia, yaitu memberikan jawaban memuaskan atas permasalahan eksistensi.
Kriteria universal menurut pandangan Fromm adalah kriteria manusia yang memandang keseluruhan hidupnya kepada Yang Tunggal dan berlaku bagi semua manusia.
Ketuhanan Yang Maha Esa menjawab semua permasalahan eksistensi manusia. Saya menafsirkan bahwa Jeihan ingin mengatakan hal ini kepada manusia Indonesia. Dan Panca-Sila milik budaya Jawa pun menjawab kriteria universal tersebut pada silanya yang pertama yang berbunyi: Rila.
Rila bermakna keikhlasan hati ketika menyerahkan segala miliknya, kekuasaannya, dan seluruh hasil karyanya kepada Tuhan dengan tulus ikhlas. Mengingat bahwa semua itu ada di dalam kekuasaan Tuhan.
Sila pertama jadi pusat yang menggerakan keempat sila lainnya untuk menyatu kembali kepada yang transenden. Begitu pun sebaliknya, gerak sentrifugal dari sila pertama sebagai pusat dan transenden melebur ke keempat sila lainnya.
Pancasila nampaknya berhasil, merumuskan dasar Negara. Diharapkan mampu membentuk pandangan hidup bersama yang dapat diterima oleh semua elemen bangsa dengan perbedaan suku, agama, ras, kebudayaan, golongan, dan kelas.
Satu Elemen yang Memusat dan Transenden
Semua elemen yang dikhawatirkan akan melahirkan perbedaan dan perpecahan tersebut melalui sudut pandang mancapat kalima pancer akan mampu disatukan oleh satu elemen yang memusat dan transenden yaitu sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bentuk ‘V’ secara individu tidak lagi terasing bagi dirinya dan ‘V’ yang lain, bentuk ‘V’ tersebut tidak lagi merasa dirinya terasing dengan ‘V’ yang membentuk bangunan kotak yang bisa dimaknai sebagai masyarakat.
Fromm menambahkan, apa yang begitu memperdaya pemikiran anggota suatu masyarakat adalah “keabsahan konsesus” (consensual validation) konsep-konsep mereka. Betapa naif anggapan bahwa bila mayoritas manusia Indonesia memakai ide-ide tertentu, perasaan-perasaan tertentu dan menganggap itu semua sebagai kebenaran.
Hal ini menjadi tepat ketika “keabsahan konsesus” milik mayoritas penduduk yang ditandai oleh simbol ‘V’ dimaknai sebagai bangunan yang statis. Bangunan statis yang berakar pada kenaifan masing-masing individu. Memandang ide dan paham tertentu sebagai kebenaran.
Setiap sila pada pancasila tidak berdiri sendiri, bila memakai sudut pandang mancapat kalima pancer. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa jadi pusat yang transenden dari keempat sila lainnya. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; Persatuan Indonesia; Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kelima sila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia, dirumuskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak lagi hanya sebatas harapan atau mitos kolektif semata yang sakral dan keramat di masyarakat Republik Indonesia.
‘V’ yang memimpin ‘V’ Lainnya
Bentuk ‘V’ pada bait kedua yang secara visual tipografi terkesan menyendiri tidak lagi dipandang sebagai keterasingan seorang individu, terpisah dari kumpulan ‘V’ lainnya yang berupa bangunan kotak.
Bentuk ‘V’ tersebut setara dengan ‘V’ lainnya, satu kehidupan, sebuah padi, simbol dari kehidupan manusia Indonesia. Perbedaannya terletak pada peran ‘V’ tersebut yang harus menopang sekumpulan ‘V’ lainnya yang jadi ikon berbentuk visual kotak atau dalam pemaknaan lain membentuk sepetak sawah.
Bentuk ‘V’ pada bait kedua ini adalah pusat. Kata pusat yang dimaknai di sini mengarah kepada pemahaman diri. ‘V’ berdiri sendiri dalam memaknai dirinya sebagai pusat dari masyarakat yang harus ditopang.
Bentuk ‘V’ pada bait kedua ini ditafsirkan sebagai seorang sosok yang mampu memimpin masyarakat di atasnya yang divisualkan oleh bangunan kotak yang terdiri dari kumpulan 17 ‘V’ pada setiap sisinya.
Seseorang yang diberi peran untuk menopang sejumlah manusia dan kehidupan yang menyertainya. Seorang manusia yang paham berbagai macam aspek kehidupan.
Sudut Pandang Jeihan sebagai Manusia
Aspek transenden adalah dasar dan pertama, aspek ketuhanan yang jadi pesan pertama sebagaimana digambarkan oleh Jeihan melalui desain bangunan puisinya yang berbentuk kotak. Di setiap sisinya terdiri dari 17 bentuk ‘V’ yang bermakna rakaat salat lima waktu dalam kepercayaan umat muslim.
Jeihan memandang secara Jawa sekaligus secara Islam dalam menanggapi konteks pancasila. Hal tersebut berhubungan dengan apa yang dikatan oleh Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi mengenai hubungan saling memengaruhi antara budaya Jawa, Islam, dan budaya Indonesia.
Menurutnya, di samping mewarisi tradisi filsafat Hindu atau pra-Hindu, budaya keraton Jawa juga memiliki pengaruh Islam. Betapapun, perlu adanya catatan mengenai perdebatan tentang “apakah mistitisme Jawa yang diislamkan atau justru konsep-konsep Islam yang dijawakan?”
Berhubungannya dengan konsep tentang kekuasaan, Kuntowijoyo melihat adanya perbedaan besar antara kebudayaan Jawa dan Islam. Dalam kebudayaan jawa dikenal konsep raja absolut. Islam justru menekankan konsep mengenai raja yang adil al-malik-‘adl.
Dalam Islam raison d’etre kekuasaan raja adalah keadilannya. Ini jelas berbeda dengan konsep Jawa yang melihat kekuasaan dalam dimensi kemutlakan. Dengan demikian, menarik untuk ditanyakan bagaimana kebudayaan keraton Jawa yang menekankan konsep kekuasaan itu melangsungkan hubungannya dengan Islam.
Dalam konteks ini, rupanya kita melihat banyak sekali dilema yang dihadapi budaya Jawa dalam irisannya dengan kebudayaan Islam. Salah satunya yang terpenting adalah persoalan tentang orde sosial. Sementara dalam paham Jawa ketertiban masyarakat lebih Mendasar pada konsep kekuasaan mutlak raja. Sedangkan Islam mengajarkan bahwa ketertiban sosial itu akan terjamin jika peraturan-peraturan Syari’ah ditegakkan.
Tentang Hukum dan Kebebasan
Dengan kata lain, jika kebudayaan Jawa menekankan pentingnya kekuasaan multak untuk tegaknya tertib sosial, Islam menekankan pentingnya hukum yang adil untuk menegakkan ketertiban sosial. Ini sebenarnya hampir sejalan dengan apa yang dikatakan Albert Camus mengenai pentingnya hukum. Menurutnya, kebebasan sesungguhnya tidak akan mampu menjawab semua hal, terutama karena ada batas-batasnya.
Kebebasan seseorang mencapai batas ketika mulai merambah daerah kebebasan orang lain. Tak seorang pun berhak atas kebebasan mutlak. Batas mulai dan berakhirnya kebebasan, saat hak dan kewajiban menyatu, disebut hukum.
Menegakkan hukum yang adil menurut Kuntowijoyo jadi penekanan Islam untuk menciptkan ketertiban sosial. Ini sejalan dengan fungsi hukum itu sendiri dalam menjaga kebebasan individu dan kebebasan sosial. Dan menurut Camus, batas mulai dan berakhirnya kebebasan, saat hak dan kewajiban menyatu, saat hukum ditegakkan dengan adil.
Saya sedikit menyimpulkan bahwa puisi tersebut sangat dekat dengan sudut pandang Jeihan sebagai manusia Jawa dan puisi ini memandang kondisi manusia Indonesia terhadap Pancasila. Jeihan memandang secara Jawa terhadap Pancasila yang berhubungan dengan dasar negara Indonesia.
Peran Pemimpin sebagai Pusat
Bait ketiga yang diletakkan terpisah sebagai pusat menandakan hal tersebut. Pusat menurut cara berpikir Jawa adalah sesuatu atau seseorang yang mampu menopang, hal tersebut tersirat dalam perkataan Muhammad Said pada Simbolisme dalam Budaya Jawa karya Herusatoto yang menggambarkan mengenai peran pemimpin sebagai pusat.
Menurutnya, seorang pemimpin Jawa hendaknya bersifat satria dan pandita. Seorang pemimpin yang nyatria-pinanditha, tidak akan menggantungkan hidupnya kepada: semat, derajat, kramat, dan hormat. Walaupun semat atau harta itu adalah sarana untuk hidup, tetapi bukanlah merupakan tujuan untuk semata-mata dicari.
Tujuan seorang pemimpin adalah rame ing gawe, sepi ing pamrih, sugih tanpa banda atau “giat bekerja, jauh dari keserakahan dan selalu merasa kaya akan kebijakan dan selalu bisa memberi siapa saja yang minta pertolongan kepadanya.
Pemimpin yang seperti digambarkan oleh Said tersebut jadi pusat bangunan ‘V’ yang tersusun dari kumpulan ‘V’ yang membentuk pesawahan. Bentuk pesawahan ini yang jadi identitas manusia Indonesia. Tidak mengherankan dalam perjalanan sejarah, Presiden di negeri ini lebih banyak berasal dari suku, darah, dan tanah Jawa.
/Viva Pancasila/ sebagai Dasar
Bait ketiga /Viva Pancasila/ semakin menegaskan dengan tipografinya yang terletak di dasar. Kata /Viva Pancasila/ secara metaforis sejalan dengan pedoman dan falsafah bangsa Indonesia yang menggunakan pancasila sebagai dasar negara.
Bait kedua, yaitu ‘V’ yang berdiri sendiri adalah sosok pemimpin yang mampu menjadikan pancasila sebagai dasar dan ketuhanan sebagai pondasi dari setiap sisi bangunan masyarakat yang ditanggungnya. Sumardjo (2007) mengatakan, pusat itu menyatukan semua sudut pinggiran dan menyalurkan energi ke semua pinggirnya. Prinsip kesatuan bulat dan pusat. Tunggal. Tunggal yang plural (pinggiran, pengikut, bawahan) dan yang plural Yang Tunggal (satu).
Bait terkahir jadi sindirian miris yang disampaikan oleh Jeihan berupa kata: /Viva Pancasila!/. Pancasila milik seluruh manusia Indonesia atau Panca-Sila milik budaya Jawa. Penulis menafsirkan simbol tanda seru yang mengakhiri bait ini jadi suatu pertanyaan tajam yang diajukan Jeihan kepada seluruh manusia Indonesia, termasuk pemimpin yang memimpin negeri ini, dan diri Jeihan sendiri di dalamnya.
Discussion about this post