Melalui masa pubertas ala santri
Seks tetap jadi hal yang penuh rahasia hingga saat ini, meski ekspresi pengalaman seksual sudah ada di dalam lukisan Zaman Batu. Tidak pernah benar-benar selesai.
Di satu sisi seks menjadi tabu untuk dibicarakan sementara bagi yang lain jadi begitu vulgar. Sekadar bersifat badaniah, sementara bagi yang lain mengandung nilai-nilai filosofis. Hadir dalam mimpi sekaligus kenyataan.
Masing-masing kita memiliki titik awal yang berbeda terhadap seks. Usia akil balig secara fisiologi bermula dengan adanya mimpi basah, tumbuhnya rambut di bagian tubuh tertentu, atau bentuk badan yang berubah. Namun, pengetahuan atau pengalaman tentang seks, bisa jadi mulai sebelum atau sesudah batas antara masa kanak-kanan dan akil balig terjadi.
Pengetahuan dan kesadaran saya yang pertama tentang seks terbentuk ketika…ah saya lupa kapan dan bagaimana wujudnya, yang pasti hal itu terjadi di pesantren.
Mungkin melalui obrolan ringan dengan kawan-kawan, mimpi, atau pelajaran. Entah, saya benar-benar lupa.
Layaknya remaja, rasa penasaran terhadap seks tumbuh berkembang di masa pubertas dan mengejawantah dalam banyak perilaku, meski dalam kungkungan dinding pesantren.
Misalnya, saya sesekali mencari posisi duduk mengaji di saf bagian belakang agar bisa mencuri pandang ke para nisa (perempuan).
Bertukar bacaan stensilan dengan santriwan lain secara sembunyi lalu membacanya setelah lampu padam.
Memajang gambar-gambar artis gadis di lemari. Paling frontal, tentu berlama-lama di kamar mandi.
Pesantren saya tidak terlalu ekstrim dalam hal pembatasan hubungan antara santriwan dan santriwati.
Meski pesantren adalah tempat yang “suci”, manusia di dalamnya tetaplah manusia, dan seorang remaja perempuan atau lelaki tetaplah seorang remaja yang tidak terhindarkan dari salah satu fase biologis, dan hal itu harus diberi tempat.
Para ustaz dan ustazah serta kiai pengasuh pesantren tampaknya cukup paham tentang hal itu. Karenanya, ada (sedikit) kebijakan yang menyenangkan.
Misal, para santriwan dipersilakan berkunjung ke kelas santriwati, atau sebaliknya, di malam Jumat, untuk menampilkan apresiasi seni seperti teater, musik, dan muhadhoroh (pidato).
Di hari Jumat, boleh bertemu di tempat netral (contoh, kantin umum) asal dengan izin ustaz/ustazah.
Namun, batasan-batasan di pesantren lebih ketat dibanding dengan dunia di luar pesantren.
Bacaan mengenai atau yang terdapat kandungan seks selalu diletakkan di rak khusus, yang tidak boleh dibawa keluar dari ruangan perpustakaan.
Untuk membacanya harus meminta izin dengan tantangan menjawab pertanyaan berbelit (intinya: bikin malas).
Album Jamrud, Ningrat, yang memuat lagu Surti Tejo sempat jadi barang haram karena batasan ini.
Buku-buku yang berkaitan dengan seks jelas tidak diperkenankan. Jika ketahuan membacanya, hukuman paling ringan disuruh push-up atau sit-up.
Hukuman paling berat, bacaan-bacaan disita, lantas disuruh melapor ke Dewan Guru (level tertinggi dari para guru).
Saya ingat, novel Pintu Terlarang, karya Sekar Ayu Asmara, milik saya, disita (sebagian karena muatannya, sebagian karena saya membaca di jam belajar).
Bagaimanapun, pengetahuan atau pengalaman tentang seks di pesantren, sedikit atau banyak punya pengaruh pada perkembangan kepribadian.
Termasuk dalam hal ‘menemukan kegiatan menyenangkan’. Dorongan untuk menyenangi menulis juga ada kaitannya dengan ini.
Saya pernah mencoba menulis kisah-kisah ranjang, mencoba meniru buku-buku stensil Enny Arrow atau Fredy S. Hasilnya, gagal.
Gairah seksual tiba-tiba meredup ketika menulis, karena justru terlalu berkonsentrasi dengan kata-kata. Akhirnya, saya menulis meniru Ali Topan-nya Gola Gong saja.
Saat lulus dari pesantren dan masuk ke universitas negeri, ketika hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak kaku seperti di pesantren, saya sempat canggung ketika harus berkenalan dengan perempuan.
Sialnya, saya memilih kosan campur. Kamar kanan saya ditempati perempuan. Di kamar atas juga. Di kamar depan juga. Auzubillah (atau Alhamdulillah).
Discussion about this post