Meski pesantren adalah tempat yang “suci”, manusia di dalamnya tetaplah manusia, dan seorang remaja perempuan atau lelaki tetaplah seorang remaja yang tidak terhindarkan dari salah satu fase biologis, dan hal itu harus diberi tempat.
Sebelumnya Baca: Melalui masa pubertas ala santri
Konstruksi munafik atas seks
Julia Suryakusuma, dalam buku Agama, Seks, dan Kekuasaan menuliskan perilaku seksual sering jadi barometer masyarakat, jadi nilai mobilisasi besar.
Seksualitas tidak sekadar hanya biologis-fisik, namun berupa interaksi sosial.
“Karena itu, hubungan seksual adalah cermin nilai-nilai masyarakat, adat, agama, lembaga-lembaga besar seperti Negara, serta hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan.” tulis Julia.
Benar adanya, seksualitas mengandung daya tarik, gairah, nafsu, motivasi, janji-janji, yang kadang masuk ke mimpi-mimpi.
Sekaligus, hubungan seksual juga dipandang dengan kecurigaan, kebingungan, kejijikan, dan ketakutan. Di luar “kandang”, saya menemukan fakta bahwa seks adalah sesuatu yang lebih gamblang.
Pembahasan (atau pengalaman) tentang seks terjadi di mana saja. Di ruang kuliah, seminar umum, warung kopi, hingga kamar kosan.
Tapi, segamblang-gamblangnya pembahasan tersebut tidak sebanding dengan lingkup pesantren, seks tetap sesuatu yang rahasia.
Sering dianggap tabu atas nama sopan santun dan moralitas. Walau kadang hadir, terbersit dalam candaan, tapi tidak pernah sungguh-sungguh jadi sesuatu yang terbuka, bahkan cenderung dipandang hina.
Respon terhadap film Kucumbu Tubuh Indahku
Belum lama ini terjadi pelarangan film Kucumbu Tubuh Indahku karya Garin Nugroho. Para kepala daerah berbondong-bondong menelurkan kebijakan penolakan penayangan.
Orang-orang maupun lembaga-lembaga moralis lebih nyaring lagi bersorak. Padahal sebagian besar tidak/belum menonton film tersebut. Vandalisme atas karya dilakukan karena ketakutan dan kekhawatiran tanpa dasar.
Tidak sedikit karya yang dilarang peredarannya karena alasan “kekhawatiran masyarakat”. Bukan hanya dalam ruang lingkup kesenian. Dalam kehidupan sosial, hal ini sama parahnya.
Perempuan korban pemerkosaan justru sering dianggap yang bersalah: “Salahmu pulang malam, dandanan begitu”.
Di sisi lain, masyarakat Indonesia cenderung menyenangi iklan-iklan bodoh: “Cukup tunjukkan ketek mulusmu wahai kaum hawa, maka para lelaki mendekat”. Ketika dikirimi video cabul lewat whatsapp, tetap saja mereka buka walau tahu isinya cabul.
“Loh, kan munafik namanya?” konstruksi sosial munafik.
Saya bukan hendak mendukung vulgaritas seksualitas, juga bukan hendak mendukung peredaran film-film porno. Tidak sama sekali.
Mempertimbangkan batasan-batasan
Bagaimanapun, ada batasan-batasan penting untuk dipertimbangkan dalam tiap penyebaran informasi yang berkaitan dengan seks.
Saya hanya ingin memperjelas, bahwa “seks tidak pernah dipandang netral dalam konstruksi sosial”, sebab seperti disebutkan tadi, konstruksi sosial kita bermuka dua.
Untuk perihal tertentu kadang kerap mengambinghitamkan seks. Tiap hal yang berkaitan dengan seks, yang berada di luar otoritas negara dan instansi pendidikan dipandang sebagai sesuatu yang berbahaya.
Dipandang jorok, cabul, mengundang birahi, menyesatkan, beraroma api neraka.
Di sisi lain, akting-akting erotis di film-film bergenre horor (atau apalah), masih menjamur sampai sekarang.
“Sekali lagi, kan munafik namanya?”
Kita tidak bisa menutup mata bahwa memang ada kasus-kasus kekerasan atau pencabulan akibat dorongan seksual.
Tetapi berapa persen angkanya jika dibanding “mereka yang normal-normal saja walau menonton film porno tiap hari?” jauh lebih banyak yang normal.
Sebagian besar remaja, termasuk yang bersekolah di pesantren, saya yakin, pernah onani. Berdosa, barangkali iya. Namun tidak pernah benar-benar menjadi biadab dan bejat.
Lagipula, tidak bisa dipukul rata bahwa kasus-kasus kekerasan seksual semua diakibatkan gairah seks.
Faktor lain, seperti ekonomi, kebiasaan kekerasan, pendidikan rendah, sering ditepikan. Padahal, faktor-faktor itu cenderung lebih berbahaya ketimbang dampak gairah seks itu sendiri.
Mencermati atau menyelami seks semestinya tidak melulu dikaitkan dengan moralitas, lantas ujung-ujungnya berakhir pada perdebatan kuno, estetika atau etika.
Ada hal-hal yang lebih luas yang bisa diraih darinya.
Seks sejatinya mampu melampaui batas sensasi biologis atau cara berkembang biak. Ia ikut mendefinisikan siapa atau apa, menjadi cara legitimasi kekuasaan sekelompok manusia, menjadi cara mengukuhkan eksistensi, menjadi piranti penting keadilan gender, mempererat hubungan antar manusia, bahkan menjadi sarana menyatu dengan Tuhan.***
Discussion about this post