Sebelumnya Baca: Pengetahuan tentang Balobe dan Menghampiri Sufy di Piaynemo (Babak II, Bagian VII)
Sore mendung, berarak awan beriringan meneduhi lautan kepulauan Pam.
Pace Maikel berteriak sembari melambaikan tangan di bawah dermaga papan Piyanemo.
Saya dan Yesaya menyudahi keagungan surga kecil yang jatuh di Raja Ampat ini dengan melangkah turun melalui anak tangga.
Yesaya berlari, lalu saya teringat pada saat turun gunung Rinjani 8 tahun silam, di jalur Senaru lebat oleh pepohonan.
Berlari seperti saat ini, ingin segera sampai.
Pace Maikel menyambut di atas perahu, “bagaimana Rojer su puas menikmati pemandangannya?”
“Kurang pace, kurang lama”, canda saya menimpali.
“Puas sekali pace, pemandangannya luar biasa”.
“Nanti lain kali ke sininya harus siang-siang, supaya bagus, terus bisa lama”.
“Iyo pace, mudah-mudahan bisa ke sini lagi”, di atas perahu obrolan itu berlangsung sedang Yesaya angkat jangkar.
“Rojer ini langsung pulang, atau pamit dulu ke Sufy?”
“Pamitan dulu sebentar pace”
Sesampainya di pos saya mendapati Sufy sedang asik berbincang bersama keluarga barunya selama tinggal di pos jaga (tiket masuk).
Saya pun mampir hanya sekadar pamit, kemudian menanyakan kembali ke Sufy, tepatnya jam berapa besok berangkat ke Waisai.
“Mang isukan alusna jambaraha nya urang kadieu?” (Mang besok bagusnya jamberapa ke sini?)
“Pokona ulah beurang teuing weh mang” (pokoknya jangan terlalu siang saja mang)
“Syaaaap mang jam dalapan mun teu jam salapan nya mang” (okay mang jam 08.00 kalau tidak jam 09.00 ya mang)
“Okay, isukan ku urang di SMS nya“, akhiri Sufy sambil memberi uang bensin kepada pace Maikel untuk mengantarkan saya esok pagi.
Saya pun berpamitan dengan dorang, “pace-pace saya pamitan dulu”, “iyo mas sampai jumpa besok ee”.
Menepi di barak penuh makna
Kami bertiga berlalu menyusuri bukit-bukit kecil batuan karst.
Sekali lagi saya takjub dan bersyukur memperhatikan gugusan pulau mulai dari menengadah hingga menunduk dari atas puncak.
Tidak jauh dari kawasan Piaynemo, pace mampir sebentar di barak tempat para nelayan beristirahat.
Barak ini berada di kaki bukit dataran berbatu. Lokasinya terhalang pohon bakau, jika dilihat dari luar seakan tidak ada ruang apapun.
Pace langsung menuju tungku perapian yang kebetulan sudah tersedia ikan bakar dan ikan kuah.
Seketika pace menawari saya, “Rojer mari makan dulu, harusnya tadi bawa beras dari rumah, padahal sudah disiapin tapi lupa tidak kebawa ee”, ujar pace.
“iyo saya juga lupa pace, padahal saya di rumah sudah masak nasi”.
“Jadi rojer di tempat ini kitong pu sebutan barak, kalau dong yang sedang mancing terus lapar atau kemalaman, atau juga kehabisan minyak dong tinggal di sini, makan dan tidur”, jelas pace.
“Keren pace tempatnya enak, ngumpet lagi, angin juga kurang”.
“Iyo itu sudah, pokoknya orang yang su tahu saja yang mampir kemari.
Itu lagi karena berada di dalam dan dikelilingi tebing jadi anginnya kurang toh”, sambil santap sore kami asik saling berbincang.
“Pace ini ikan apa, enak sekali ee”, tanya saya.
“ini ikan merah Rojer, cuma ini masih setengah matang, tapi kalau dibuat kuah enaknya setengah matang”, ujar pace.
Kenyal saat dikunyah dengan bumbu sebatas garam dan rica (cabai kalau di Jawa), tapi nikmatnya minta ampun. Lengkap dengan latar tempat serta melodi alam.
Pace juga cerita, nanti kalau balik lagi ke barak giliran kitong bawa beras, bumbu-bumbu, gula, dan kopi untuk pengganti makan hari ini.
Barak ini tidak pernah kosong bahan makanan walau tidak banyak tetapi ada terus.
Destinasi wisata di sekitar Piaynemo
Seusai istirahat kami berlayar kembali, pace memberi tahu nama-nama tempat-tempat yang dilalui saat mancing. Pulau indah lainya di sekitaran Piaynemo.
“Rojer ini Pos Barakuda tempat diving“, dari spot ini hingga ke Misa Garden adalah salah satu spot favorit para turis menikmati biota dan taman laut.
Selanjutnya saya dibawa mampir ke Tatu Karured dalam bahasa daerahnya yang artinya (tanjung).
Tidak jauh dari sana kami menyusuri gugusan Pulau Taporapwer (batu kapur) lalu berlanjut masuk ke pulau-pulau tanpa penghuni berpasir putih dikelilingi bukit-bukit kecil.
Saya dapat memastikan tempat-tempat ini belum jadi destinasi wisata akan tetapi recommended sekali bila dikelola dengan baik.
Selama perjalanan pulang pace hanya beberapa kali saja turun molo, karena hari sudah sore serta air laut pasang.
Jika tidak segera ke kampung kemungkinan kami harus menghadapi gelombang, arus kencang, beserta angin.
Pace memberitahu untuk sampai ke kampung masih menyisakan satu kali lagi menyeberang pulau.
Saya pun merasakan pesan pace saat perahu kayu sedikit oleng dihantam ombak. Berusaha untuk tidak panik, mengikuti irama ayunan ombak.
Kembali ke kampung Pam dengan selamat
Sesampainya di kampung Pam, pace langsung menuju kios, sedang saya dan Yesaya menyimpan peralatan menuju rumah.
Seusai itu saya membersihkan diri, berlanjut memanaskan nasi di atas tungku.
Yesaya seperti biasa tiap pergantian sore menjelang malam datang untuk menyalakan lampu rumah kak Gatrija.
Kemudian selang setengah jam, mama Yesaya menghampiri saya saat sedang di dapur, ia membawa sedikit ikan hasil molo.
Mama Yesaya memanggil dari balik pintu kayu dapur dengan jendela bambu yang terbuka mengintip dapur.
“Selamat sore mas Rojer”, sambil menyodorkan piring berisi ikan yang saya sambut penuh senang.
“Sore, aduh mama jadi ngerepotin, terimakasih banyak”.
“Tidak mas rojer, maaf sedikit ikanya”, ujar mama Yesaya.
“Silakan mas Rojer makan dulu, nanti kalau pace sudah beres makan, mau ke sini katanya, pace ada mandi dulu”.
“Iya mama, ah sudah biar saya saja nanti yang ke rumah”
“Iyo sudah selamat makan mas Rojer”.
“Iya sekali lagi terimakasih banyak mama”.
Kebiasaan berbagi masyarakat kampung Pam
Sepengamatan saya selama tinggal di kampung Pam, masyarakat mempunyai kebiasaan saling berbagi yang sangat unik.
“Karena dorang di kampung punya ikatan darah dari moyang, kalau mas tanya asal muasal satu keluarga saja, pasti memiliki hubungan ikatan keluarga dengan yang lain”.
Kebanyakan di Kampung Pam marganya Dimara. Sehingga tidak boleh menikah dengan marga yang sama.
“Jadi dorang kalau lapar langsung masuk dapur itu sudah jadi hal biasa di Kampung, kalau ada makanan ya makan, kalau tidak ada ya tidak makan”, ingat saya saat beberapa hari ke belakang berkunjung ke rumah Paitua.
Saya biasa memanggilnya Tete Elis, rumahnya terhalang tiga rumah dari ka Gatrija.
Seusai makan saya berkunjung ke rumah pace Maikel. Seperti biasa, berbekal kopi senang dan anggur kupu. Duduk di beranda teras lalu menyapa, “Selamat malam pace”.
“Selamat malam mas Rojer”, timpal pace yang kemudian duduk melingkar disusul mama Yesaya beserta adik dan kakanya.
“Bagaimana mas Rojer rasa ikanya?”
“Enak pace segar, baru itu ikan apa ee?”
“ikan yang tadi sudah, ikan Bubara”
“Susah membedakannya pace kalau sudah diolah, maklum jarang makan ikan laut, Bandung tidak punya laut”, canda saya.
“Begitu ya, masa Bandung tidak punya laut?”
“Iyo pace kalau dari bandung ke pantai itu, jarak 6 jam baru sampai, itu juga masuk ke wilayah kabupaten. Bandung mah tidak punya pantai, sedih pace”,
Canda saya, langsung ditimpali.
“Sa kira punya pantai mas Rojer, baru kalau di Bandung keadaanya seperti apa mas rojer, pasti banyak mal yah”, tanya pace.
Tanpa lama berpikir saya menjawab, “wah kalau Bandung sekarang mah macet pace, kalau musim hujan banjir. Iya banyak mal, kafe-kafe tempat nongkrong, dan taman-taman kota”.
“Begitu ee, baju-baju murah ee di Bandung?”
“Iyo, soalnya Bandung terkenal dengan industri tekstilnya pace, banyak pabrik tekstil”.
Mulai berencana berbisnis pakaian
Obrolan pun merambat, saling tukar informasi harga-harga pakaian di sini dan di Jawa. Hingga saya miris mendengar perbedaanya.
Mama Yesaya menambahkan, “mas Rojer, itu biasa mas-mas yang suka jual pakaian keliling ke tiap pulau, baju anak satu pasang itu sampai seratus ribu paling murah”.
“Mahal yah”, sahut saya.
“Itu sudah mas Rojer”.
Setelah mengetahui perbedaan harga dan cerita banyak, dengan refleks saya bercerita, “mudah-mudah pace ke depan saya diberi jalan buat nyoba ngepres harga pakaian di sini”.
“Iyo, mudah-mudahan nanti pas sampai di Waisai mas Rojer cepat dapat kerjaan, terus coba datangkan barang-barang dari Bandung ee”.
“Amin terimakasih banyak pace, iya mudah-mudahan bisa nabung untuk modalnya cepat”.
Saya mendapat ide ini karena yakin dan bisa menekan harga sudah dengan ongkos kirim.
Setelah menimbang-nimbang kembali alur perjalanan saat menabung uang di Tanjung Priok.
Yakin bahwa pengalaman perjalanan adalah investasi yang berharga.
Berusaha keras mengubur kemungkinan-kemungkinan negatif, percaya untuk bisa jadi seorang pedagang.
Dorongan yang timbul dari hati nurani sudah cukup jadi modal, itu yang saya pahami.
Bukankah menyenangkan jika kita sengsara dengan apa yang diinginkan ketimbang melarat memperjuangkan sesuatu yang bukan diri sendiri.
Saya bercerita dengan pace tentang relasi dengan para TKBM di Tanjung Priok, bahkan masih berkomunikasi cukup baik sampai sekarang.
Pace juga merasa yakin dengan rencana-rencana saya, sampai-sampai pace keheranan saya bisa sampai di kampunya dengan bekal seadanya.
Berpisah dengan pace Maikel dan Yesaya
Saya menghabiskan pagi terakhir di kampung Pam dengan memburu sunrise pada 06.30 WIT.
Kemudian, saya kembali ke rumah langsung packing barang bawaan pribadi dan beres-beres ruangan.
Pukul 09.00 WIT kami bertiga kembali berlayar menuju Piaynemo. Cuaca teduh mempercepat waktu tempuh.
Selama perjalanan saya menanyakan perihal minyak.
“Pace kira-kira habis berapa liter dari Pam ke Piaynemo?”
“20 liter, itu kalau sambil putar-putar piyanemo. Habis 10 liter kalau hanya Pam-Piyanemo tanpa putar-putar”, terang pace.
Pada 2019 harga minyak campur di Pam seharga Rp13.000 per liter.
Pace juga menceritakan, kemarin ketika membeli minyak, mata kail, timah, dan nilon. Ia menukarnya dengan Ikan.
“Kadang Rojer sa pulang dengan hasil mencari ikan baru tra sampe”, ungkap pace.
Pemilik kios dapat memaklumi, besoknya dong baru mancing lagi, cari ikan untuk ganti minyak.
“Baru berapa banyak ikan itu pace supaya minyak bisa terganti?”
“Biasanya 4 sampai 5 ikan jenis tenggiri su bisa ganti minyak”, 5 ikan tenggiri berukuran besar bisa sampai senilai Rp500.000 lebih jelas pace.
Semilir angin berhembus melaju bersama perahu kayu menyusuri laguna hijau tosca perbukitan karst.
Di kejauhan sudah terlihat papan bertuliskan Piaynemo.
Beberapa meter dari sana terlihat Sufy berdiri menyambut kami.
“Tadina rek ditinggalkeun siah mang” (tadinya mau ditinggalin mang)
“Aduh hampura mang” (aduh maaf mang)
Sufy cerita, speedboat yang bisa ditumpangi sampai Waisai sudah berangkat.
“Tapi ke sugan aya speedboat masuk, ke pace anu ngomongna mah, jadi ke urang duaan dititipkeun” (tapi mudah-mudahan ada speedboat lagi yang masuk, nanti pace yang bilangnya, jadi kita berdua dititipkan), terang Sufy.
Pace Maikel dan Yesaya tidak bisa berlama-lama karena mengejar jam ikan makan, kami berdua mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada pace.
“Pace terima kasih sudah banyak membantu kami, maaf selalu merepotkan selama di kampung”, ujar Sufy.
Kemudian diakhiri pamit oleh saya, “sekali lagi terima kasih banyak pace, sampai jumpa kembali ee”
“Iya sama-sama kami juga minta maaf yah, hanya bisa membantu seperti itu sudah, banyak kekuranganya, iyo sudah kasih kabar ee kalau kembali lagi ke Pam, Rojer nanti kalau masih tinggal di Waisai kasih kabar ee”.
“Siap pace”.
“Iyo sudah, sampai jumpa kembali ee”, kemudian pace berlayar menjauh.
Kembali ke Waisai mampir di Pasir Timbul
Kami berdua duduk melingkar, bercakap-cakap sambil menunggu speedboat yang datang masuk ke pulau.
Sepintas Sufy memberitahu, kawasan Piaynemo dikelola oleh tiga kampung yang berada di distrik Waigeo Barat.
Di antaranya kampung Pam, Saukabu dan Saupapir. Distrik ini memiliki sistem dengan mengalokasikan sebagian penghasilan dari pariwisata untuk pendidikan di tiga kampung ini.
Obrolan terhenti ketika ada speedboat datang, seketika pace Dimara menghampiri, kemudian berbincang.
Kemudian, salah satu dari mereka menanyakan tujuanya ke mana dan berapa orang.
Seketika Sufy menghampiri pace yang membawa kemudi kemudian berunding dengan penumpang.
Beruntung kami berdua diperbolehkan ikut dengan syarat.
“Tapi masnya duduk di atas tidak apa-apa, karena di dalam sudah penuh?”, ujarnya.
Tidak menunggu lama kami mengangguk, malah senang saat duduk di atap speedboat bertuliskan “dua putri” yang melaju sangat kencang.
Dalam tumpangan kali ini kami mendapat bonus mampir ke Pasir Timbul.
Pasir Timbul adalah destinasi wisata yang memiliki keunikan tersendiri. Kawasan Pasir putih ini berada jauh dari daratan.
Letaknya hampir di tengah lautan, diapit pulau di kanan dan di kiri.
Pasir timbul menyesuaikan dengan keadaan air, jika air surut timbulah pasir putih menghampar, sebaliknya saat air pasang pasir tenggelam seakan tidak ada apa-apa.
Hanya sebentar saja di sana karena air sudah mau naik dan pasir putih sedikit demi sedikit terkikis air. Sekadar mengabadikan momen dan berenang.
Kemudian, kami melanjutkan perjalanan pulang. 3 Mesin speedboat 85 PK dengan cepat mengantarkan kami sampai di Waisai.
Foto sampul artikel oleh Irsyam Widiyoko
Discussion about this post