Sebelumnya Baca: Piaynemo Penyangga Perekonomian Kampung Pam (Babak II, Bagian VI)
Masyarakat Kampung Pam memiliki tradisi kearifan lokal yang disebut Balobe. Mencari hasil laut pada malam hari, saat bulan gelap dengan menggunakan alat tombak dari bambu yang disebut Kalawai.
Masyarakat memancing masih berdasarkan pada sistem pengetahuan setempat. Menggunakan insting untuk mengetahui waktu yang tepat dengan melihat kondisi alam.
Dalam Balobe, dong menghitung saat tiba bulan gelap. Ketika ikan akan berkerumun karena keterbatasan penglihatan.
Masyarakat pesisir Raja Ampat, khususnya nelayan di Kampung Pam memiliki kemampuan melihat bintang untuk mengetahui jenis ikan tertentu.
Saya mendengar langsung kisah nenek moyang mereka yang dari Bapa Saul Urbasa tentang Bintang Kamyan, Bintang Tarmur, dan Bintang Cawako.
Ketiga bintang ini dijadikan pemandu untuk mengetahui musim Teteruga dan menandakan hitungan musim angin serta musim ikan gemuk.
Ketika tiba musim ini, orang tua terdahulu turun ke laut dengan membawa Aco semacam tombak (untuk menikam Teteruga).
Saat musim Balobe tiba, masyarakat turun ke laut dilengkapi lampu petromak sebagai sumber penerangan utama. Lampu diletakkan tepat di muka perahu, agar ikan berfokus pada cahaya.
Selanjutnya, cahaya akan menggiring ikan sampai ke tempat dangkal, kemudian dong menombaknya dengan Kalawai.
Saat Balobe, baiknya berangkat dengan minimal dua orang. Satu orang memegang kontrol kemudi mesin perahu, satunya lagi fokus menombak ikan dengan Kalawai. Pace mengatakan, lebih dari dua orang berangkat Balobe lebih bagus.
Adakalanya dong berjalan di air Meti (air surut) dengan cukup membawa Kalawai menombak jenis ikan Samandar Papan (Baronang).
Aktivitas Balobe di Kampung Pam hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sehari-hari dan berbagi dengan tetangga.
Cerita Pace sebagai nelayan
Obrolan semakin panjang, kemudian berlanjut saya menggali kisah Pace Maikel sebagai seorang nelayan. Kopi senang dan tembakau gulung dengan setia menemani, membuat kami bahagia ngadu bako (gulung tembakau). Di sela obrolan Pace berujar, “Rojer gulung dulu, masih adakah anggur kupunya?”
“Masih pace”
Pace sempat berucap, kebiasaan saya mengingatkannya pada kebiasaan orang tua dulu. Menghisap tembakau Anggur Kupu.
Saya menjadikan Pace Maikel sebagai Narasumber selama tinggal di Kampung Pam. Di beranda teras dapur saya mulai bertanya, “Baru Pace di umur berapa tahun menjadi seorang nelayan?”
“Dari kapan ya, lupa kalau sudah mengingat tahun, tapi bisa dibilang su dari kecil ikut-ikut orang tua kalau mencari”, terangnya.
“Sudah jadi kebiasaan turun temurun Pace, ya?”
“Iyo itu sudah mas Rojer”
“Kalau mulai jual ikan hasil mencari sendiri, sejak kapan itu? melanjutkan keingintahuan saya.
“Mungkin pas umur 16 tahun kah, mulai sa jual ikan hasil mencari sendiri”
“Sempat diajarkan tidak kah sama orang tua cara mencari ikan?”
“Tidak pernah mas, saya sering lihat orang tua saja, terus sedikit-sedikit dong suruh bawa motor, pantau bapa Molo ikan (panah ikan), ke sininya sudah dibolehkan bawa motor, sampai mencari ikan sendiri”
“Ikan jenis apa saja itu yang dijual?”
“Banyak mas Rojer, ikan Cakalang, Bubara, dua ikan itu saja su pu jenisnya lagi, kadang juga ikan Batu-batu juga dijual,” ujar Pace sambil menyeruput kopi, sedang saya kembali gulung si anggur kupu.
Penghasilan tidak tetap seorang nelayan
Pace kemudian menceritakan hal yang sensitif. Pekerjaan sebagai nelayan, penghasilannya tidak tetap. Sebab harus menyesuaikan cuaca serta menentukan tempat mencari ikan, itupan bersyukur kalau jaraknya dekat.
Pace juga sempat mengutarakan keluhan, beberapa kawasan saat ini sudah banyak dilarang untuk mencari ikan. Ia merasa belum mendapat solusi atas aturan yang kerap membuat bingung nelayan kecil.
Khususnya bagi para nelayan di perkampungan. Mereka mencari ikan secara mandiri tanpa peralatan modern yang mumpuni.
Tapi dibalik semua keadaan yang dihadapi para nelayan kecil ini, dong berucap, “hanya untuk sekedar bertahan hidup”. Artinya, tidak dengan jumlah besar seperti para pengusaha yang memiliki bagang di tengah laut.
Pace pernah mendapat hasil 1 juta lebih dalam sehari kalau sedang beruntung, di saat normal biasa dapat di bawah Rp500.000 belum terpotong BBM.
Malam larut hingga tidak terasa mata kami sudah 5watt pas. Saya mengakhiri pesan, “besok lanjut lagi Pace bantu cari cara supaya bisa nengokin Sufy.”
“Iyo besok sudah, nanti coba ambil dulu minyak ke kios, mudah-mudahan bisa ya mas Rojer”
Merasakan pengalaman molo ikan
Berhubung akses komunikasi mengalami kendala jaringan, saya bersama Pace Maikel dan Yesaya (putra pace) memilih untuk menghampiri Sufy ke Piaynemo.
Keputusan yang satu ini memerlukan obrolan panjang antara saya dan Pace, masalahnya saya tidak punya cukup uang untuk membeli minyak menuju Piaynemo.
Hingga akhirnya Pace memilih bertaruh dengan berangkat sembari mencari ikan.
Akhirnya, dalam benak saya berucap syukur. Tepat setelah Yesaya angkat jangkar, kemudian menarik perahu sampai baling-baling motor aman untuk dinyalakan.
Pagi itu, Pace mengabulkan keinginan saya yang terpendam untuk sampai di Piaynemo.
Imaji mulai menggila menikmati semua keindahan di sekitar.
“Rojer sebelumnya pernah panah ikan tidak?” tanya Pace menyadarkan lamunan ketika perahu menyusuri gugusan pulau.
“Belum pernah Pace, saya tidak terlalu mahir juga berenangnya,” timpal saya sambil ceungengesan.
“Jadi ini pertama kalinya ya ikut molo ikan?”
“Pernah juga waktu saya lagi di Karimun Jawa, Pace, tapi tidak sempat mencoba, cuma snorkeling saja mengikuti yang memanah, itu juga pakai pelampung, Pace”
“Oh begitu yah, Ini juga maskernya cuma ada satu, kalau ada dua barang kali Rojer mau coba-coba kah?”
“Wah belum kayanya Pace, masih takut”
“Masih takut ee, iyo sudah kalau begitu jaga kemudi sama Yesaya ya, nanti kalau saya ada teriak berarti itu kode, perahu terlalu jauh, atau terlalu arus kencang”, terang Pace.
Menuju Piaynemo
Saya dan Yesaya tidak mengabaikan pesan Pace, kami bergantian berenang, tiba giliran saya, “adek perahunya jangan jauh-jauh dari saya ee, kaka masih takut berenang,” terus terang saya dari pada menyesal, harus tenggelam di beningnya air yang menembus pasir putih dan terumbu karang.
Pace berteriak sambil melambaikan tangan dengan perkiraan jarak 30 meter lebih. Kini giliran Yesaya yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 4, beraksi. Ia menyela tali motor dengan gesit, kemudian saya menarik jangkar.
Yesaya langsung mengarahkan kemudi menuju Pace, cepat saja muka perahu sudah saling berhadapan.
Pace naik ke perahu lalu berujar, “Rojer di depan gelombang besar ee”, beri tahunya sambil melepas masker, lalu ia mengambil alih kemudian sambil melempar tanya.
“Rojer mau ke Sufy sekarang?”
“Dari Pace saja toh”, timpal saya
“Ke sana sekarang saja ya, nanti pulangnya baru lanjut lagi kita mencari ikan”
Perahu melaju sedikit melawan arus, karena posisi kita ada di belakang pulau Piaynemo, hanya tinggal satu kali menyeberang. Kami masuk lewat belakang pintu masuk Piaynemo.
Bertemu Sufy di Piaynemo
Sesampainya di pos Piaynemo tempat tiket keluar masuk speedboat pariwisata. Saya langsung bertemu Sufy yang kebetulan sedang bertugas menjaga pos.
Saya kaget, sekaligus terbawa miris melihat kondisi Sufy yang terserang Agas. Bisa dibilang dari kaki, lengan, dan badan hancur membekas bintik merah akibat sengatan Agas.
Kemudian Sufy menceritakan kronologis kenapa ia bisa terkena Agas, ketika sedang berjaga, ia khilaf ketiduran di samping papan pos bertuliskan Welcome to Piaynemo.
Sufy bercerita saat kami sedang duduk-duduk ditemani Pace-pace yang sedang bertugas menjaga pos.
“Poho pisan mang ngeuleunyep weh kasarean sore-sore, aslina mang ieu geus teu kuat kudu dipariksa uy” (lupa banget mang ketiduran sore-sore, serius mang ini udah gak kuat harus diperiksa) sembari garuk-garuk tiada henti ia memberi tahu saya.
Thanks God!!! Akhirnya saya sampai di puncak Piaynemo
Setelah mengobrol-ngobrol, Sufy menyarankan saya untuk langsung mendaki puncak Piaynemo. Pencapaian yang sempat tertunda tiga hari.
Ia memberi saya sebatang rokok pengganti anggur kupu yang ketinggalan di Kampung Pam.
“Sok mang ngeunaheun pisan, mantap pokona mah”
“aslina mang”.
“Aslina, jongjon keun mang!”
Kemudian Pace mengantar saya dengan perahu kayu yang melaju pelan, seakan Pace mengerti sisi terindah menikmat pemandangan Piaynemo dari dekat.
Gugusan bukit karst dengan air seperti kaca menembus terumbu karang beragam warna. Beragam jenis ikan penuh warna bersebaran saat tiba di papan berlantai, Piaynemo.
Terasa sulit bagi saya untuk tidak terburu-buru, sesegera mungkin ingin sampai di atas puncak. Nyatanya tidak mudah untuk sekadar menikmati saja.
Saya harus sedikit berjuang mendaki anak tangga dengan pepohonan endemik yang meneduhkan.
Pendakian lumayan menguras keringat, hitung-hitung olahraga menaiki anak tangga.
Sejenak saya beristirahat di pondok yang sudah disediakan. Spot di dalam hutan perbukitan karst menawarkan keheningan dengan orkestrasi acapella burung, menjernihkan seisi pikiran.
Kini saya menjejaki anak tangga, semua indera saya merespon keindahan ini.
Terima kasih Tuhan, tanpa henti saya berucap rasa syukur bersama keagungaNya. Sejauh mata memandang tidak ada satu ranting pun yang membatasi mata ini, seutuhnya menikmati keindahan dasar laut dari puncak Piaynemo.
Paduan suara burung tiada henti berdendang berselaras dengan angin yang menerpa saya.
Sebatang rokok lebih dari kata nikmat menjelma kontemplasi yang saya aminkan. “Thanks God!”
Discussion about this post