Sebelumnya Baca: Kampung Pam, Masalah Listrik, dan Agas (Babak II, Bagian V)
Seusai keberangkatan Sufy dan pemilik rumah (Ka Gatrija sekeluarga) ke Biak, Papua Barat. Siang itu saya putuskan untuk menghabiskan waktu mengitari pulau, setelah ternyata tidak menjumpai banyak aktivitas masyarakat.
Sepengamatan saya tidak sampai satengah pulau ini dijadikan permukiman. Hampir setengah luasnya ditumbuhi pepohonan khas pesisir.
Pasir putih bercampur patahan terumbu karang berserakan di sepanjang pesisir pulau. Musikalisasi alam menemani langkah menyisir tembok tanggul pantai di arah jalan pulang.
Tiba kembali di rumah, saya menghampiri pace Maikel yang sedang duduk-duduk di beranda dapur bersama Mama Alfredo Fakdawer. Belakangan saya tahu Mama Alfredo aktif bersama ibu-ibu PKK di kampung.
Aktivitas masyarakat mengelola kelapa menjadi sabun
Saya menghabiskan siang hari di sana. Mama Alfredo menceritakan kegiatanya mengelola kelapa menjadi produk sabun.
Tertarik untuk mengetahuinya, lalu saya bertanya, “Mama, kapan aktivitas ini mulai ada di kampung Pam. Setelah mengingat kembali, Mama menjawab, “belum sampai 3 tahun mas Rojer.”
Ia juga menginformasikan tidak hanya kampung Pam yang mendapat perhatian dalam pengelolaan ini. Kampung lainnya seperti Saukabu juga mengolah buah kelapa, produknya Virgin Coconut Oil dan Kampung Saupapir mengolah kelapa jadi Handbody.
Lebih lanjut Mama menjelaskan, program ini berada di bawah bimbingan Conservation International (CI).
Masyarakat Kampung Pam, mengerjakan proses pengembangan produk turunan olahan kelapa secara berkelompok.
Sampai sekarang Dong sudah punya tiga varian produk yaitu sabun dengan wangi melati, lavender dan coconut.
Sedangkan untuk pemasaran, produk sabun dengan kemasan yang berukuran kecil dikirim ke hotel-hotel di sekitar dan untuk ukuran yang lebih besar dijual di sekitar pulau Piaynemo.
Peran penting Piaynemo bagi ekonomi masyarakat
Keberadaan Pulau Piaynemo dan aktivitas pariwisatanya memberi andil cukup signifikan untuk perekonomian masyarakat di kepulauan Pam. Pasalnya, Dong memiliki sistem kesepakatan pembagian kerja dengan melibatkan masyarakat kampung.
Belakangan saya tahu proses pengelolaan tempat wisata di pulau Piaynemo. Pulau ini dikelola oleh masyarakat di tiga kampung. Menggunakan sistem bergulir dengan tenggat waktu satu minggu sekali.
Misal, minggu sekarang bagiannya Kampung Saukabu untuk mengelola Piaynemo, minggu selanjutnya Saupapir, hingga tiba giliran kampung Pam untuk satu minggu ke depan.
Piaynemo diakui oleh Mama Alfredo sebagai tonggak mata pencaharian masyarakat Kampung Pam. Tujuan pemasaran komoditas lokal seperti buah pinang, aksesoris kerajinan tangan, dan kelapa muda.
Aktivitas lainnya selain berjualan, masyarakat juga berperan menjaga pos tiket masuk berwisata secara bergantian di Piaynemo.
Kopra, komoditas warisan nenek moyang
Bagi masyarakat Pam, Kopra (daging buah kelapa yang sudah dikeringkan) adalah mata pencaharian utama yang diwarisi secara turun temurun, selain aktivitas nelayan tentunya.
Pace Maikel bercerita sekilas pengalaman saat menjadi pekerja tani Kopra di kebun milik Bapa Saul Urbasa.
Biasa Dong mengerjakannya secara berkelompok dan hasilnya dibagi rata setelah panen. Misalnya, lahan dikerjakan lima orang.
Upah per orang bisa sampai Rp1.5 juta bersih dengan potongan bensin, kopi, gula, rokok yang terlebih dahulu mereka ambil di kios.
Berbeda halnya jika pengerjaan lahan digarap dengan sedikit orang, upahnya pun bisa lebih besar. Pada 2019 kopra yang sudah kering harga per satu kilo gramnya Rp3.500.
Saat panen tiba masyarakat biasa menginap di pulau hingga satu minggu atau lebih bergantung dari banyaknya hasil panen.
Pengetahuan tentang Kopra dari Pace Maikel
Pace penuh semangat menceritakan sambil meragakan detail pekerjaanya ketika kami berdua di halaman rumah. Ia langsung membawa peralatan tempurnya.
“Rojer, parang ini gunanya untuk mengambil kelapa tua yang su jatuh dari pohon, tokiakan (pukul ke arah kelapa), lalu masukan ke saloy (keranjang),” Pace beberapa kali memperlihatkan gayanya dengan menujuk saloy yang digendong.
“Terus kalau kelapa su terkumpul selanjutnya dikupas, dan dapat ambil buahnya,” Pace mencungkil isi kelapa sambil melanjutkan, “serabut/ampas kelapa ini mas, masih dapat dipakai untuk bahan bakar selama asar kelapa,” terang pace sambil menegaskan.
“Nanti kalau lagi kebetulan saya ada kerja Kopra, Rojer bisa ikut ee, supaya jelas, kalau ini buat gambaran saja toh,” tegas Pace.
Jelang sore itu kami duduk-duduk kembali dengan ditemani anggur kupu (tembakau) dan kopi senang.
Menyaksikan cara memancing masyarakat Pam
Sore hari tiba, saya kembali berjalan mendekati dermaga kecil berlantai papan, kali ini saya memperhatikan aktivitas kaka-kaka dan anak-anak kecil sedang bermain dengan cigi (nama alat pancing dari bambu, nilon dan mata kail).
Tempat ini jadi sangat ramai jelang air pasang. Menghampar pemandangan segerombolan hitam bergerak di balik birunya air laut. Menandakan ikan oci sedang bermain tidak jauh dari ref hingga ke kolong papan jembatan.
Saya pertama kali menyaksikan aktivitas memancing tanpa umpan, cukup bermodalkan mata kail yang sudah terpasang di cigi.
Sekilas terlihat mudah, hanya dengan melemparkan mata kail ke arah titik hitam bergerombol.
Seketika mata kail menyentuh air, langsung dapat ditarik, jika dirasa berat tanda ikan oci tersangkut di mata kali.
Namun tidak segampang yang dibayangkan, setelah saya mencoba, beberapa kali gagal terus, untuk bisa dapat satu ekor saja susahnya minta ampun ee.
Bagi Dong yang sudah terbiasa memancing ikan dengan cigi, sebentar saja sudah dapat satu loyang ikan oci.
Anak-anak kecil juga tidak kalah aktif, dong memancing sambil bermain menggunakan tali nilon dengan mata kail dan umpan tepung. Ikan bukan untuk dikonsumsi tapi dilepas kembali.
Lembayung berangsung padam, menggeser keceriaan di dermaga kecil ke dalam kampung. Jajaran blok pertama yang berdekatan dengan dermaga jadi bagian tempat anak-anak menghabiskan malam.
Berbagi kisah semalam suntuk dengan Pace Maikel
Saya kembali ke beranda teras Pace Maikel, berteman bintang serta keheningan malam yang menyusup di gendang telinga.
Duduk berdua dengan Pace, saya mengawali obrolan dengan mengisahkan kehidupan di pulau Jawa, hingga kisah keberangkatan dari rumah hingga sampai di kampung ini. Sedangkan Pace berkisah seputar perkampungan Raja Ampat.
Selama tembakau masih setia mendampingi malam yang panjang. Kami berbagi cerita tanpa henti. Dibalut kisah lucu dan haru. Malam berlalu tak berasa, hingga kantuk menghentikan obrolan.
Sejarah lisan Kampung Pam
Besok paginya, 22 April 2019, hari ketiga saya tinggal di Kampung Pam dengan berbagai aktivitas dan pengalaman baru. Saya kemudian mengenang kebiasaan Nenek di kampung, pegunungan Jawa Barat.
Pagi-pagi sekali masyarakat Pam sudah menyapu halaman. Belakangan saya ketahui sebelum menyapu Dong biasa mencuci piring dan membuat kue.
Seusai menyapu biasanya Dong duduk-duduk santai di beranda rumah. Setelah sarapan dengan kue dan segelas kopi/teh barulah kehidupan seisi kampung dimulai.
Beberapa dari mereka bersiap pergi berkebun, lahanya berada di pulau seberang. Dong bilang Tanah Besar atau Arfos. Di sana masyarakat bercocok tanam keladi, petatas, kasbih, pisang, sagu, pinang, dan kelapa.
Mayoritas hasil panen dikonsumi untuk kebutuhan rumah tangga, kecuali hasil kebun seperti pinang dan kopra yang dijadikan komoditi untuk dijual.
Berdasarkan sejarah lisan yang dituturkan oleh Bapa Saul Urbasa. Sekitar tahun 1930an sebelum mendiami kampung Pam, masyarakat tinggal di Tanah Besar, Arfos.
Orang Sawai, atau saat ini dikenal dengan orang Seram yang menyematkan nama Pam untuk kampung ini. Jadi ceritanya, dulu mereka melepas jaring di wilayah Pam.
Setelah ikan penuh. Jaring ditarik, lalu putus. Dari kejadian itu diberilah nama Pam Bemuk. Pam berarti Jaring, Bemuk berarti putus.
Aktivitas kerajinan tangan masyarakat
Selain berkebun, saat luang Mace-mace di kampung mengisi waktu dengan menganyam senat (tikar).
Saya mendekat ke salah satu rumah saat sedang berkeliling, lalu berjumpa dengan Mace Lorina yang sedang menganyam.
Mace cerita, senat yang dikerjakannya berbahan dasar gaba-gaba (batang) pohon sagu. Gaba-gaba diambil lalu diraut menggunakan pisau.
“Kalau dulu mas, yang pesan senat banyak, kitong (kita orang) sampe tidak berhenti bikin. Kalau sekarang su berkurang, jual satu-dua saja susah,” jelas Mama Lorina saat di beranda rumahnya.
Ia juga menceritakan masih memiliki kerabat dengan Bapa Saul Urbasa, setelah Mama Lorina tahu di mana saya tinggal.
“Mama, baru yang beli kebanyakan dari daerah mana saja?”
“Kebanyakan dijual ke luar kabupaten Raja Ampat mas,” ujar Mama. Kemudian saya menanyakan nilai jualnya.
“Harga jual beragam menyesuaikan ukuran, senat kecil berkisaran di harga Rp100.000 dan yang sedang Rp150.00 dan yang jumbo bisa sampai Rp300.000,” ujar Mama
Harga ini menyesuaikan dengan realita yang ada. Raja Ampat adalah wilayah kepulauan, minyak dan bensin jadi kebutuhan primer yang menguras uang masyarakat.
Saat ini Mace menyediakan senat jika ada pesanan saja. Seperti yang sedang dikerjakan ini untuk dikirim ke Sorong.
Selain menganyam senat, masyarakat juga membuat tas Noken. Tas ini menggunakan material yang tumbuh di pesisir Raja Ampat.
Masyarakat pu bahasa sendiri, Dong menyebutnya daun tikar, daun ini berasal dari pohon tikar yang bersirip dan berduri.
Proses pembuatanya, daun dibakar, kemudian diraut supaya mudah dianyam dan memiliki ketahan.
Kemudian daun jemur, semula dari warna hijau sampai keputih-putihan baru bisa dijadikan bahan noken. Selain itu masih ada kebiasan lain dari masyarakat yaitu menganyam topi dan atap rumah.
Semua mata pencaharian masyarakat ini warisan turun temurun. Aktivitas ini masih dapat dijumpai di seluruh perkampungan pesisir Raja Ampat, terang Mace. Biasanya pesanan datang dari tamu yang berwisata dan pegawai di pemerintahan.
Foto sampul artikel oleh: Irsyam Widiyoko
Discussion about this post