Kecintaan saya kepada komik tidak se-konsisten kecintaan pada Aura Kasih. Dragon Ball adalah komik pertama yang dibaca dan setelahnya saya lumayan terobsesi.
Saya pernah punya apapun yang berhubungan dengan Dragon Ball. Mulai dari action figure sampai poster-poster yang sekarang entah di mana.
Selain itu, pernah membuat semacam komik yang semua karakternya saya contek dari Dragon Ball. Tapi sayang, itu semua entah di mana. Padahal, kalau diingat, gambarnya lumayan bagus untuk ukuran bocah usia 8 tahun.
Dragon Ball mengajarkan banyak hal. Salah satunya adalah keberadaan alien. Son Goku dan Piccolo adalah alien, imigran di planet Bumi. Walaupun begitu, mereka tidak rela ketika Freiza akan memusnahkan Bumi—Goku dan Piccolo sangat menjungjung tinggi, “Di mana Bumi dipijak, di situ langit dijunjung.”
Goku tidak pernah berambisi untuk menguasai dunia. Begitu juga Piccolo. Coba bayangkan jika Piccolo menguasai dunia. Semua pria dewasa saya kira bakal diwajibkan memakai sorban dan baju gamis. Tetapi semua itu tidak terjadi karena keduanya sadar: mereka hanya imigran.
Selain Dragon Ball, saya juga membaca komik Kungfu Boy (Iron Fist Chinmi/Tekken Chinmi). Tapi, Dragon Ball adalah prioritas utama saya. Dan karena uang jajan yang semakin memprihatinkan, saya terpaksa berhenti membeli dan menyewa komik.
Beruntung, tidak berselang lama banyak stasiun televisi yang menayangkan film Anime. Ada pengalaman yang berbeda ketika membaca dan menonton TV.
Ketika membaca komik, saya dapat berimajinasi secara liar. Sedangkan ketika menonton Anime imajinasi saya seperti mentok di layar TV.
Parodi nama-nama tokoh Dragon Ball
Hal yang menarik, merangkum dari berbagai sumber, pada mulanya Dragon Ball hanya komik jeprut yang memarodikan Perjalanan ke Barat Sun Gokong.
Kalau tidak percaya, coba perhatikan bagaimana Toriyama memberikan nama untuk tokoh-tokohnya.
Penamaan tokoh Bangsa Saiyan berasal dari jenis-jenis sayuran—Saiya adalah pelesetan dari kata Yasai yang berarti sayuran.
Nama asli Son Goku adalah Kakaroto yang diambil kata carrot alias wortel. Vegeta dari kata vegetable, dan Raditz dari kata radish alias lobak!
Sedangkan tokoh bangsa Namek, Toriyama mengambil nama dari beragam alat musik. Piccolo, misalnya, tidak lain adalah alat tiup dan Dende adalah alat musik gesek dari Afrika Selatan.
Begitu juga dengan nama tokoh lainnya—yang paling cerdas sekaligus ngehe adalah nama Majin Buu yang diambil dari salah satu lagu dalam film Cinderella, “Bibbidi-Bobbidi-Boo”.
Dragon Ball bukan sembarang komik!
Tetapi, dibalik plesetan nama-nama tokoh tersebut, Akira Toriyama tidak asal jeplak dalam membangun cerita dan karakter tokohnya.
Ia kerap menyisipkan ragam filsafat dan Jalan Kehidupan di dalam komiknya. Mulai dari Zen Buddhism hingga etika hidup seorang samurai serupa Musashi.
Seperti kebanyakan Manga Shonen, Dragon Ball selalu menekankan pentingnya kemaslahatan orang banyak, persaudaraan, rivalitas, dan optimalisasi diri secara maksimal.
Dalam Dragon Ball, optimalisasi diri dapat dicermati ketika Goku berubah menjadi Super Saiyan.
Ada beberapa maqam Super Saiyan dan yang paling anyar di Dragon Ball Super adalah Super Saiyan God. Dan, sepertinya menjadi maqam super saiyan yang paling tinggi tingkatannya
Sekitar awal SMA saya kembali membaca komik karena ada tempat sewa komik yang murah dan jaraknya lumayan dekat dari rumah.
Tapi sayangnya, ketertarikan saya terhadap komik sudah mulai pupus akibat Anime mudah didapat.
Saking tidak ada lagi komik yang memikat hati, saya sempet meminjam beragam komik echi dan hentai. Dua istilah di atas merujuk komik mesum Jepang.
Komik Lokal di mata saya

Sekitar beberapa tahun yang lalu adik saya membawa komik Garudayana karya Is Yuniarto. Komik yang bagi saya lumayan menyegarkan karena mengadaptasi semesta wayang dengan gaya Jepang: manga.
Saya sudah tandas membaca series Garudayana tapi sayang, entah kenapa, series lanjutannya tidak kunjung dirilis.
Selain itu, baru-baru ini, saya membaca komik Koil karya Patra Aditia. Komik ini sangat menarik karena mengadaptasikan salah satu sesepuh band Heavy Metal kota Bandung yang saya idolakan.
Dalam komik Koil, Patra banyak menyuguhkan humor segar ala warga Bandung. Selain dari pertempuran antar robot yang seru.
Tak ayal, komik ini jadi semacam ladang subjektivitas si empunya yang memang doyan robot-robotan. Belum lagi tema post-apocalypse yang diangkat.
Dalam sebuah obrolan ringan, Patra pernah berkata, pemilihan tema yang kerap diangkat berasal dari ‘ketidakmampuannya’ dalam memahami kelakuan manusia zaman sekarang yang cendrung chaotic.
“Udah tau dilarang kok diterobos. Mun paéh kumaha?”, ketika itu kebetulan kami sedang berhenti di perlintasan kereta api dan melihat orang-orang menerobos ketika kereta hendak melintas beberapa saat kemudian.
Komik Lokal mampu bersaing
Sayangnya, saya belum pernah membaca satu pun komik karya maestro lokal dan menyesal. Karena setelah berdiskusi dan membaca beberapa literatur tentang komik lokal saya menemukan harta karun pengetahuan yang begitu berharga.
Saya baru tahu, R.A. Kosasih berusaha mempertahankan Mahabarata pakem India di dalam komiknya.
Begitu pun Jaka Sembung, komik yang paling popular. Bahkan tokoh rekaan Alm. Djair ini anggap sebagai tokoh historis dengan kekuatan supranatural yang mumpuni dan dikeramatkan sebagian orang.
Pemahaman awam saya tentang komik lokal ada beberapa hal yang dapat diutarakan.
Pertama, komik lokal adalah medan wacana seni yang terbuka untuk ditelaah lebih serius. Di dalamnya terdapat hubungan erat antar subjek yang cukup kompleks.
Kedua, dalam beberapa aspek, komik karya anak bangsa saya kira dapat bersaing dengan komik-komik dari Jepang dan Amerika.
Selain skill gambar yang mumpuni, tema-tema yang diangkat pun tidak kalah seru dari komik-komik Jepang dan Amerika.
Dan terakhir, melalui komik kita dapat melestarikan kearifan lokal budaya bangsa. Walaupun, dalam pengayaannya, komik-komik lokal sedikit banyak masih dipengaruhi oleh manga dan komik Barat.
Tapi toh yang dimaksud dengan lokal ini pun bersifat abstrak. Lagi pula kebudayaan kita saya kira tidak ada yang orisinil.
Wayang golek misalnya, sebagai kesenian yang didaku oleh masyarakat Priangan sebetulnya bukan kesenian yang orisinil tetapi kesenian yang otentik.
Begitu juga dengan komik. Sebagai sebuah bentuk kesenian, saya kira sah-sah saja ketika para komikus terinspirasi dari sesuatu yang asing, karena segala sesuatu yang tidak lokal, mengutip Seno Gumira Ajidarma, “tidak lagi menjadi asing setelah mengalami proses budaya yang membuatnya membumi.” (2017:9).
Saya rasa setelah menulis ini saya perlu mendalami lebih dalam lagi seluk beluk komik di Indonesia.
Selain berusaha untuk kaffah dalam konteks memahami kebudayaan, saya juga berkesempatan mengunjungi masa silam yang sempat doyan komik Dragon Ball.
Ilustrasi artikel oleh: Rony A Salam
Discussion about this post