Saya selalu terpesona oleh perempuan cantik berparas Asia, seperti Jennie Black Pink, Satomi Ishihara, dan Saori Hara.
Barangkali preferensi ini telah tertanam sedari saya bocah. Tontonan sewaktu bocah dan beranjak remaja yang tidak jauh-jauh dari anime , film kolosal mandarin, film Jepang dari berbagai genre termasuk yang itu tea, dan film Korea Selatan—juga girlband yang belakang ini sering saya tongkrongin.
Berawal dari riset tentang dangdut koplo panturaan yang panas sekaligus akrobatik itu, entah kenapa YouTube membawa saya ke Momoland.
Di situlah untuk pertama kali saya melihat Nancy yang paras cantiknya menyebabkan tekanan darah naik-turun.
Saya jadi mengikuti perkembangannya, selang beberapa video klip Momoland, Nancy akhirnya masuk ke dalam daftar Top 10 Korean Idol. Tapi tetap Jennie Black Pink menempati posisi pertama.
Tapi, setelah saya menghayati lebih jauh, kecantikan itu hanya sementara. Wacana kebudayaan turut mengonstruksi kecantikan.
Artinya, preferensi terhadap kecantikan telah dibentuk oleh berbagai macam hal. Apalagi ketika berbicara mengenai kecantikan para personel girlband asal negeri ginseng.
Korea Selatan membangun kebudayaan nasional melalui kesenian
Sekitar tahun 60an pemerintah Korea Selatan merintis pembangunan kebudayaan nasional melalui kesenian. Musik jadi salah satu prioritas utama.
Demi menjamin kesuksesan pembangunannya itu, pemerintah Korea Selatan menjadi semacam agen budaya yang ‘otoriter’.
Salah satu kebijakannya adalah melarang musik rock karena dianggap dapat merusak moral bangsa—khususnya anak-anak muda.
Akibat pelarangan itu banyaknya rocker gulung tikar dan yang masih nekat manggung ujung-ujungnya di bui.
Ketika musik rock mampus, musik balada naik daun dan di sinilah saya rasa musik pop ‘dibaptis’ menjadi musik Nasional.
Awal mula K-Pop
Pada awal tahun 90an purwarupa K-Pop dilahirkan melalui album “I know” Seo Taiji and The Boys. Akan tetapi, sebetulnya, dari tangan Lee Soo-man K-Pop modern dilahirkan.
Melalui SM Entertainment, Lee Soo-man sukses mengorbitkan bintang-bintang ternama. Selain SM, ada YG, dan JYP Entertaiment yang juga mengorbitkan idola baru dan membuat popularitas K-Pop semakin meroket.
Hal yang menarik dari ketiga manajemen artis di atas adalah metode pelatihannya yang sangat berat dan super ketat dalam mencetak calon bintang.
Para calon bintang disortir dan dilatih untuk bernyanyi dengan baik, menari dengan benar, dan berperilaku tanpa cela sesuai dengan etika yang ada.
Sepanas-panasnya Stellar dalam Vibrato, di hadapan publik mereka harus berperilaku super santun. Jika terkena kasus penyalahgunaan narkoba maka karirnya bisa dipastikan tamat.
Saya jadi ingat Nietzsche yang pernah berkata, “There are no beautiful surfaces without a terrible depth.”
Pondasi estetika K-Pop dibangun di atas kepentingan pasar dan hal tersebut menjadikan para gadis belia dengan wajah ayu, berbadan langsing, dan beragam talenta itu sebagai komoditas dagang.
Walaupun demikian saya rasa pemerintah Korea berhasil membangun jati dirinya melalui seni dan budaya. Sebuah investasi yang dikemudian hari berhasil menginvasi dunia dan menguasai pasar global dengan barang-barang dagangnya.
George Coede pernah menyatakan konsep Indianisasi Nusantara. Bahwa kebudayaan kita pada masa silam sangat dipengaruhi oleh ragam budaya India.
Budaya Korea menimbulkan masalah jika?
Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang akan ada yang menyatakan konsep ‘Koreanisasi’ mengingat ragam budaya Korea Selatan perlahan tapi pasti seakan-akan telah diterima menjadi bagian dari kebudayaan (kontemporer) kita—terutama generasi muda.
Apakah akan menimbulkan masalah? Tentu. Salahnya adalah obsesi untuk terlihat seperti orang Korea tetapi terbentur dengan kenyataan bahwa wajah agraris kita tidak sepadan.
Akhirulkalam, K-Pop jadi konsumsi estetik yang menyehatkan secara visual—juga ‘menyenangkan’ untuk didengarkan apalagi dengan berbagai koreografi yang memanjakan imajinasi ngehe para laki-laki.
Akan tetapi secara fundamen dalam konteks kesenian akan sangat bermasalah karena berada di dalam lingkaran pasar yang ujungnya hanya memperdulikan untung dan untung.
Alih-alih mendapatkan subtansi yang mencerahkan, kita pada umumnya hanya akan mendapatkan ‘kepuasan’ estetis yang artifisial saja. Kosmetik semata.
Sumber Bacaan:
- George Coedes. The Indianized States of Southeast Asia. Australian National University Press, 1975. “I have so far, for the sake of convenience, used the terms “Indianization” and “expansion of Indian culture” 1975, 14.”
- Korean Culture No. 2. K-pop: A New Force in Pop Music. Korean Culture and Information Service, 2011.
- Mark James Russel. K-Pop Now: The Korean Music Revolution, 2014.
Ilustrasi artikel oleh: Rony A Salam
Discussion about this post