Menapaki abad ke-19, eksploitasi pemerintah kolonial terhadap bumi nusantara tidak hanya menyasar pada segala yang tumbuh di atas permukaan tanah saja. Namun, pada kandungan mineral yang terpendam di bawahnya.
Di antara mineral yang ditemukan, batubara memainkan peran penting sebagai penggerak roda revolusi industri dan penemuan teknologi.
Salah satu pusat penghasil batu bara di Nusantara adalah Sawahlunto, kota kecil di pelosok Sumatera Barat yang terkepung oleh lembah.
Tidak pernah terbayangkan bila kota yang pada mulanya hanyalah sebuah terra incognita; tanah tak dikenal. Akhirnya menjadi kota tambang batu bara nan makmur. Namanya mahsyur dalam sejarah penambangan batu bara di Indonesia.
Melalui peninggalan sejarah tersebut, saya akan mengisahkan upaya Belanda dalam menyerap sumber daya yang ada di tanah jajahan.
Melihat kondisi alam yang terkurung oleh perbukitan curam dan jauh dari jalur strategis. Maka, siapapun yang pernah berkunjung ke sini mungkin akan berpikir mustahil, ada kota yang akan tumbuh di sini.
Berkelana ke Sawahlunto pada masa sebelum 1890an
Pemikiran tersebut akan semakin kuat ketika kita berkelana menuju Sawahlunto sebelum tahun 1890an. Jika saja kembali ke masa itu, kita akan menjumpai pemandangan sebuah ladang persawahan terpencil yang terkurung oleh perbukitan. Jauh dari kata gemerlap.
Di balik itu semua, tanah di dalamnya ternyata berkelimpahan endapan organik dari 45 juta tahun silam. Membentuk suatu jenis batu yang jadi sumber penggerak utama revolusi industri, yaitu batu bara.
Sebelum potensi batubara di Sawahlunto terendus oleh Belanda, Van Lier dalam laporannya menyebutkan bahwa masyarakat lokal telah mengenal dan memanfaatkan lidah arang, julukan orang lokal terhadap batu bara yang ditemukan di permukaan.
Masyarakat memanfaatkan lidah arang sebagai bahan bakar untuk memasak. Beberapa batu bara yang ditemukan oleh mereka dijual ke daerah selatan Sawahlunto, diangkut menggunakan perahu menyusuri aliran sungai Ombilin.
Di kala masyarakat Sawahlunto masih menambang batubara secara tradisional dan memanfaatkannya hanya untuk keperluan rumah tangga, batu bara telah memainkan peran penting bagi negeri-negeri yang telah jadi kekuatan dunia seperti Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.
Bagi imperium tersebut, batu bara lebih dari sekedar bahan bakar untuk memasak, melainkan untuk menghidupi industri berskala besar. Pendorong penemuan teknologi penting seperti kereta api, kapal uap, dan mesin-mesin canggih lain yang telah menyatukan kepentingan berbagai negara.
Sumber daya berjuluk ‘emas hitam’ tersebut juga memiliki peran penting bagi wilayah jajahan Eropa seperti Hindia-Belanda, memanfaatkan batu bara untuk menyalakan mesin kereta dan kapal uap pengangkut hasil eksploitasi dari tanah jajahan.
Awalnya batubara masih didatangkan dari Eropa. Dibukanya terusan Suez dan kehadiran teknologi kereta api mendorong peningkatan konsumsi batu bara di Hindia-Belanda.
Supaya tidak bergantung pada pasokan dari Eropa, maka pemerintah kolonial menjajaki potensi batu bara di Hindia-Belanda. Upaya penyelidikan batu bara di Hindia Belanda dilakukan pertama kali oleh Koninklijke Natuurkundige Vereeniging dan mereka menguak adanya kandungan batu bara di Martapura, Kalimantan.
Pada tahun 1846, pemerintah kolonial merintis pertambangan batubara di sana, namun karena tidak digarap secara serius maka tambang batu bara pertama di Hindia Belanda tersebut berakhir dengan kegagalan (Van Lier, 1917; 10-13).
Menelusuri batu bara di Sawahlunto
Upaya penambangan batu bara di Sawahlunto oleh pemerintah kolonial bermula pada tahun 1858, ketika ahli penambangan, C. De Groot, menyelidiki potensi batu bara di Sumatra barat (di sekitar Padang Sibusuk wilayah Sijunjung).
Untuk memastikan temuan De Groot tersebut, sekitar tahun 1867, pemerintah kolonial menugaskan ahli geologi, Willem Hendrik de Greeve, untuk mengungkap potensi kandungan batu bara di perbukitan di sepanjang Sungai Ombilin.
Berbekal laporan De Groot, W.H de Greeve dipandu oleh masyarakat lokal menempuh perjalanan yang berat, ia berhasil memastikan adanya kandungan batubara dalam jumlah besar yang tersebar jadi lima ladang, yakni Parambahan, Sigalut, Lurah, Sugar, dan Sungai Durian.
Dari kelima ladang endapan tersebut, ladang Sungai Durian memiliki kandungan batubara yang paling melimpah, mencapai 93 juta ton. Pada 1872, de Greeve melanjutkan penelusuran batu bara di Sumatera Barat.
Malangnya, penelusuran kedua ini jadi yang terakhir dilakukan de Greeve karena ia tewas terhanyut arus sungai Batang Kuantan pada 22 Oktober 1872.
Kematian De Greeve tidak menyurutkan upaya penelusuran potensi batubara di sana. Pada tahun 1875, insinyur tambang D.M. Verbeek berhasil memetakan potensi batu bara di ladang yang ditemukan oleh de Greeve.
Hasrat untuk membuka tambang semakin kuat setelah dr. Vlanderen, kepala laboratorium mineralogi, menyimpulkan bahwa mutu batu-bara Ombilin cukup tinggi karena mampu menghasilkan nyala api yang lebih lama dan meninggalkan sedikit jelaga sehingga layak untuk dimanfaatkan dan dijual ke pasaran dengan harga yang tinggi (Greve, 1907;10).
Pemerintah Kolonial membuka tambang batu bara di Ombilin
Menindaklanjuti penelitian dari berbagai ahli tersebut, pemerintah kolonial akhirnya memutuskan untuk membuka ladang batu bara Ombilin.
Bagi pemerintah kolonial, ladang batu bara di Ombilin memiliki nilai lebih dibanding ladang batu bara lain di Hindia Belanda. Selain karena memiliki kandungan batubara bermutu baik dalam jumlah besar, letaknya yang strategis jadi pertimbangan tersendiri.
Berada di Sumatera bagian tengah, keberadaan ladang batu bara Ombilin diharapkan mampu merangsang pembangunan.
Dalam konteks global, tidak ada tempat di antara terusan Suez dan Samudera Pasifik yang mampu menghasilkan batu bara sebaik dan sebanyak Ombilin sehingga pangsa pasar batu bara Ombilin terbuka cukup lebar.
Ditambah letaknya berada di persimpangan rute perdagangan dunia, akan memudahkan akses pemasaran.
Pada 1887, demi menopang operasional sistem transportasi, sebelum pembukaan tambang, pemerintah kolonial menyiapkan jalur kereta yang menghubungkan lokasi tambang dan pelabuhan.
Setelah jalur transportasi siap, pemerintah kolonial mulai melakukan penambangan batu bara di Ombilin. Berawal dari ladang Sungai Durian yang memiliki kandungan batu bara terbanyak.
Selagi ladang batu bara di Sungai Durian mulai ditambang, perlahan mulai tumbuh sebuah kota kecil yang terletak di area persawahan dekat tambang Sungai Durian. Persawahan tersebut dilalui oleh Sungai Lunto dan dari situlah kota kecil tersebut mendapatkan namanya, Sawahlunto.
Metode penambangan dengan terowongan
Kandungan batubara terbaik di Ombilin terpendam di dalam tanah sehingga kegiatan penambangan dilakukan dengan menerapkan metode tambang terowongan.
Salah satu terowongan yang paling dikenal di Sawahlunto adalah terowongan Lubang Mbah Suro, namun masih ada terowongan tambang lainnya yang tersebar di Sawahlunto seperti terowongan tambang Lunto, Sungai Durian, Panjang dan Waringin.
Hanya saja terowongan-yang sudah disebutkan tadi tidak memungkinkan untuk ditelusuri pengunjung umum karena keadaanya sudah tertimbun tanah atau tergenang air.
Sejak tahun 2007, lubang tambang Mbah Suro dibuka untuk umum, tapi tidak semua bagian terowongan dapat dijelajahi. Para penambang sehari-harinya bekerja di dalam terowongan yang sempit, panas, pengap, nan gelap.
Para penambang harus menghadapi bahaya seperti gas methan yang dapat meledak bila terkena percikan api. Karena itu, kebutuhan vital untuk penambang seperti udara dan penerangan dibuat dengan memperhitungkan keselamatan pekerja.
Udara dihembuskan dari gedung kompresor lewat terowongan ventilasi dan kemudian udara disedot keluar melalui terowongan ventilasi lainnya untuk menjaga sirkulasi.
Selain memasok oksigen pekerja, hembusan udara tersebut juga membantu menguraikan gas methan. Sumber penerangan berasal dari lampu yang dirancang khusus dapat mendeteksi keberadaan gas methan.
Fungsi rangkaian lori dalam proses penambangan
Sementara itu, rangkaian lori ditarik dengan tenaga kuda atau lokomotif yang tidak menghasilkan asap seperti lokomotif listrik. Listrik tersebut dihantarkan ke montor penggerak lokomotif melalui kabel-kabel yang terentang di sepanjang pinggir dinding tambang.
Bongkahan batubara yang sudah ditambang diangkut oleh lori. Setiap harinya, ratusan lori keluar dan masuk terowongan. Tambang batubara sebesar Sawahlunto memiliki sistem transportasi yang teratur dengan baik demi lancarnya proses produksi.
Para insinyur Belanda telah merencanakan pengaturan sistem transportasi tambang secara matang dan dilaksanakan sebaik mungkin di lapangan dengan pengawasan yang ketat.
Merancang jalur keluar masuk lori tidak melalui terowongan yang sama untuk menghindari penumpukan lori di dalam tambang.
Selain batubara, lori-lori ini juga mengangkut balok kayu untuk penyangga dinding terowongan dan pasir untuk mengisi ruang kosong sisa galian batu bara yang sudah diambil.
Keluar dari terowongan, rangkaian lori berisi batubara dibawa ke tempat pengolahan berikutnya.
Terdapat derajat kemiringan yang cukup besar antara tambang Sungai Durian dengan tempat pengolahan, sehingga tidak ada satupun jenis lokomotif yang mampu melintasi medan berat seperti itu.
Maka dari itu, lori-lori tersebut digerakan dengan mekanisme kabel yang akan menarik lori kosong dari bawah dan di saat bersamaan akan menahan lori berisi batubara yang akan turun ke tempat pengolahan (Van Lier, 1917; 34-30).
Rumah saring yang berfungsi menadah batu bara
Batu bara yang telah ditambang kemudian ditadah dan diolah di sarana yang dikenal sebagai rumah saringan. Sarana tersebut dibangun pada tahun 1896 dengan konstruksi besi.
Seiring dengan meningkatnya jumlah produksi tambang batu bara, maka pada tahun 1924 pemerintah kolonial membangun gedung saringan baru untuk mendukung kapasitas pengolahan.
Proses pembangunannya dimulai pada Mei 1924 oleh Technisch Bureau van het Departement van Koloniën (Biro Teknik Departemen Koloni), biro pemerintahan di bidang teknik yang pernah mendirikan instalasi tambang di Bukit Asam.
Sementara itu peralatan dan komponen yang dipesan baru sampai di Sawahlunto pada bulan September 1926. Peralatan dan komponen yang dipesan antara lain, mesin penggerak ban berjalan buatan Electrotechnische Industrie v/ Willem Smit & Co.
Mesin pembersih lori buatan Gewerkschaft Eisenhütte Westfalia, lift listrik buatan N.V Gebr. Stork & Co’s Fabriek van Hijschwerktuigen te Hengelo, serta peralatan mekanis dan kelistrikan lain dari Gewerkschaft Scliüchtermann & Kremer yang pabriknya berada di Dortmund.
Komponen yang baru saja tiba kemudian dirakit di tempat. Tahapan pembangunan gedung saringan baru tersebut selesai pada awal tahun 1927.
Rangkaian pengolahan batubara dimulai dari masuknya lori-lori berisi muatan batubara ke tingkat paling atas.
Proses pengolahan batu bara
Muatan batubara yang ada di dalam lori kemudian dituangkan ke dalam mesin penyaringan yang berada di bawahnya. Mesin penyaring tersebut memilah batubara menjadi tiga jenis berdasarkan ukurannya yakni ;
- Batubara kasar (stukkolen) yang memiliki diameter bulir lebih dari 30 mm. Sebagian besar batubara jenis ini dikirim ke luar negeri dan sisanya menjadi bahan bakar untuk kereta api Staatspoorwegen yang beroperasi di dataran tinggi.
- Batubara halus (gruiskolen) bulirnya berdiameter antara 30 milimeter hingga 12 mm. Kereta api Staatspoorwegen yang beroperasi di dataran rendah menggunakan batubara jenis ini dan industri semen di Padang menjadikannya sebagai salah satu bahan pembuatan semen.
- Batubara debu (fijnkolen) yang diameter bulirnya di bawah 12 m. Batubara abu jenis ini dikonsumsi sendiri untuk bahan bakar pembangkit listrik tambang.
Setelah dipilah, rangkaian proses pengolahan batubara akan berlanjut pada proses pemindaian pada ban berjalan yang letaknya di bawah mesin penyaringan.
Proses ini bertujuan untuk memastikan batubara dalam keadaan bersih dan tidak ada endapan pasir, batu, atau tanah liat yang menempel. Bila ditemukan, maka batu bara tersebut diambil dan dimasukan ke lori khusus menuju tempat pembersihan.
Batubara yang lolos dari pemindaian ataupun yang telah dibersihkan selanjutnya ditampung ke dalam wadah terpisah sesuai jenis batubara.
Masing-masing wadah memiliki katup di bawahnya yang akan dibuka saat batubara hendak dimuat ke gerbong-gerbong pengangkut yang sudah menunggu di bawah wadah penampungan. (Van Lier, 1917; 49-50).
Mencari rute dan membangun jalur kereta api untuk mengangkut batu bara
Tantangan berikutnya dalam kegiatan eksploitasi batubara di Sawahlunto ialah membawa batubara tersebut ke pelabuhan Emmahaven di Padang, pelabuhan terdekat dengan Sawahlunto.
Kemudian, membawa mesin-mesin berat yang dibutuhkan ke lokasi penambangan.
Potensi batubara di Sawahlunto akan berakhir sia-sia bila masih mengandalkan moda transportasi seperti pedati yang ditarik kerbau, karena moda transportasi ini bergantung pada kondisi jalan yang seringkali rusak saat musim hujan.
Belum lagi dengan ancaman penyakit pada hewan penarik yang dapat menghambat kegiatan pengangkutan. Moda transportasi paling mendukung untuk pengangkutan batubara dalam skala besar adalah kereta api yang mampu menarik banyak gerbong dalam sekali jalan.
Demi melancarkan semua prosesnya, Pada 1873, pemerintah kolonial mengutus sebuah tim yang dipimpin oleh insinyur J.L. Cluysenaer untuk mencari rute paling sesuai.
Bukan pekerjaan mudah untuk menemukan rute terbaik karena secara geografis, kota Sawahlunto dengan Padang dipisahkan oleh pegunungan Barisan.
Cluysenaer merampungkan survei pada tahun 1875 dan mengusulkan rute dari Padang menembus pegunungan Bukit Barisan melalui Solok, dan berhenti di Sawahlunto.
Namun, pemerintah menolak usulan ini dengan alasan biaya pembangunannya terlampau tinggi. Akhirnya Cluysenaer meninjau kembali hasil survei sebelumnya dan mendapati rute biaya pembangunannya relatif terjangkau.
Rute ini dimulai dari Padang, ke Padang Panjang, menyusuri Danau Singkarak, melalui Sawahlawas, dan sampai di Sawahlunto.
Pada 1878, rencana rute tersebut diterima oleh pemerintah, namun pembangunannya belum bisa dilakukan karena dana yang belum tercukupi, juga terdapat perdebatan mengenai siapakah yang akan bertanggung jawab dalam pembangunan dan pengelolaanya. Apakah akan diserahkan kepada swasta atau dilaksanakan sendiri oleh pemerintah.
Pada 1894, pertama kali ada jalur kereta api di Sawahlunto
Perdebatan selama hampir satu dekade tersebut berakhir pada tahun 1887, ketika pembangunan dan operasional jalur akan dilaksanakan sendiri oleh pemerintah. Pada 1891, proses pembangunan dimulai dengan pengawasan insinyur J.W. Ijzerman dan tuntas pada tahun 1894.
Kereta yang hilir mudik menyusuri rel akhirnya jadi pemandangan baru. Pada perkembangannya, keberadaan jalur kereta api di tanah Minangkabau ini tidak hanya dimaksudkan untuk kepentingan pengangkutan batubara semata, namun juga meningkatkan kemakmuran kota-kota yang dilaluinya.
Di kota-kota yang jadi titik pemberhentian termasuk Sawahlunto, didirikan stasiun untuk penumpang. Kendati bentuk stasiun Sawahlunto tidak terlihat mewah, namun dari sanalah pembukaan jalur kereta api di Sumatera Barat bermula (Anonim, 50-53).
Pembangkit listrik tenaga uap untuk operasional penambangan dan masyarakat
Sumber listrik untuk menghidupkan lampu dan mesin-mesin tambang berasal dari stasiun pembangkit listrik tenaga uap Kubang Sirakuk yang berada di dekat sungai Lunto.
Sumber uap didapat dari aliran air sungai Lunto yang menggerakkan turbin, hingga mampu menghasilkan tegangan sebesar 6000 volt. Dari pembangkit, listrik disalurkan melalui kabel ke gardu transformator yang ada di setiap terowongan tambang untuk diturunkan tegangannya.
PLTU tersebut dibangun sekitar tahun 1890an, bersamaan dengan dimulainya kegiatan penambangan. Menurunnya debit air Sungai Lunto membuat kinerja PLTU merosot dan tidak sanggup lagi menopang penambangan batubara yang semakin bergeliat pada tahun 1920an.
Karena itu, pada 1924 pemerinta kolonial membangun PLTU baru di daerah Salak. Selain untuk operasional penambangan, PLTU tersebut juga memasok listrik untuk kebutuhan masyarakat.
Sawalunto bercahaya untuk pertama kali
Keberadaan PLTU tersebut akhirnya menyulap lembah gelap Sawahlunto menjadi kota yang gemerlap di malam hari. Kini, bangunan PLTU Kubang Sirakuk telah rata dan pada 1952 dibangun sebuah masjid di atasnya, menyisakan cerobong asap dari beton bertulang yang masih menjulang tinggi sebagai menara masjid.
Sementara PLTU Salak masih terus beroperasi sampai tahun 1996, sebelum perannya digantikan oleh PLTU Ombilin. Kini bangunan PLTU Salak dalam kondisi terlantar.
Referensi
Anonim. 1937. Vijf en Twintigjaar Padang-Missie
Anonim. Nederlansch Indische Staatspoor en Tramwegen. Nederlands Welvaart.
Bell, Peter. 2002. “The fabric and structure of Australian mining settlements” dalam Knapp, Bernard. A, dkk (ed). Social Approaches to an Industrial Past. London : Routledge
Ir. A. Guyot van Der Ham. Het nieuwe zeefhuis der Ombilinsteenkolenmijnen te Sawah Loento dalam De Ingeneur 28 Agustus 1926 no. 35 halaman 724-729.
Ir. R.J. Van Lier. 1917. De Steenkolenindustrie. Haarlem : H.D. Tjeenk Willink & Zoon.
Greve, W.H. de. 1907. Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra Westkust. Batavia : Landsdrukkerij.
Discussion about this post