Sebelumnya Baca: Berlayar Melintasi Kaimana Menuju Raja Ampat (Babak II, Bagian III)

Finally saya bertemu mimpi semasa kuliah. Dulu saya pernah membual tentangnya. Tepat 16 April 2019 seusai KM Exspress Belibis sandar, secara nyata kaki melangkah menuruni anak tangga kapal menyapa aspal dermaga pelabuhan Waisai Raja Ampat.
Sapaan angin menyusup dari celah pori-pori masuk menyegarkan otak dan paru-paru. Hadiah lainya yaitu indra penglihatan, pengalaman ternyaman mata saya ketika melihat air laut sejernih ini. Transparan menembus pandangan segerombolan ikan kecil-kecil bermain ria di sekitar terumbu karang, semua serupa imaji.
Beberapa meter dari dermaga tulisan Welcome to Geopark Raja Ampat menyambut. Saya langsung terngiang ikon yang mendunia di kawasan ini. Coral Triangle.
Saya menghampiri ojeg seusai sejenak hilang menikmati keindahan sekitar, mengikuti arahan Cs, bangsa Nangoria.
“Bang, ke bank BNI ya,”
Langsung direspon, “iya mari mas,”
Baru beberapa meter dari perlabuhan saya dibuat takjub lagi oleh pemandangan perbukitan yang lebat oleh pepohonan. Di persimpangan tanjakan terdapat tugu bertuliskan ‘Selamat Datang di Raja Ampat’ menempel di dinding berbukit.
Dari atas sana terlihat pemukiman warga, di samping kiri kanan jalan ditumbuhi pepohonan mendahului laju kendaraan hingga sampai di bundaran Perempatan Ikan Lumba-lumba.
Abang ojeg banting stir, belok kanan, sampai mentok di pertigaan. Di ujung kanan jalan saya diturunkan.
“Bank BNI ini Mas?”, ujar tukang ojeg. Dalam hati berkata, mana saya tahu, namun di depan mata saya tertuju pada tulisan pantai WTC (Waisai Torang Cinta).
Saya ingat pesan si Cs, “pokona deket pisan pantai WTC mang, ke di kanan aya BNI, tanyakeun weh Gallery Yufon,” (pokoknya dekat pantai WTC mang, nanti di kanan ada BNI, tanya saja Gallery Yufon). Kemudian saya turun dan membayar ongkos Rp20.000 kepada mang ojeg.
Benar apa yang dibilang Cs saat menanyakan Gallery Yufon. Saya langsung diantar oleh anak-anak yang sedang nongkrong di sekitar. Lalu, mereka mengarahkan langkah saya sampai terlihat sebuah rumah kontrakan, dari kejauhan terlihat si Cs sedang asik berkreativitas. Tanpa diketahuinya, tiba-tiba saya sudah dihadapan.
Setengah heran ia berucap, “Eeh mangs Jers, nepi oge uy, kadieu mang, kumaha cageur?” (Eeh mang Jers, sampai juga nih, sini mang, gimana sehat?).
Singkat saya menjawabnya, “alhamdulilah sehat atuh mang” (alhamdulillah sehat dong mang) sambil melempar senyum ke arah teman-teman lainnya di beranda teras.
Memorabilia Barudak Langit

Orang keren yang satu ini, kawan seperjuangan kala menimba ilmu di Fakultas Sastra Jurusan Sejarah di Jatinangor tercinta.
“Anj*ng mang edan panggih oge uy hahaha,” Sufy berucap sembari merangkul saya di halaman kontrakan Kak Yufon. Berlanjut Sufy menjelaskan maksud kedatangan saya kepada teman-teman di gallery. Kemudian, langsung akrab seketika karena kami berasal dari etnis yang sama.
Teman-teman mempersilakan saya masuk, melalui teras depan yang dipenuhi perintilan kerajinan yang sedang mereka kerjakan. “Tuh mang kagiatan urang kikieuan we salila didieu,” (tuh mang aktivitas saya begini saja selama di sini) tunjuk Sufy ke arah pernak-pernik.
Sesampainya di gallery kontan otak saya mengajak santai, sekadar duduk-duduk di pantai WTC. Ide itu datang dari Sufy, “urang mantai heula atuh mang” (kita mantai dulu dong mang). Sejenak kami merayakan pertemuan yang tidak terpikirkan sebelumnya, berjumpa di ujung Timur Nusantara.
Sebelumnya Sufy mengetahui posisi saya sewaktu di Sorong via media sosial. Ketika itu ia bertanya-tanya ongkos transportasi terbaik menuju tanah Papua.
Tidak lupa disisipi tanya mengenai bekal kesukaan semasa menimbun ilmu di kampus. Saat itu selang dua minggu lebih Sufy tiba di Sorong, ketika posisi saya sudah di Timika.
Berbekal sedikit pengalaman selama di Priok, saya menerangkan sesingkat mungkin kepadanya cara terbaik, hingga akhirnya kami berjumpa haru melepas temu di Timur Nusantara.
Penuh heran Sufy berkata, “Anj*ng ieu teu nyangka kieu bakal panggih didieu heueh Jer” (anj*ng ini gak nyangka gini bisa ketemu di sini ya Jer) ujarnya.
Meneliti Secara Heuristik Tingkat Perekonomian Masyarakat di Pesisir Raja Ampat
“Edan gelo kieu janjian teh mang uy” (gila, ini kita tuh janjian mang) timpal saya. Obrolan kami terus berlanjut saat jalan-jalan sore menuju pasar untuk membeli bahan makanan, kemudian meneruskan menikmati pantai sejenak.
Sekilas tentang jalanya pertemuan ini. Kunjungan Sufy di Papua tujuannya jelas, ia sedang melakukan penelitian Heuristik, bahasa kerenya para Sejarawan. Bertugas mencari sumber tertulis, lisan, dan data lainnya. Sampai memastikan kredibilitas sumber yang didapat tersebut.
Itulah target Sufy selama tinggal di Waisai Raja Ampat. Ia memilih Raja Ampat sebagai tujuan karena ingin mendalami “Kehidupan Masyarakat Pesisir Raja Ampat”, fokusnya sebatas pada tingkat perekonomian saja.
Berbeda dengan saya yang masih mencari jati diri. Mencoba meriset kemampuan diri, berbekal ilmu yang sudah saya dapat selama di bangku kuliah.
Di kampung orang saya ingin memastikan apakah dapat bermanfaat untuk masyarakat. Sekuat dan semampu saya bertahan. Bersama niat yang bersemayam dalam diri, demi berbagi kebaikan.
Kedatangan saya untuk membantu kawan dalam melakukan riset. Berhubung minat kami sama, yaitu berbaur bersama masyarakat. Pikir saya, setelah tahu situasi di Timika, tidak memungkinkan saya berkembang dengan mengandalkan secarik ijazah.
Tentang Sufy, Kawan Saya

“Keren pisan pokona mah (Keren sekali pokoknya), Cs saya yang satu ini memang unik. Semasa kuliah kalau ingin ngetrip bersamanya, Sufy dengan bangga langsung mengiyakan. Tanpa banyak pikir, mempertimbangkan persiapan dan waktu.
“Kasarna, ayeuna ngomong, isukan na bisa jadi, jeung budak ieu mah” (kasarnya, sekarang bilang, besoknya bisa jadi sama anak ini mah). Pada masanya, saya dengan kawan-kawan mengakui konsep berpikir Sufy.
Semasa kuliah kami menamakan kumpulan ini Barudak Langit. Sering melakukan perjalanan yang tidak biasa, punya bekal Rp1.000 pun dipaksa mesti ikut.
Pernah juga ketika kami touring dengan dua motor, haha dari Bandung ke Palembang. Ketika itu Sufy pulang terlebih dahulu dengan pesawat, karena kendala yang tidak terprediksi. Sehingga Vespa miliknya harus tinggal di tempat kerabatnya di Kota Prabumilih, Sumatera Selatan.
Saya dengan kance (kawan), Roy namanya, mesti melalui kehancuran bokong selama tiga hari tiga malam. “Jer, tega emang Sufy kenang kance dan saya saat itu,”
Pasalnya baru 3 jam kami keluar menjauhi Prabumulih, ia memberi pesan, “aing mah ieu geus di kasur, di Ciwidey mang,” (aing mah ini sudah di kasur, di Ciwidey mang) Sufy memberi kabar lewat SMS.
Tapi sekarang, kami nongkrong kembali di pantai WTC, Raja Ampat. Tertawa haru dan kagum bersama memorabilia. Oleh-oleh yang dibawa dari Jatinangor, semasa kuli-ah.
Bersama gemuruh terpaan angin lautan di sisi pantai. Bersanding lukisan alam, gradasi warna pantulan air, dan kertas awan digulung api senja pantai WTC.
Kami terhanyut dalam benak masing-masing, beragam tanya setelah merasakan atmosfir Papua.
Sepulang dari Pantai WTC kami kembali ke Gallery Yufon untuk mengingat kebiasan masak-memasak semasa tinggal di Jatinangor.
Sufy chef terbaik pokona mah, kali ini ia bereksperimen dengan menu ikan suntung/cumi-cumi krispi. Sambal kecap dan cah kangkung, bikin ngiler seusai tergelar di meja, teras depan gallery.
Nostalgia di Bangku Kuliah, Jadi Seorang Peneliti
Besoknya, 17 April 2019 setelah berjuang bolak-balik bermodal EKTP, kali pertama kami merasakan nyoblos di Tanah Timur Nusantara, tepatnya di TPS 5 Waisai, Raja Ampat.
Pada menit akhir saya menggunakan hak suara untuk memilih Capres. Setelah momen ini selesai, kami pulang mempersiapkan diri untuk kebutuhan riset. Terutama persediaan kebutuhan makanan berat, sampai bumbu dapur.
19 April 2019, di tengah terik matahari Timur Nusantara kami berdua angkat ransel dari Gallery Yufon menuju terminal bus, tujuan kami Warsambin, Distrik Teluk Mayalibit, tepatnya di sebelah selatan Waisai, wilayah Raja Ampat. Titik penelitian Sufy selanjutnya.
Sesampainya di pasar kami mendapat informasi bus hanya satu yang beroperasi, sehingga mesti menunggu 2 jam.
Tidak lama Sufy mendapat kabar dari Williem via handphone, ia menyampaikan pesan pada saya, “mang ke aya babaturan kadieu, ayeuna keur dijalan” (mang nanti bakalan ada teman ke sini, sekarang lagi di jalan), Williem namanya, ujar Sufy.
Williem merapat dengan kendaraan roda duanya, kemudian kami saling berkenalan. Willi nama panggilannya, mereka berbincang, saya yang tidak tahu bagaimana alur pastinya.
Sufy memberi tahu saya lokasi penelitian tidak jadi ke Teluk Mayalibit, melainkan berganti ke kampung Pam. “Sekarang kita menginap dulu di rumah Willi”, terangnya.
“Mang naik ojeg nya, urang jeung Willi” (Mang naik ojeg yah, saya dengan Willi), sembari dipanggilkan ojeg oleh Willi.
Swaimbon, Kampung Pesisir yang Indah

Sampailah di rumah Willi, setelah melintasi jembatan kali yang jadi pemisah jarak kampung Swaimbon, kelurahan Warmasen dengan pusat Pasar.
Kagum saya saat pertama tiba di sana. Pemandangan laut langsung menghampar. Burung Yakob (Kakatua) bertengger di halaman rumah.
Jelang magrib, anak-anak kecil berputar-putar di sekitaran kampung. Bermain Suling Tambur (kesenian sehari-hari masyarakat pesisir Raja Ampat) bergerombol beberapa kali melewati halaman rumah.
Kemudian Willi memperkenalkan kami dengan kedua orang tuanya, lalu kami bermalam menanti esok hari untuk berangkat ke kampung Pam. Sepanjang malam kami duduk melingkar di halaman rumah Willi.
Sufy memimpin obrolan menceritakan maksud dan tujuanya. Ditemani Willi penerjemah kami jika Bapa sudah bercakap dengan menggunakan bahasa daerah.
Sufy mulai dari memperkenalkan asal kampus dan risetnya. Melalui obrolan tersebut, entah bagaimana, malam itu juga Bapa Saul Urbasa, ayah Williem angkat bicara.
Mulai dari memberi uluran tempat tinggal kepada kami selama penelitian berlangsung di Kampung Pam. Sampai, tidak tanggung-tanggung malam itu juga via telepon Bapa menghubungi kepala Kampung Pam, Ka Gatrija Urbasa, dan Pace Maikel Fakdawer. Kemudian memberi amanat untuk menitipkan kami, supaya besok diantar ke rumah kepala kampung.
Pertama Kali Mengarungi Lautan Raja Ampat dengan Perahu Viber
Pagi hari, 20 April 2019 ketika air laut naik, kami bersiap meneruskan kisah mencari sumber mengenai kehidupan masyarakat pesisir Raja Ampat, tepatnya di Kampung Pam, Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat.
Pada perjalanan kali ini kami ikut menumpang dengan kawannya Kaka Edwin Gideon Urbasa (kakak kandung Williem) yang ingin liburan ke Pulau Piaynemo. Kami berlayar menggunakan perahu viber dengan dua mesin motor Johnson 15 PK, kepunyaan Bapa Saul Urbasa.
Sufy menambah minyak beberapa liter setelah berbincang dengan Williem, untuk kemudian disampaikan kepada Kaka Edwin, supaya berkenan membawa kami dalam rombongan.
Lalu, giliran kaka Edwin menyampaikan kepada kawan-kawanya, bersyukur pagi itu kami diperbolehkan ikut dalam rombongan. Ada 8 orang di dalam perahu.
Kaka Edwin duduk di dekat mesin perahu, dibantu Williem menjaga haluan. Kami berdua duduk di depan bak perahu, empat orang sisanya di depan kami.
Bersyukur lautan teduh ketika itu, membuat perahu melaju kencang dengan kedua mesin, hingga kepanikan terjadi di persimpangan air yang tenang diapit dua pulau besar di kanan dan kiri.
Saat perahu melaju kencang tiba-tiba mesin motor mati menyebabkan perahu oleng seketika, miring berat ke kanan hingga beberapa meter ke depan, bersyukur kami tidak terbalik bersama perahu.
Namun, kejadian itu cukup memorakporandakan adrenalin saya, sugesti karena tidak mahir berenang. Benak saya untuk meredam kepanikan, andai kami orang berharta. Bisa naik speedboat yang biasa digunakan untuk antar tamu berwisata.
Jelas tidak akan dirundung kecemasan semacam ini. Berteman pikiran tersebut seusai kejadian itu, mata ini teralihkan mengarah pada salah satu bukit Karst bertuliskan Piaynemo.
Sesampainya di pulau Piaynemo mata ini mengitari bebatuan Karst berbukit yang ditumbuhi pepohonan. Semua ini seolah melunasi mimpi saya saat dulu hanya mampu memandanginya melalui layar gawai jejaring internet.
Terumbu karang di sekitar nampak jelas di balik air jernih berwarna biru, berpendar hijau tosca. Rasa syukur terucap dalam hati atas perjalanan yang telah saya lampaui.
Sayang, Kami Tidak Bisa Lama Menginjakkan Kaki di Piaynemo
Pemandangan indah ini tidak bisa kami nikmati dalam waktu yang lama, berhubung rombongan 4 orang kawan kaka Edwin harus mengejar waktu.
Ini berakibat pada perahu viber yang dikemudikan Williem dan kaka Edwin tidak bisa mengantar kami sampai di kampung Pam.
“Dorang mau ada kejar pesawat Sorong-Manado, jadi harus kejar kapal Express Waisai-Sorong jam 14.00 WIT,” terang salah satu orang dalam rombongan.
Pernyataan itu bertepatan ketika kami sedang berusaha naik ke lantai berpapan Piaynemo dari perahu.
“Alahh siah jers,” (Yah Jers), ucap Sufy dengan ekspresi kaget dan sedikit kecewa.
Paitua Membawa Kami Menepi di Kampung Pam

Karena tidak bisa menemani perjalanan menuju Kampung Pam, Williem menitipkan kami pada Paitua (Bapa Tua), masyarakat asli Piaynemo dan memberi minyak yang sudah Sufy beli kepadanya.
Tidak ada waktu kami untuk mendaki lantai anak tangga berpapan yang mengarah ke puncak bukit Piaynemo untuk sejenak menikmati panorama air laut dan bukit berbatu Karst.
Kami langsung menuju perahu viber milik Bapa Tua dengan mesin motor 15 PK satu buah. Paitua menarik tali mesin, lalu melaju menjauhi Pulau Piaynemo.
Di persimpangan, Paitua mampir membawa hasil kebun yang sudah dipersiapkan di rumah pos berlabuh, “dulunya tempat ini bekas pangkalan minyak”, ujar Paitua.
Satu jam kurang perjalanan kami, hingga sampai di Kampung Pam. Menikmati perjalanan, melaju pelan mendayu-dayu bersama terpaan angin dan pemandangan di sekeliling membawa lamunan.
Discussion about this post