“Menceritakan kembali pengalaman akan ada kecenderungan distorsi. Tidak diingat utuh, hanya sekelumit,” tulis Nukila Amal dalam catatan perjalanannya di Tulang Bawang Barat.
Meski terdengar seperti ‘harap maklum atas kekhilafan saya’, ucapan itu rasanya ada benarnya. Konstruksi atas realitas tidak dapat sepenuhnya objektif, dan pengalaman bertubi-tubi di sebuah perjalanan tidak akan pernah bisa menangkap semua realitas yang terjadi, sekomperhensif apa pun tulisan itu.
Maka usaha yang bisa dilakukan adalah menceritakannya lagi sedikit-sedikit, sekelumit.
Saya dan rombongan teman seperguruan berkesempatan mengunjungi Semarang pada kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) tempo hari. Sebelum berangkat, kami sudah dibekali pengalaman membaca Semarang dari penulis-penulis macam Nh. Dini, AS. Laksana, dan Yusi Avianto Pareanom.
Kerja kepengarangan mereka kerap mengambil latar kota Semarang, baik secara lanskap kewilayahan maupun sosial budaya. Tiba di sana, kami berbincang ringan dengan beberapa orang Semarang tentang sastra lisan, dan berdiskusi tentang geliat kesusastraan di kampus dengan teman-teman baru yang satu jurusan dengan kami.
Tiga Menguak Semarang
Penulis dan Semarang. Hasil pencarian teratas tentang dua kata itu, di kepala kami memunculkan nama Nh. Dini. Penulis besar yang telah melanglangbuana ke berbagai belahan dunia. Namun, menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Semarang. Masa kanak-kanak di Sekayu dan masa penghabisan di wisma jompo di Ungaran, pinggiran Semarang.
Karya-karyanya kerap mengambil lanskap geografis yang luas seperti dalam Namaku Hiroko, Pada Sebuah Kapal, dan La Barka. Pada beberapa kesempatan, lanskap Semarang juga dijadikan latar utama kisah-kisahnya.
Novel Sebuah Lorong di Kotaku jadi salah satu contoh, ketika Nh. Dini bermain-main dengan tempat kelahirannya. Novel yang otobiografikal ini berbicara tentang masa kecil Nh. Dini di Semarang.
Arsip Majalah Tempo edisi 13 Januari 1979 di artikel berjudul Lorong Kecil di Kotaku Kenangan Si Kecil Dini membahas karya ini. Artikel ini menyanjung cara Nh. Dini mengemas pengalaman masa kecilnya dengan gaya reportase yang cermat dan hidup.
Membungkus apik pengalaman anak-anak kota di Semarang berinteraksi langsung dengan kehidupan pedesaan di Tegalrejo. Menarasikan pengalaman otentik dengan cemerlang oleh anak kecil, Dini kecil, lengkap dengan keluguan khas anak-anak.
Di karya-karya lainnya, Nh. Dini juga kerap menggambarkan Semarang dengan cara otobiografikal. Bahkan, tiap novelnya jadi representasi hidup Dini di Semarang.
Melalui Langit dan Bumi Sahabat Kami, Dini mengisahkan tentang pengalamannya pada masa perang revolusi di Semarang. Sekayu bercerita tentang masa awal remajanya. Pada masa puber itu, Dini memulai debut menulis profesionalnya.
Ia mengirim tulisan pada acara sastra di stasiun RRI di kotanya. Bahkan pada novel terakhirnya, Gunung Ungaran, Dini bercerita tentang masa tuanya di Lerep, lereng Gunung Ungaran.
Membaca Nh. Dini secara tipis-tipis dapat mengikuti perkembangan Semarang dari tahun ke tahun, terutama pada rentang tahun 40-80an. Meskipun tidak melulu berfokus pada lanskap, Semarang yang melatari kisah-kisah Dini juga tidak terasa sebagai tempelan. Pengalaman yang menyenangkan membaca Semarang lewat Nh. Dini.
Semarang yang Lebih Kekinian
AS Laksana dan Yusi Avianto Pareanom membawa Semarang yang berbeda dari Nh. Dini. Semarang yang lebih aktual dan kekinian. Tidak ada sawah dan burung kuntul yang beterbangan di atasnya. Tidak ada seekor kerbau menarik pedati untuk mengangkut hasil bumi.
Kedua penulis ini mengajak pembaca menelusuri lorong-lorong sempit Semarang dan kehidupan keras urban di sana. AS Laksana memperlihatkan ketika rumah-rumah dirobohkan di cerpen Buldozer.
Yusi Avianto menceritakan perkelahian sampai mati di kampung para preman dan berandalan pada cerpen Gelang Sipaku Gelang. Walau terlihat getir, itulah realitas yang mereka tangkap.
Pada acara diskusi dengan tajuk “Bualan-Bualan dari Semarang” dalam artikel inibaru.id, kedua penulis ini mengakui cara mereka menangkap Semarang, yaitu ingatan tentang memori masa lampau dan riset tempat.
“Semarang punya kesan mendalam di hati saya. Kemudian riset tetap saya lakukan, terlebih karena saya memiliki disiplin wartawan yang mengedepankan keakuratan. Intinya begini, kalau saya dapat data yang cukup dan banyak, memelintir dan mengubahnya enak,” ujar Yusi.
Hal senada juga diakui oleh AS Laksana. “Tipe riset saya ya kalau sedang pulang ke Semarang terus ngobrol-ngobrol dengan kawan lama. Kemudian juga lewat ke tempat-tempat yang dulu pernah saya singgahi, misal seperti lorong Sekayu itu,” ucapnya.
Kisah yang Mirip Situ Bagendit
Kami selalu berpikir seorang pemandu wisata pasti orang yang serba tahu. Maka kami memperlakukan pemandu wisata kami di Semarang layaknya orang mengetahui apa pun. Macam-macam hal remeh seperti, “mengapa Semarang teramat panas?”, “apa makanan paling enak di Semarang?”, dan “di mana kami bisa menemukan Congyang?”, minuman keras khas Semarang, kami lontarkan seenaknya ke pemandu wisata yang malang itu.
Di tempat makan siang sebelum berangkat ke Candi Gedong Songo, Billie Wijaya, temanku, menanyakan sastra lisan di Semarang. Pemandu wisata kesayangan kami terlihat bingung. Ia berjanji akan menanyakan ke temannya dan akan memberitahukannya ke kami besok.
Esoknya di Batang, sebelum kami pulang. Pemandu wisata bercerita tentang kisah Rawa Pening. Seorang anak berwujud naga yang bertapa puluhan tahun untuk jadi manusia.
Pertapaannya di bukit berhasil, dengan wujud manusia ia berjalan tertatih-tatih ke sebuah desa. Desa itu dikenal makmur dengan hasil bumi yang melimpah. Di tengah desa itu ia meminta makanan ke penduduk. Mereka menolaknya. Sang anak yang masih menyimpan kesaktian seekor naga kemudian menancapkan lidi ke tanah dan mencabutnya kembali. Terpancar air yang deras sehingga menenggelamkan desa itu menjadi rawa, Rawa Pening namanya.
Seketika kami ingat kisah Situ Bagendit, sungguh mirip. Seketika itu juga kami teringat perkataan salah satu dosen di kampus pada mata kuliah Sastra Bandingan. Kecenderungan kemiripan dalam cerita rakyat terjadi di mana-mana. Kisah setipe Malin Kundang ada di Aceh, Riau, bahkan Kalimantan. Kisah Sangkuriang bahkan mirip dengan Oedipus. “Persoalan manusia memang itu-itu saja, maka dari itu kisah-kisah rakyat juga itu-itu saja,” ujarnya di kelas.
Ambisi Greg, Teman Seperguruan di Semarang
Kami menyiapkan kemampuan berbahasa Indonesia terbaik saat berkunjung ke jurusan Sastra Indonesia kampus ternama di kota ini. Tidak disangka di sana banyak orang Bandung dan sekitarnya. Tidak perlu waktu lama, kami sudah merasa seperti di rumah. Saat itu juga kami seakan ingin langsung menggelar ambal sambil botram bersama paguyuban baru kami ini.
Salah satu dari teman baru kami, bernama Gregorius, Greg biasa ia disapa. Asal Medan, tinggal di Kopo, untuk ukuran orang kabupaten, kulitnya terlampau putih dan gaya bicaranya kelewat halus nan pelan. Tapi dari apa yang dia bicarakan, kami sama sekali tidak ragu kalau gagasan dan ambisi Greg jauh lebih lantang dari nada bicaranya yang seperti puteri Solo itu.
Greg satu tahun di bawah kami. Ia semester 4 sekarang. Ia pendiri Kelompok Coba-coba, yang didefinisikan sebagai platform mengkaji dan membuat karya sastra bagi mahasiswa Sastra Indonesia Undip. Kelompok Coba-coba dibangunnya pada akhir 2018 lalu.
Ia memulai Kelompok Coba-coba dari lapakan buku. Tidak seperti lapakan buku di Brooklyn Unpad yang isinya buku-buku tentang motivasi Islam, alam kubur, dan cara menjadi kiri. Buku-buku lapakan Kelompok Coba-coba semuanya murni tentang sastra. Sastra Indonesia berbagai periode, ada. Sastra Indonesia kiwari, ada. Sastra Latin, ada. Berbagai sastra dunia pun ada.
Kelompok Coba-coba
Kelompok Coba-coba mendapat sambutan hangat dari warga Sastra Indonesia di sekitarnya. Ambisi Greg ikut meningkat. Ia memutuskan membuat blog yang memuat tulisan teman-teman satu jurusannya. Hal ini kembali mendapat sambutan meriah. Ulasan buku, film, musik, hingga opini-opini terkini masuk ke blog ini. Mahasiswa Sastra Indonesia kini mempunyai ruang publik digital baru.
Tidak sampai di situ. Lewat Kelompok Coba-coba yang makin terkenal sampai ke tingkat fakultas, Greg mencoba membuat berbagai acara lain. Diskusi buku dan film, mimbar bebas puisi, acara musik kecil-kecilan, hingga pameran karya lukis dan foto. Memang tidak semuanya sukses. Ada juga acara yang sepi peminat. Namun lewat Kelompok Coba-coba, Greg berhasil membangun ekosistem sastra yang sehat di jurusan bahkan fakultasnya. Kami manggut-manggut saja mendengar Greg.
Tanpa tanda-tanda yang berarti, Greg tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan. “Kalau di kalian, ada gerakan-gerakan apa saja?” katanya dengan suara halus yang mulai terasa intimidatif. Kami saling berpandangan dan kemudian salah satu dari kami—mulai berbicara.
“Jadi begini, Greg. Rencananya kami tuh…,”
Discussion about this post