Sejak berkenalan dengannya, saya jadi malu untuk mengaku-aku sebagai seniman, apalagi seorang sastrawan. Nama aslinya, saya tidak tahu.
Saya dan masyarakat desa memanggilnya dengan sebutan Nek Lega. Lebih sering ia dipanggil “Ogog”, berasal dari kata “Gognang”, bahasa Uud Danum untuk perempuan yang tidak memiliki anak.
Ia sudah almarhum kini. Telah dua tahun berpulang. Namun Ogog masih sering dibicarakan. Ketika saya berkunjung untuk ketiga kalinya ke Desa Sakai, Kec. Ambalau, Kab. Sintang, Kalimantan Barat, pada November 2019, percakapan tentang Ogog masih terjadi, dan kami mengenangnya dengan hangat, seolah ia masih berada di antara kami.
Desa Sakai, Tanah Kelahiran Ogog
Bukan waktu yang sebentar untuk mencapai Desa Sakai. Dari ibu kota provinsi, Pontianak, akan menghabiskan waktu seharian dengan rincian sepuluh jam jalur darat dan delapan jam jalur sungai. Itu pun bila air sungai sedang tidak surut.
Desa Sakai adalah wilayah tanpa sinyal telepon, tanpa listrik Negara dengan topografi dikelilingi perbukitan, hutan asri, air terjun, dan sungai yang jernih. Tempat yang tepat untuk merenung dan bermeditasi.
Kunjungan ke desa ini selalu melahirkan kesan emosional bagi saya. Kesan ini salah satunya dibentuk oleh kedekatan saya dengan Ogog. Ia sahabat, nenek, sekaligus narasumber utama saya saat meneliti tentang tradisi, budaya, dan sastra lisan Uud Danum di tahun 2012.
Tidak ada yang tahu pasti berapa usia Ogog saat wafat. Kira-kira, lebih dari tujuh puluh tahun. Satu hal yang pasti, Ogog adalah perempuan yang lahir, tumbuh, dan wafat di desa yang sama.
Pemimpin Ritual Adat, Pelantun Kolimoi dan Tahtum
Selama hidupnya Ogog menjalani hidup dengan sederhana. Perempuan generasi lampau yang hanya bisa sepatah-patah kata dalam bahasa Indonesia. Kesehariannya diisi dengan berladang layaknya masyarakat Uud Danum di desa.
Ia adalah orang yang luar biasa, kepergiannya meninggalkan kekosongan yang dalam. Bagaimana tidak, ia adalah pemimpin ritual adat di Desa Sakai, juga seorang pongolimoi dan penahtum.
Pongolimoi adalah istilah untuk mereka yang bisa melantunkan kolimoi. Penahtum, mereka yang bisa melantunkan tahtum. Kolimoi dan tahtum adalah seni tutur atau sastra lisan, salah satu bentuk identitas masyarakat Dayak Uud Danum.
Sastra Lisan Paling Tinggi
Keduanya adalah sastra lisan yang paling tinggi di dalam budaya Uud Danum, berkisah tentang dunia kahyangan dan manusia-manusia legenda.
Konon, keduanya pernah menjadi “Alkitab” bagi kepercayaan Kaharingan, kepercayaan tertua yang dianut oleh sebagian besar Dayak Uud Danum dan Ngaju.
Suku Dayak tidak memiliki budaya aksara. Petuah dan ajaran disematkan di dalam sastra lisan, termasuk di dalam Kolimoi dan Tahtum.
Tidak semua orang bisa menjadi pongolimoi atau penahtum. Selain harus melewati ritual-ritual tertentu, mereka juga harus menguasai bahasa Kandan Kolimoi. Bahasa yang hanya diperuntukkan untuk sastra lisan.
Saya ingat cerita ketika Ogog mempelajari kolimoi. Ia mesti berguru dengan beberapa pongolimoi. Melewati berbagai macam ritual, belajar melantunkannya ketika berladang atau saat sedang mengerjakan anyaman rotan.
Hasilnya, ia menguasai bahasa Kandan Kolimoi, nada-nada khas Kolimoi, dan banyak judul lainnya (lebih dari seratus). Ketika para pendahulunya wafat, Ogog pun menggantikan mereka.
Beda Ogog dengan Penutur Sastra Lisan Lainnya
Umumnya, seorang penutur hanya menguasai satu jenis. Pongolimoi biasanya hanya bisa ngolimoi. Penahtum biasanya hanya nahtum. Ogog berbeda, ia menguasai semua jenis sastra lisan Uud Danum.
Selain kolimoi, ia juga mahir melantunkan tahtum, lalu parung, kandan, dan kesah, jenis-jenis tradisi Lisan Uud Danum. Ia juga seorang jajak dan dukun adat untuk Desa Sakai.
Beratnya tantangan, ditambah peralihan zaman dari budaya lisan ke aksara, ditambah lagi kini dengan zaman layar elektronik, menyebabkan keberadaan sastra lisan Uud Danum mendekati kepunahan.
Kepergian Ogog, Simbol akan Musnahnya Tradisi Sastra Lisan Uud Danum
Tahun 2012, jumlah penutur sastra lisan di Kecamatan Ambalau diperkirakan bersisa belasan orang. Semuanya sudah tergolong tua renta. Salah satunya adalah Ogog dan sekarang ia telah tiada.
“Siapa yang kini memimpin ritual adat di Desa Sakai?” tanya saya pada Paman Igun, seorang kenalan di Desa Sakai dalam kunjungan terakhir. Ia menggeleng lesu, berarti tidak ada.
“Jadi, kalau mau acara dalok (ritual pengantaran arwah, ritual terbesar dalam masyarakat Uud Danum)?”
“Terpaksa panggil jajak (dukun adat) dari desa lain.”
“Kalau mau dengar kolimoi atau tahtum?”
Paman Igun semakin menggeleng lesu. “Di satu kecamatan ini, sudah susah mencari yang bisa. Kecamatan lain juga susah,” ujarnya.
Jawaban-jawaban singkat Paman Igun menjelaskan satu hal bahwa kepergian Ogog bukan sekadar kepergian seorang manusia, namun simbol kemungkinan besar musnahnya satu (lagi) tradisi tua, sastra-sastra lisan Uud Danum itu.
Sementara rekaman maupun catatan tertulis terbatas jumlahnya. Saya kira, di titik ini, kita harus mengakui bahwa memang tidak ada sesuatu yang abadi, walau kadang hal itu terasa menyedihkan.
Discussion about this post