Terjaminnya pendapatan tiap bulan, jabatan yang disegani oleh banyak orang membuat posisi PNS sebagai salah satu pekerjaan idaman di Indonesia.
Selama ketersediaan kas negara masih baik, sepanjang itu pula pendapatan terjamin.
Tidak mengherankan tiap lowongan pegawai negeri dibuka, jutaan orang akan mendaftar dan bersaing demi meraih titel sebagai birokrat negara.
Anggapan bahwa PNS (pegawai negeri sipil) adalah pekerjaan bergengsi sejatinya telah terpupuk sejak Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
Bagaimanakah hal ini bermula? tulisan ini membahas sejarah OSVIA Madiun, satu dari sekian banyak jejak sekolah calon pegawai negeri pada masa kolonial.
Menyingkap sejarah OSVIA Madiun

Pada Minggu yang cerah di bulan September, saya bertandang ke kota Madiun untuk melihat potensi-potensi bangunan bersejarah.
Selama di kota yang mahsyur akan pecelnya ini, saya didampingi oleh sejawat dari komunitas Historia van Madioen (HVM), Andrik. Tujuan pertama adalah kompeks Bosbow yang berada di jalan Diponegoro.
“Masyarakat Madiun lebih mengenal kompleks ini sebagai Bosbow. Pasalnya kompleks ini sempat dipakai untuk sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen”, jelas Andrik setibanya di sana.
“Pada faktanya, tujuan dibangun kompleks ini oleh pemerintah kolonial ialah untuk sekolah calon pamong praja di masa kolonial, OSVIA”, sambung Andri.
OSVIA, akronim dari Opleideng School voor Inlandsch Ambtenaren, kawah candradimukanya pegawai negeri Hindia-Belanda.
Menyingkap sejarah OSVIA Madiun artinya juga menyingkap perjalanan sejarah pendidikan calon pamong praja di era kolonial.
Reformasi birokrasi pemerintah kolonial
Bangkrutnya VOC akibat birokrasi berbelit yang dibuat oleh mereka sendiri tampaknya menyadarkan pemerintah kolonial untuk melakukan reformasi birokrasi.
Dari era Gubernur Jenderal Daendels, birokrasi lama kompeni perlahan digantikan dengan birokrasi baru yang lebih tertata.
Sayangnya, kendala jarak menyebabkan kesulitan bagi pemerintah untuk mengisi jajaran birokrasi di tingkat klerk (juru tulis) dengan orang Eropa.
Kursi pegawai yang masih lowong pun akhirnya disediakan kepada kaum bumiputera.
Awalnya, mereka memilih kaum priyayi karena memiliki derajat sosial yang dipandang tinggi oleh kaum bumiptera, sehingga memudahkan membantu pemerintah kolonial untuk mengomunikasikan program-program pemerintah.
Hoofdenschool, sekolah calon pegawai

Di saat yang lain, dibukanya ekonomi Hindia-Belanda pada 1870 kepada korporasi Eropa menciptakan kebutuhan tenaga kerja yang terampil dan terdidik, tapi berbiaya murah.
Jalan yang ditempuh pemerintah kolonial demi kepentingan pemodal adalah menyelenggarakan pendidikan hoofdenschool, sekolah calon pegawai pada 1880.
Sayangnya, hanya anak laki-laki keturunan darah biru saja yang memiliki kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah tersebut.
Di samping itu, sekolah tersebut tidak menerima anak perempuan dan anak-anak dari suku bangsa lain, misalnya dari etnis Tionghoa (Sitompul, 2015).
“Sekolah raja” Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA)

OSVIA Madiun dibangun sesudah diterapkannya kebijakan politik etis pada awal abad 20.
Kebijakan ini mengubah arah tujuan pendidikan kolonial, semula untuk mencetak tenaga terampil yang “murah”, jadi bentuk “balas budi” kepada tanah jajahan.
Pada saat yang sama, kebijakan desentralisasi dan bertambahnya wilayah jajahan membuka lapangan pekerjaan birokrasi dalam jumlah besar.
Menanggapi kebutuhan tersebut, perubahan dilakukan dengan meningkatkan status Hoofdenschool jadi Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) pada 29 Agustus 1900.
OSVIA, sebagaimana sekolah kedinasan pada zaman penjajahan adalah sekolah elit. Syarat masuk ke sekolah ini lebih ketat dibanding Hoofdenschool.
Salah satu syaratnya, para calon pelajar OSVIA telah menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (Brugmans, 1938; 293).
Ini artinya, hanya anak-anak kalangan bangsawan saja yang dapat bersekolah di OSVIA.
Mengingat kebanyakan lulusan ELS berasal dari kalangan bangsawan.
Hal ini agar pemerintah kolonial mendapat elite bumiputera yang dapat diajak bekerja sama. Sekaligus terampil dalam menangani urusan birokrasi.
Karena itu, OSVIA mendapat sebutan sekolah raja sebab hanya anak raja atau bangsawan yang diterima di sekolah ini.
Belajar selama 5 tahun demi menjadi pegawai birokrasi kolonial

Lama belajar siswa OSVIA adalah lima tahun. Dua tahun terakhir dihabiskan untuk belajar hukum.
Pada awalnya, sekolah ini menggunakan bahasa Melayu mengingat bahasa ini dipergunakan secara luas oleh berbagai kalangan.
Tapi, bahasa Belanda tetap jadi bahasa resmi dalam birokrasi kolonial. Selama belajar di OSVIA, para siswa juga diharuskan untuk melakukan kontak dengan masyarakat.
Tujuannya, sebagai calon pegawai negeri para siswa dapat mengenal karakter dan menyesuaikan diri dengan masyarakat di sekitarnya.
Bekal yang penting mengingat setelah menjadi pejabat, mereka akan jadi penghubung masyarakat pribumi dengan pemerintah kolonial.
Dalam buku De Bezoegingen op Indonesisch Bestuur, karena karakter penduduk Pulau Jawa dari ujung barat hingga timur berlainan satu sama lain, maka pemerintah kolonial membuka OSVIA di berbagai tempat seperti Bandung, Magelang, Serang, Probolinggo dan Madiun.
Mengangkat derajat sosial sebagai birokrat
Selepas menempuh masa pendidikan, pemerintah kolonial mengangkat lulusan OSVIA sebagai birokrat pemerintah dan menempatkan di berbagai posisi kedinasan.
Karena itulah kedudukan OSVIA mengundang minat orang-orang tua dari kalangan priyayi, terutama priyayi “rendahan” untuk menyekolahkan putra mereka.
Bagi priyayi “rendahan”, pendidikan jadi jalan keluar lepas dari penghambaan kepada priyayi “yang lebih tinggi”.
Di samping itu, derajat sosial sebagai birokrat akan membuat mereka lebih disegani oleh banyak orang.
Inilah awal lahirnya golongan priyayi baru, yaitu mereka yang berhasil meningkatkan derajat sosial lewat jalur pendidikan.
Sekat rasial pemerintah kolonial
Meskipun demikian, sukses sebagai birokrat ternyata tidak mendapat jaminan untuk bisa menerobos sekat rasial yang ditetapkan pemerintah kolonial untuk melanggengkan kekuasaannya.
Pemerintah kolonial sengaja menempatkan lulusan sekolah OSVIA pada tingkat klerk atau juru tulis, tingkatan pegawai paling rendah. Jabatan mereka hanya dibatasi sampai di situ saja.
Tidak ada kenaikan pangkat selama mengabdi dengan pemerintah kolonial. Sekalipun sudah masuk lingkaran birokrasi kolonial, kedudukan kaum bumiputera tetaplah tidak sejajar dengan bangsa Barat.
Lahirnya dua golongan hasil sistem pendidikan OSVIA

Ada dua golongan yang lahir dari sistem pendidikan macam ini, pertama adalah golongan priyayi “penjilat”. Mereka berusaha memasang wajah manis di depan pemerintah kolonial dengan tujuan tetap dipercaya oleh penguasa.
Mempertahankan jabatan yang nantinya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Mereka inilah kepanjangan tangan pemerintah kolonial dan cenderung menjaga jarak dari rakyat.
Kedua adalah golongan priyayi pergerakan, atau dalam sudut pandang pemerintah kolonial, adalah priyayi pembangkang. Golongan yang paling lantang menentang sistem pemerintah kolonial.
Pemerintah kolonial Belanda tidak menyadari sekolah bentukan mereka selain jadi tempat menempa calon pegawai negeri, juga tempat bersemainya bibit-bibit kaum pergerakan nasional.
Kisah-kisah pembangkang OSVIA
Dari mereka bahkan ada yang sempat membangkang kepada sekolah, seperti yang terjadi di OSVIA Madiun. Kisah pembangkangan datang dari seorang siswa bernama Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo.
Juga kisah seorang pemuda bernama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang membuat tulisan berjudul Als ik een Nederlander was. Koran De Express memuat tulisan ini pada 13 Juni 1913.
Karya Soewardi membuat pemerintah kolonial kebakaran jenggot. Pasalnya, Soewardi menyebut orang Belanda sebagai orang yang tidak tahu diri karena mereka akan merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.
“… Andai aku seorang Nedelander, tidaklah aku akan merajakan kemerdekaan bangsaku di negeri jang rakjatnja tidak kita beri kemerdekaan,” tulis Soewardi
Tulisan tersebut menyebar luas, sehingga empat siswa OSVIA menolak untuk turut serta dalam pesta yang dikritik Soewardi tadi. Keempatnya dikeluarkan dari sekolah.
Risau dengan nasib rekan sesama almamater, Soerjo bersama rekan lainnya menuntut pihak OSVIA agar mengembalikan status keempat siswa yang dipecat.
Di samping itu, Soerjo juga memberi bantuan biaya hidup kepada keempat kawannya yang dipecat, tidak peduli dengan ancaman sanksi akademis yang mengintainya.
Laksana Daud melawan Goliath, tuntutan Soerjo agar keempat kawannya dipulihkan kembali sebagai siswa OSVIA tidak dihiraukan oleh pihak OSVIA.
Tanggapan dingin tersebut membuat kebencian Soerjo terhadap kolonialisme Belanda semakin menjadi.
Semenjak kejadian tersebut, Soerjo kerap bersitegang dengan para sinyo Belanda.
Kendati sudah diselesaikan secara kekeluargaan, semangat patriotisme Soerjo tidaklah surut.
Semangat inilah yang jadi bekal Soerjo ketika ia menjabat sebagai gubernur Jawa Timur, tatkala ia bersama rakyatnya bersatu padu menghadapi tentara Sekutu pada pertempuran Surabaya (Johari ; 2019).
Reorganisasi OSVIA menjadi MOSVIA
Setelah dilakukan reogranisasi, OSVIA Madiun bersama dengan OSVIA di tempat lain berubah menjadi MOSVIA (Middelbaar Opleiden Schoolen voor Indische Ambtenaren) pada 1927.
MOSVIA menerima lulusan bumiputera dari sekolah lanjutan khusus Bumiputera, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) –setingkat sekolah menengah pertama– untuk menghimpun lebih banyak calon birokrat bumiputera.
Usia MOSVIA tidak lama karena beban keuangan yang tidak bisa ditanggung lagi oleh kas pemerintah kolonial. Perjalanan OSVIA Madiun akhirnya purna pada tahun 1930.
Pemerintah kolonial memutuskan untuk menggabungkan dan memindahkan kegiatan belajar mengajar MOSVIA Madiun dengan MOSVIA Magelang, satu-satunya MOSVIA yang masih dibiarkan beroperasi.
Lagu “Wilhelmus” jadi pemicu
Selain untuk menghemat anggaran, penutupan sekolah tersebut juga terselip unsur politik.
Dalam surat kabar Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie terbitan 3 Juli 1930, penutupan tersebut dipicu oleh aksi penolakan siswa-siswa asrama OSVIA untuk memainkan lagu “Wilhelmus”, lagu kebangsaan Belanda yang biasanya dimainkan pada upacara resmi.
Kejadian bermula ketika serikat siswa OSVIA Madiun, “Mardi Oetomo”, hendak menggelar perayaan ulang tahun pada pertengahan bulan Maret.
Perayaan tersebut sedianya akan dihadiri oleh pejabat-pejabat penting di Madiun seperti residen. Karena itu, para siswa wajib mengumandangkan lagu “Wilhelmus” sebagai sambutan.
Jiwa-jiwa nasionalis tampaknya sudah merasuki pada setiap insan siswa Madiun sehingga mereka menolak untuk memainkan lagu kebangsaan bangsa yang menjajah mereka.
Mendengar kabar tersebut, para pejabat kolonial mengancam untuk tidak hadir di perayaan ulang tahun “Mardi Oetomo”.
Walau sudah diberi pemahaman dari kepala asrama bahwa memainkan lagu tersebut hanyalah sebagai bentuk penghormatan kepada otoritas, namun siswa-siswa OSVIA Madiun bersikeras untuk tidak menyanyikan “Wilhelmus”.
Akhirnya perayaan tetap berlangsung meriah. Residen Madiun tetap berkenan untuk menghadiri perayaan tersebut setelah mendapat ucapan permintaan maaf dari direktur OSVIA. Namun, lagu “Wilhelmus” tidak dimainkan pada saat menyambut residen.
Kabar kegaduhan tersebut rupanya tersiar sampai di telinga petinggi di Batavia dan membuat mereka gusar.
Menurut pandangan mereka, menolak memainkan lagu “Wilhelmus” sama saja dengan melawan otoritas kolonial, apalagi itu terjadi di sekolah untuk calon pegawai negeri yang akan mengabdi kepada otoritas kolonial.
Akhirnya diputuskan untuk menutup OSVIA Madiun dan meleburkannya dengan OSVIA Magelang (Soerabaiasch Handelsblad, 11 Desember 1930).
Sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen (MBS)
Perjalanan sekolah bergengsi di Madiun itu akhirnya harus berakhir gara-gara lagu. Gedung sekolahnya kemudian digunakan untuk sekolah kehutanan, Middlebare Boschbouwschool te Madioen (MBS), yang dibuka oleh J.H. Becking pada 26 Agustus 1939.
Sebagaimana MOSVIA, Boschbouwschool juga sekolah kedinasan, bedanya Boschbouwschool adalah sekolah khusus untuk ilmu kehutanan dan pengelolaan kayu.
Madiun adalah pilihan yang tepat untuk lokasi sekolah kehutanan ini karena wilayahnya dikelilingi oleh hutan dan pusat pengolahan kayu.
Siswa-siswa Boschbouwschool tidak hanya berasal dari Madiun saja, melainkan juga ada yang dari Bogor, Malang, dan Sukabumi. Mereka akan belajar dan tinggal di asrama selama 3 tahun.
Bagian-bagian gedung OSVIA Madiun

Tampilan gedung OSVIA Madiun terhitung mentereng untuk sebuah gedung sekolah pada masa kolonial.
Perpaduan atap limasan dan menara kayu di bagian tengah membuat rupa gedung ini hampir mirip dengan gedung Stadhuis Batavia atau kini menjadi Museum Fatahillah.
Sementara itu, bagian atap pelana diberi aksen kayu. Pada bagian ini dahulunya ada tulisan “Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren”. Sayangnya tulisan tersebut sudah tidak terlihat lagi.
Bagian ini dahulu digunakan untuk menyambut tamu, salah satunya adalah Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Andries Cornelis Dirk de Graeff yang mengunjungi OSVIA Madiun pada 1929.
Ketika tiba di OSVIA Madiun, ia disambut dengan iringan musik gamelan. Dari situ ia melanjutkan tur keliling kompleks sekolah.
Kompleks OSVIA Madiun meliputi kantor administrasi, ruang kelas, dan asrama. Selain itu, OSVIA Madiun dilengkapi dengan sarana penunjang seperti dapur dan gym.
Di halaman depan kompleks, terdapat lima buah rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal pegawai OSVIA. Keseluruhan bangunan tadi disambung dengan selasar terbuka.
Berkeliling mengamati gedung OSVIA Madiun

Andrik dan rekan-rekannya mengajak saya untuk berkeliling mengamati gedung OSVIA. Walau sudah tidak berfungsi sebagai sekolah, gedung OSVIA Madiun tidak sepenuhnya mati.

Delapan puluh delapan kepala keluarga yang telah menempati gedung ini sejak tahun 1970an, menghidupkan gedung ini.
Ruang-ruang kelas yang dahulu diisi dengan meja belajar dan papan tulis, kini berganti dengan aneka perabot rumah tangga.
Gedung OSVIA sendiri sebenarnya masih tampak bagus. Namun, karena kurangnya kepedulian dari pemerintah setempat, beberapa bagian dari gedung ini mulai rusak.
Seperti menara kayu kecil yang dulunya bertengger di atap depan, kini sudah hilang. Kemudian atap-atap selasar yang terlihat koyak oleh usia.

Bangunan OSVIA Madiun terlihat terengah-engah di hari tuanya, berjuang sendiri untuk sintas agar bisa jadi bukti kepada generasi mendatang tentang bagaimana perjuangan anak negeri untuk meraih cita-citanya sebagai pegawai negeri.
Entah apakah mereka nantinya akan menunjukan kesetianya kepada pemerintah kolonial atau justru malah sebaliknya, turut ambil bagian dalam pergerakan nasional melawan kolonialisme.
Tapi yang jelas, cita-cita mereka ketika masuk OSVIA adalah satu, menjadi pegawai negeri yang terpandang di mata masyarakat.
Belanda boleh saja hengkang, namun anggapan bahwa pegawai negeri adalah pekerjaan bergengsi tampaknya sulit untuk lekang bila melihat kenyataan saat ini.
Referensi
Brugmans, I.J. 1938. Geschiedenis van het Onderwijs in Nederlandsch-Indie. Batavia ; J.B. Wolter Uitgeving Maatschappij.
Perhimpunan Pegawai Bestuur Boemipoetra. 1937. De Bezuiniginen op Het Indonesischbestuur. Batavia : Drukkerij Lux.
Johari, Hendi. 2019. Gejolak di Osvia dalam Historia.id
Sitompul, Martin. 2015. Dari OSVIA sampai IPDN, Riwayat Sekolah para Birokrat dalam Historia.id
De Indische Courant, 30 Mei 1938.
Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie, 3 Juli 1930.
Soerabaijasch handelsblad, 11 Desember 1930.
Discussion about this post