Ada seuntai pantun-nasehat lama yang berbunyi sebagai berikut:
Setali pembeli kemenyan,
sekupang pembeli ketaya,
Sekali lancung ke ujian,
seumur hidup orang tak percaya.
Nasehat pantun ini berkaitan erat dengan pepatah yang juga sama tuanya berbunyi,
“Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna atau “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna”.
Artinya setiap tindakan atau perbuatan itu hendaknya dipikirkan dahulu baik-baik sebelum dikerjakan agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari.
Penolakan para pihak tidak lepas dari pengalaman yang telah dialami
Mengutip dari Kompas.com Food Estate adalah salah satu Program Strategis Nasional 2020-2024 yang bertujuan membangun lumbung pangan nasional.
Program ini nantinya akan berada di lahan seluas 165.000 hektar. Food estate jadi upaya pemerintah RI untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan sebagai dampak pandemi.
Pembangunannya mengintegrasikan pertanian, perkebunan, dan peternakan di satu kawasan.
Penolakan para pihak baik organisasi maupun individu terhadap program pemerintah pusat yakni Food Estate, bukanlah muncul begitu saja.
Penolakan tidak lepas dari pengalaman-pengalaman yang telah dialami seperti Rice Mega Proyek Orde Baru yang dikenal dengan nama Proyek Lahan Gambut (PLG).
Dilanjutkan dengan pengalaman proyek sejenis di Merauke, Bulungan dan Ketapang.
Penolakan dan ketidakpercayaan itu adalah akibat dari tindakan “lancung” yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat.
Lancung artinya tidak dipikirkan matang-matang, tidak didasarkan pada kajian menyeluruh.
Tidak lain, penduduk setempat yang paling menderita akibat kelancungan ini.
Dalam hal PLG, yang paling menderita adalah masyarakat Dayak, di samping para transmigran yang didatangkan sebagai tenaga kerja pada proyek raksasa tersebut.
Terhadap Proyek Food Estate Pemerintahan Jokowi, entah atas dasar ilmiah yang bagaimana, para penyokong menyebutnya sebagai “anugerah” dan ada pula yang berterimakasih.
Saya menyinggung soal dasar ilmiah argumen karena dari para penyokong ada yang mengatasnamai akademisi.
Menyokong dan menolak adalah hak masing-masing. Hanya saja seyogyanya dukungan dan atau penolakan dilakukan atas dasar kajian yang mendalam atau menyeluruh.
Tidak melupakan sejarah. Seluruh aspek program tersebut dikaji benar-benar.
Semangat partisan politik politisien lebih banyak mencelakakan karena tidak mengutamakan kajian menyeluruh.
Tanpa kajian menyeluruh dan mendalam, bertolak dari kemauan subyektif semata.
Tanpa mendengarkan alasan yang menolak. Tidak mengikutsertakan masyarakat lokal.
Sebagaimana amanat Konvensi PBB tentang Masyarakat Adat dalam pelaksanaan Program Food Estate, hakekatnya telah menempatkan masyarakat setempat (baca: Dayak) sebagai kelinci percobaan.
Ketika program tersebut gagal, mereka meninggalkan masyarakat setempat menderita sendiri.
Para penyokongnya pun akan diam seribu bahasa. Sikap demikian bisa dipahami karena memang demikianlah nasib kelinci percobaan dari politik dan sikap keledai yang tersandung berulang kali di batu serupa.
Hanya saja untuk melakukan kajian menyeluruh, diperlukan ketekunan, usaha lebih, dan kesukaan berpikir, tidak memilih jalan pintas.
Mengkaji sesuatu dengan cermat sebelum bertindak?
Apakah kita di Kalimantan Tengah masih rajin berpikir dan mengkaji sesuatu dengan cermat sebelum bertindak? Ataukah seperti yang dikatakan oleh penyair Spanyol José Angel Valente:
Kita mengunyah perintah
[dengan tali jerat kematian]
Dan akhirnya kita dikebiri sebagai manusia
Kita menelan perintah Kita pun tak lagi pernah lahir
“Terjerat tali kematian” sebagai anak manusia merdeka dan bermetamorfosis menjadi robot tanpa nurani. Atau seperti yang dilukiskan oleh alm. Fridolin Ukur dalam sajaknya ”Kain di Abad XX” yang cuplikannya sebagai berikut:
Ketika Yesus mencari aku
tidak dijumpainya aku di sawah;
ketika Yesus mencari aku
ditemuinya aku asyik membaca koran
Ia datang sebagai anak tanggung
penjual kembang gula sugus
Ia menyapa: apa yang terjadi kemarin
dengan Habel saudaramu?
Ku jawab tidak ada beritanya dalam Koran!
Ia berkata: manusia itu hidup
bukan hanya dari pangan dan Koran!
“Aku” sibuk dengan diri sendiri dan kepentingan-kepentingan hedonistik sang “Aku” sehingga tidak memikirkan lagi keadaan “Habel”, saudara kandungnya.
Apakah melalui sajaknya ini Fridolin mau melukiskan rona pola pikir dan wajah mentalitas manusia Dayak sekarang?
Fridolin yang pendeta-penyair itu membebaskan kita untuk menafsirkan sajaknya.
Tanpa kajian mendalam dan menyeluruh terhadap Program Food Estate yang mau dilaksanakan di Kalimantan Tengah.
Apakah kita memikirkan juga nasib dan hari esok Habel sebelum menyatakan setuju dan tidak setuju, menyokong dan atau menolak?
Mengikutsertakan wakil masyarakat sesuai dengan prinsip FPIC dalam Konvensi PBB
Agar tidak lancung, saya sedang membayangkan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah menyelenggarakan diskusi ahli yang melibatkan berbagai kalangan.
Termasuk mereka yang tidak setuju terhadap Program Food Estate dan perwakilan masyarakat di daerah-daerah yang akan dijadikan tempat melaksanakan Program Food Estate (perwakilan masyarakat ini ditentukan oleh masyarakat sendiri, bukan ditetapkan oleh pemerintah).
Diikutsertakannya wakil masyarakat setempat ini sesuai dengan prinsip FPIC dalam Konvensi PBB tentang Masyarakat Adat (indigenous people).
Jika hal-hal tersebut tidak dilakukan maka demokrasi yang diterapkan adalah kesewenang-wenangan.
Bertopengkan demokrasi menggunakan pendekatan top-down dikawal oleh kekuatan bersenjata dan penjara.
Dari segi hukum, karena republik ini disebut sebagai negara hukum, payung hukum apa dan yang mana yang digunakan oleh presiden?
Apabila pada akhirnya diskusi yang diikuti oleh peserta tanpa tebang-pilih itu menghasilkan kesimpulan menolak Program Food Estate, kesimpulan dan sikap itulah yang disampaikan ke Presiden Joko Widodo.
Apakah Pemerintah Pusat berketetapan melaksanakan program tersebut, tanpa mengindahkan penolakan dengan segala konsekuensinya, ketetapan demikian jadi tanggung-jawab Pemerintah Pusat (cq. Presiden) bukan menjadi urusan diskusi.
Yang penting, diskusi sudah menyampaikan pandangan dan sikap masyarakat Kalimantan Tengah.
Filosofi hidup-mati Manusia Dayak
Masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya masyarakat Dayak, niscaya berani menyatakan sikap menolak jika memang harus menolak.
Menolak termasuk hak sebagai warganegara, apalagi jika dilihat dari segi filosofi hidup-mati Manusia Dayak sebagai réngan tingang nyanak jata (anak enggang putera-puteri naga), kalau konsep ini masih diresapi.
Demikian juga jika dilihat dari sudut pandang tritunggal karakter manusia Dayak ideal: mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh.
Jika terdapat dua pandangan dan sikap utama, ya, sampaikan kedua-duanya.
Tentu saja saya sadar bahwa bayangan demikian bersifat sangat ilusioner, apalagi untuk daerah ini.
Saya tidak menolak dan setuju sekali Indonesia mempunyai kedaulatan pangan.
Bukan hanya ketahanan. Persoalannya adalah cara mewujudkan keinginan lama tersebut yaitu dengan sistem korporatif (bukan koperasi!) dan tempat melaksanakannya yaitu lahan gambut.
Tentang hal ini, pemerintah pusat tidak konsisten. Terkadang menyebut pelaksanaannya di lahan gambut, pada kesempatan lain tidak di lahan gambut.
Hanya kalau kita mencermati peta penggunaan lahan di Kalimantan Tengah, lahan tersisa terutama lahan bergambut dan lahan gambut.
Lahan lain sudah menjadi daerah konsesi perkebunan sawit, HPH, Hutan Tanaman Industri, dan Pertambangan.
Pada tahun 2009, lahan garapan tersisa tinggal 20 persen dari seluruh wilayah Kalimantan Tengah yang luasnya 1,5× Pulau Jawa.
Dari segi teknis, penggunaan alat-alat berat, untuk memulai usaha pertanian modern serta hasil-hasil yang dibayangkan akan diperoleh, lebih banyak bersifat iming-iming agar tidak terjadi keresahan sosial.
Tanaman bisa tumbuh di lahan bergambut tipis, tapi berapa banyak lahan demikian tersisa?
Mengenai masalah teknis ini, sebaiknya pemerintah bersikap terbuka, termasuk mengenai investor yang akan menangani Program Food Estate dan lahan mana serta siapa yang akan digunakan, dan lain-lain soal terkait.
Dampak penerapan sistem Food Estate
Penerapan sistem Food Estate akan mempunyai dampak sosial, politik, ekonomi,dan kebudayaan bahkan keamanan yang patut diperhitungkan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Saya khawatir penerapan sistem Food Estate yang dilakukan oleh korporasi bukannya membuat negeri dan bangsa ini menjadi berdaulat di bidang pangan, tapi sebaliknya akan tergantung, sistem produksi pangan kita akan berada dalam tangan korporasi dunia.
Diterapkannya sistem ini juga akan mengesahkan perampasan tanah warga setempat atas nama kepentingan pertahanan nasional.
Seperti dikatakan oleh penyair S. Anantaguna yang terjadi adalah “Yang bertanah-air tapi tak bertanah”.
Proses proletarisasi masyarakat pedesaan di Kalimantan Tengah akan melaju cepat.
Kedatangan bertahap transmigran sejumlah 1,4 juta orang (yang pasti datang bersama keluarga, anak dan istri) akan makin mengubah komposisi demografis Kalimantan Tengah.
Perubahan komposisi demografis, apalagi disertai dengan kebijakan yang timpang akan berdampak besar sehingga patut diperhitungkan oleh penyelenggara negara terutama oleh Orang Dayak .
Akan sangat menyedihkan jika Kain melupakan Habel, jika menggunakan perbandingan Fridolin Ukur, tapi barangkali hal demikianlah yang terjadi selama ini. Dayak menghancurkan Dayak.
Kata-kata profetik James Brooke kepada orang Dayak
Dihadapan perspektif demikian, saya kembali teringat akan kata-kata profetik James Brooke (1841-1863) yang menguasai Sarawak. Brooke berpesan kepada Orang Dayak:
“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemahlembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian.Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”
Sistem Food Estate di lahan gambut hanya membawa kegelapan bagi Kalimantan Tengah, terutama bagi Orang Dayak.
Tapi daripada mengutuk malam lebih baik menyalakan lilin. Adakah dan apa-bagaimana lilin yang patut dinyalakan sebagai jalan terang bersifat alternatif itu?
Tentu ada lilin yang bisa dinyalakan. Apa-bagaimana lilin itu, hal inilah yang menjadi salah satu isi diskusi terbuka yang seyogyanya diselenggarakan.
Indonesia mau ke mana?
Soal alternatif ini, dalam dunia pertanian berkelanjutan dan sosiologi pedesaan, sesungguhnya bukan pula hal baru.
Ia sudah lama didiskusikan antara lain oleh A. Chayanov, Teodor Shanin, Henry Bernstein, Scott, E. Wolf, Prof. Ir. Sajogyo, Gunawan Wiradi, dan lain-lain.
Hari ini kembali diangkat antara lain oleh van der Ploeg, Ben White, Mazhab Bogor, Dwi Andreas, Susan Sontag, dan lain-lain.
Sementara Hans Peter Martin dan Harald Schumann dalam karya mereka “Jebakan Global” (Hasta Mitra – Institute For Global Justice, 2005) secara khusus berbicara tentang agresi terhadap kesejahteraan melalui sistem korporasi.
Dari segi akademi, bukan kebetulan apabila karya van der Ploeg diterbitkan dalam Bahasa Indonesia pada tahun 2019 lalu sebab masalah penerapan sistem Food Estate, sama dengan pertanyaan: Indonesia mau ke mana?
Karya-karya seperti karya van der Ploeg adalah isyarat dan saran ilmiah kepada para pihak terkait terutama kepada pihak penyelenggara negara sebagai pengambil keputusan kebijakan.
Diskusi akademi yang mengkaji secara menyeluruh dan mendalam masalah sistem Food Estate barangkali hari ini diperlukan supaya terhindar dari tindak-tindak lancung.
Politik yang bukan politik politisien seniscayanya membahagiakan, menyejahterakan masyarakat, dan meratakan keadilan.
Tapi sayangnya, keadilan justru manjadi sesuatu yang masih sangat mewah di negeri ini.
Menjadikan Kalimantan Tengah lagi-lagi sebagai “kelinci percobaan” penerapan sistem Food Estate, apakah akan membawa hadir keadilan ke tengah masyarakat ataukah sejenis politik keledai yang mengabaikan sejarah dan kenyataan?
Yang cukup jelas, politik keledai ini mengambil Orang Dayak sebagai tumbal.
Sayup-sayup, saya juga mendengar tentang adanya iming-iming bahwa Orang Dayak yang setuju dengan sistem Food Estate akan mendapat 2 (dua) hektar tanah.
Jika hal demikian benar, saya memahaminya bahwa untuk melaksanakan Program Food Estate, segala cara digunakan dan dianggap halal.
Dihadapan keadaan gawat untuk hari esok ini, saya hanya bisa berharap bahwa Orang Dayak Kalimantan Tengah tidak lupa nasehat para tetua agar selalu baréndéng.
Tidak sakit mata, terutama mata kesadaran.
Halaman Masyarakat Adat, Harian Radar Sampit, Minggu 26/07/2020
Penulis: Kusni Sulang
Penyunting: Andriani SJ Kusni
Sumber: Jurnaltoddoppuli
Foto sampul artikel: Krips21
Discussion about this post