Ni’nah halo amee
Kame Klunaan dusa
Kelaan kame umah ame
Hurung je uss ame
Na vah in ke nap ame
O Tipang apii’ ni naa’
Apii’ Tipang apii ni naa’
Inilah dalam (hati) kami
Kami orang berdosa
Agar kami tidak susah
Dapat rumah kami
Tuhan, ambillah ini
Ambillah Tuhan, ambillah persembahan kami
(Mada Bakti Kayaan, diterjemahkan ke bahasa Kayaan oleh Lusia Ping dari MB. Nogzy)
Risalah Dango
Puja-puji itu saya dengar ketika acara pembukaan Dango di Gereja Santu Antonius Dari Padua. “Dango” dan “Gereja”, ritual adat dan ritual agama, disandingkan.
Pesta Dango, awalnya merupakan pesta panen bagi masyarakat Kayaan. Secara mitologis, diterangkan oleh Huanajoo Ko Ana, adalah bentuk penghormatan kepada Hunyang Bulan (semacam Dewi Sri dalam mitologi Jawa) yang merelakan dirinya menjadi padi. Dalam perkembangannya, Dango bukan lagi sekadar tentang panen.
Ko Ana menjelaskan, “Dango juga merupakan doa, rasa terima kasih, kecintaan terhadap alam, dan simbol persatuan”. Penjelasan Ko Ana saya temukan juga di buku Apo Kayaan dan Di Pedalaman Kalimantan (Dr. Anton W. Nieuwenhuis, 1984).
Budaya Masyarakat Kayaan
Penjelasan Ko Ana dan referensi buku-buku tadi memperjelas konsep budaya dan sisi religi masyarakat Kayaan. Seni, sebagai sebuah ekspresi sekaligus representasi, menunjukkan bahwa budaya Kayaan tidak dapat dilepaskan dari hubungan sesama manusia, alam, dan Tuhan.
Tarian Pejuu Lasah dipimpin penari yang memegang Mandau. Artinya: pengeyahan marabahaya dan bencana. Tarian Anokiaa berisi tarian dengan memegang bersama-sama seutas kain: menunjukkan simbol keharmonisan dan persatuan.
Begitu pun dengan pakaian yang dikenakan. Para penari Pejuu Lasah menggunakan Tengkulas yang terdiri dari kepala dan ekor burung Enggang.
Aksesoris tersebut bermakna rasa terima kasih masyarakat Kayaan terhadap bantuan burung Enggang saat mereka tiba di hulu Sungai Kapuas dari Apo Kayan (sekarang masuk wilayah Kalimantan Timur). Ini jadi sebuah bentuk kecintaan dan penghormatan kepada alam.
Inkulturisasi Kebudayaan dan Kepercayaan
Ketika Khatolik masuk di sekitar tahun 70-an, tradisi dan kebudayaan mereka tidak tergerus. Justru, yang terjadi adalah asimilasi kebudayaan dan kepercayaan. Inkulturisasi, kira-kira begitu istilah ensiklopedi kebudayaannya.
Bentuk konkret inkulturisasi yang berlangsung kurang lebih seperti ini: masyarakat Kayaan terdahulu menganggungkan konsep spiritual pada tiga pilar, yakni Tenangan (pembagi rejeki), Tipang (pencipta), dan Tinge (pemelihara). Tiga pilar ini memiliki kemiripan dengan konsep trinitas gereja.
Trinitas Kayaan dan Gereja yang bermuara pada satu kekuasaan. “Ini jugalah yang memudahkan Kristen diterima di Kayaan,” ujar Pastor Suhardi. Dialah yang memimpin langsung acara pembukaan Dango di Gereja Gereja Santu Antonius Dari Padua.
Sebab itu, akhirnya tidak perlu heran, di gereja, lagu-lagu rohani dinyanyikan dalam bahasa Dayak Kayaan. Di gereja, tarian-tarian juga ditampilkan. Di kehidupan sehari-hari, mereka menjadi orang Kayaan sekaligus penganut Khatolik.
Makan Gak Makan (Babi) Asal Kumpul
Semangkuk sup babi dihidangkan di depan saya, pada acara Dango di rumah Betang, saat jam makan siang. Dengan sengaja. Padahal, dia yang menyediakan, tahu bahwa saya tidak memakannya.
Jefri namanya. Bukan orang Kayaan, melainkan seorang diakon (asisten pendeta Khatolik) yang sedang bertugas di desa Ida’ Beraan.
“Kalau Rojay makan babi, saya makan juga,” ujarnya. Seketika saya tahu bahwa ia sedang bercanda. Sekaligus, saya juga tahu bahwa ia tidak memakan Babi, entah karena memang begitu syarat menjadi seorang diakon, atau karena itu pantangan buat dirinya sendiri.
Maka, saya ambil sup babi yang lain, dan saya hidangkan di hadapannya persis seperti yang ia lakukan kepada saya.
“Ayo kita makan, bersama,” tantang saya.
“Kalau tidak makan Babi di Dango, tidak sah Dangonya.” Seorang kenalan warga asli yang berada di sekitar kami memanas-manasi.
Saya angkat sup babi saya. Diakon Jefri angkat sup babinya. Dekat bibit, gerakan terhenti, dan kami tertawa. Mereka yang menyaksikan tingkah laku kami, turut tertawa. Sup kami berdua, akhirnya berpindah ke hadapan para penikmat babi sejati.
Asupan saya berganti menjadi hidangan non-babi. Dalam acara Dango (dan acara Dayak yang lain sebagaimana saya ketahui nantinya di perjalanan-perjalanan yang lain), selalu disediakan dua jenis hidangan, yang mengandung babi dan yang tidak.
Mengamalkan Perbedaan Keyakinan dengan Keceriaan
Biasanya, pesta ritual apapun, termasuk acara naik panen, selalu mengundang desa-desa tetangga. Di antara tamu undangan, ada yang beragama Islam. Di Dango Kayaan , mereka turut mengundang Desa Sambus yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
Selama acara makan-makan, tidak ada sekat, yang makan babi dan yang tidak makan babi duduk bersisian, berdampingan, berdempetan. Usai makan, ada unjuk tari-tarian.
Masyarakat muslim Sambus menampilkan Tari Jepin (tari khas suku Melayu). Sorak-sorai setiap yang hadir mengiringi.
Usai Dango, semua kembali ke kehidupan masing-masing. Saya kembali ke kota, makan indomie lagi, menonton televisi lagi, dan scrolling hape lagi.
Aneka peristiwa di tempat antah berantah terhubung kembali dengan saya. Tawuran, penyitaan buku, keributan sengit gara-gara beda penafsiran ayat kitab suci, kafir-mengkafirkan, ini itu lainnya.
Saya tertawa. Usai tertawa yang nyaris terbahak, saya merenungkan kata-kata Mamak. Ia adalah seorang Kayaan, penganut Khatolik namun bersuami muslim.
Selama satu minggu di tengah masyarakat Kayaan, rumahnya sering saya santroni untuk numpang makan malam. Ia bahkan ngomel-ngomel jika saya tidak datang.
Mamak bercerita pada saya, “Mayoritas di sini Khatolik, yang muslim cuma sepuluh KK (Kepala keluarga). Tapi, tidak pernah kelahi. Untuk Dango, kita sama-sama kerja. Tidak apa-apa beda iman. Semuanya kan niatnya sama. Menyembah Tuhan. Mau masuk surga.”
Mamak tidak bersekolah tinggi. Jarang keluar dari desanya. Hidup di rumah papan. Ruangan di rumahnya tidak lebih dari ruang tamu, tengah, dan dua kamar.
Masakannya sederhana, namun nyaman. Ketika bercakap dengannya, seolah saya telah mengenalnya cukup lama. Ia selalu ramah….
Jika memang agama diwahyukan untuk manusia dan bukan manusia untuk agama, maka salah satu ukuran baik-buruknya sikap hidup beragama adalah dengan menggunakan standar dan kategori kemanusiaan, bukannya ideologi atau sentimen kelompok -Komaruddin Hidayat.
*Acara Dango Kayaan dalam tulisan ini dilaksanakan pada tahun 2012, di Desa Ida’ Beraan, Kabupaten Kapuas Hulu.
Discussion about this post