
Menara jam yang menjulang dari gedung Bukit Asam Unit Penambangan Ombilin mengingatkan pada bangunan-bangunan balaikota di Eropa.
Arsitekturnya yang monumental menjadikan gedung ini sebagai salah satu penanda utama kota Sawahlunto.
Bila mengibaratkan sebagai tubuh manusia, gedung administrasi tersebut adalah otak yang mengatur seluruh kegiatan penambangan. Gedung ini dahulunya menyimpan rapi catatan 5000 pekerja tambang dalam bentuk kartu untuk setiap kuli.
Saat kuli tiba di lokasi penambangan, mereka akan dibuatkan kartu yang berisi durasi kontrak, catatan upah, dan absensi pekerja. Di gedung adminstrasi ini keuangan perusahaan dihitung, termasuk besaran upah para kuli kontrak yang dibagikan setiap 14 hari.

Gedung administrasi ini juga menyimpan arsip gambar yang berhubungan dengan mesin dan bangunan, serta peta topografi tambang yang dibuat secara akurat.
Gedung ini juga memiliki laboratorium penelitian batu bara untuk menjamin mutu batu bara yang akan dipasarkan (Van Lier, 1917;65-68).
Kantor tersebut menjadi saksi atas pergantian pengelola tambang Sawahulunto. Pada zaman Jepang, gedung ini ditempati Hokkaido and Steamship.Co.Ltd.
Anak perusahaan Mitsui Company yang diberi izin oleh pemerintah Jepang untuk mengelola tambang batu bara yang ditinggalkan Belanda. Saat ini, gedung ditempati oleh Perusahaan Bukit Asam Unit Penambangan Ombilin.
Tambang batu bara sebesar Sawahlunto tentu membutuhkan banyak tenaga manusia untuk menjalankannya, baik sebagai tenaga ahli maupun kuli kasar.
Jajaran tenaga ahli yang sebagian besar diisi oleh orang Eropa terdiri dari insinyur, ahli mesin, staf administrasi, peneliti, dokter, dan lainnya.
Pada awalnya, perusahaan sempat kesulitan untuk mendapatkan tenaga ahli. Mengingat tambang bukanlah sektor perekonomian unggulan baik di Belanda maupun di Hindia-Belanda.
Sementara itu, tenaga kasar secara etnis terdiri dari orang Melayu dan Jawa. Sama halnya ketika mendapatkan tenaga ahli, proses pencarian tenaga kasar juga menemui kendala. Masyarakat sekitar tidak berminat untuk bekerja di sana.
Tenaga kerja perusahaan tambang Ombilin

Karena itu, perusahaan tambang mendatangkan tenaga kasar dari daerah lainnya. Mereka diberi durasi kontrak kerja dimulai dari tanggal kedatangan ke Sawahlunto dan berakhir tiga tahun berikutnya tepat pada tanggal yang sama dengan tanggal kedatangan.
Saat tiba di Padang, mereka dikarantina terlebih dahulu selama beberapa hari di pelabuhan sebagai antisipasi membawa penyakit menular. Setibanya di Sawahlunto, mereka sekali lagi diperiksa kondisi jasmaninya di rumah sakit (Van Lier, 1917 ; 60-61).
Perusahaan tambang batu bara Ombilin juga mengambil pekerja dari narapidana buangan yang diberi hukuman kerja paksa. Mereka inilah yang dikenal sebagai ‘Orang Rantai’ karena selama bekerja mereka dirantai satu sama lain supaya tidak kabur.
Salah satu narapidana yang dijatuhi hukuman kerja paksa di Sawahlunto adalah Samin Sursentiko, pelopor ajaran Samin yang berkembang di daerah Blora, Jawa Tengah.
Pengerahan tenaga kerja dari berbagai tingkat keahlian yang dibutuhkan untuk penambangan di Sawahlunto berimbas kepada munculnya permukiman untuk para tenaga kerja di dekat lokasi tambang.
Hierarki permukiman pekerja

Seluruh tempat tinggal pekerja disediakan oleh perusahaan dalam suatu hierarki. Permukiman pekerja di Sawahlunto secara jelas memperlihatkan perbedaan status sosial dalam lingkungan tambang.
Pegawai yang memiliki kedudukan tinggi di perusahaan menempati rumah yang dirancang dengan baik dan sarana yang lengkap.
Berbanding terbalik dengan para kuli yang tinggal bersama di dalam barak atau tangsi dengan fasilitas seadanya. Di dalam barak tersebut, mereka tidur berjejer di ruang memanjang tanpa sekat.
Sama sekali tidak ada ruang privasi. Mereka tinggal berkelompok di tempat yang sudah ditentukan perusahaan untuk memudahkan pengawasan.
Semenjak tahun 1915, perusahaan tambang mulai membenahi hunian para pekerja jadi lebih layak tinggal dengan mengeluarkan anggaran sebesar 600.000 gulden.
Demi menghemat biaya, material bangunan seperti batu-bata dibuat di dekat lokasi proyek. Sementara kayu dikirimkan dalam bentuk gelondongan mentah yang dipotong jadi balok dan papan di lokasi proyek.
Kuli kontrak yang membawa keluarga ke Sawahlunto disediakan perumahan tersendiri. Memiliki ukuran yang lebih kecil dari rumah untuk pejabat tambang, tapi setidaknya lebih layak dibanding barak dari bambu.
Rumah ini terdiri dari kamar tidur, dapur kecil, teras depan, pekarangan, dan kandang ayam. Kegiatan mandi dan mencuci dilakukan di sumur komunal.
Bagi kuli kontrak yang masih membujang mereka tinggal bersama di barak-barak. Sementara untuk kuli yang berstatus sebagai narapidana mereka tinggal di rumah tahanan (Van Lier, 1917;58-59).
Berbagai sarana berupa rumah yang diberikan kepada pekerja, baik itu kuli kasar maupun pegawai tinggi sepenuhnya milik perusahaan, mereka tidak memiliki kebebasan pribadi untuk merombak.
Selain rumah pegawai perusahaan, di Sawahlunto perusahaan juga mendirikan rumah tinggal untuk pegawai dinas pemerintahan.
Dapur umum perusahaan tambang
Dalam Ordonantie Colie, perusahaan tambang wajib memenuhi kebutuhan pangan dan kesehatan yang layak bagi kuli kontrak.
Menurut cara kerja kapitalisme, kegiatan produksi tambang tidak akan berjalan lancar ketika para kuli dibiarkan bekerja dalam keadaan perut kosong atau tidak sehat fisiknya.
Museum Gudang Ransum yang menempati bekas dapur umum tambang dapat menggambarkan bagaimana perusahaan tambang mengenyangkan perut lebih dari 5000 pekerja pada zaman dahulu.
Bukanlah perkara mudah untuk memasak makanan dalam porsi besar dengan waktu sesingkat mungkin. Gudang penyimpan, pabrik es, penggilingan padi, dan rumah pemotongan hewan dibangun berdekatan dengan dapur supaya bahan pangan mudah diperoleh.
Sekitar 100 pegawai kerja setiap harinya untuk memasak 3900 kilo beras, daging, telur, sayuran, dan lainnya. Demi mendukung kegiatan masak dalam porsi besar, peralatan dibuat berukuran besar, seperti periuk logam yang mampu menanak nasi hingga 60 wadah.
Kendati sederhana, menu tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi pekerja. Pada hari-hari istimewa seperti hari ulang tahun ratu Belanda, mereka mendapat tambahan makanan, semacam kue bolu (Van Lier, 1917;62).
Rumah sakit untuk pekerja

Fasilitas lainnya, untuk menjaga kesehatan jasmani para kuli, didirikan rumah sakit yang mampu merawat 600 hingga 800 pasien. Pegawai rumah sakit terdiri dari seorang dokter Eropa sebagai kepala, 4 dokter dari Jawa, sejumlah ahli bedah, dan perawat.
Para tenaga kesehatan ini secara rutin memantau para kuli untuk memastikan tidak terinfeksi oleh cacing tambang. Memiliki fasilitas lengkap dan tenaga terlatih, rumah sakit tersebut jadi yang terbesar dan termaju di wilayah pedalaman Sumatera Barat.
Rumah sakit ini jadi rujukan bagi masyarakat lainnya. Keterbatasan lahan menyebabkan rumah sakit tersebut didirikan di lereng bukit yang tidak rata tanahnya (Van Lier, 1917;63).
Kota Sawahlunto berkembang menjadi kota tambang

Dalam beberapa tahun, Sawahlunto yang semula hanyalah lembah persawahan nan sunyi, berubah menjadi kota tambang yang berkarakter unik.
Salah satu ciri utama kota tambang adalah lokasinya yang ditentukan berdasarkan potensi sumber daya. Bukan hal aneh bila kota tersebut terletak di tempat yang terpencil dan sulit untuk dibangun (Bell,2002; 27-28).
Berkat perencanaan yang cermat dan matang, kota Sawahlunto akhirnya sanggup berkembang. Memiliki beragam fasilitas umum seperti hotel, sosieteit, koperasi, dan permakaman.
Keberadaan Hotel Ombilin yang dibangun pada tahun 1918 menunjukan bahwa Sawahlunto sudah jadi tujuan persinggahan orang-orang luar. Meskipun, tamu hotel kebanyakan adalah pegawai pemerintah, insinyur tambang atau inspektur.
Gedung Sociëteit Gluck Auf dibangun pada tahun 1910 sebagai oase hiburan di tengah kota yang terkungkung lembah. Selepas bekerja, pegawai dari kalangan Eropa dapat berkunjung ke gedung yang namanya diambil dari salam penambang Jerman tersebut.
Mereka saling bersosialisasi dan berkumpul atau menghibur diri dengan berdansa, bernyanyi, dan menonton pertunjukan.
Sementara itu, koperasi Ons Belang dibuka tahun 1920 oleh perusahaan tambang sebagai tempat menyediakan barang dengan harga wajar dan pasti.
Koperasi ini menjadi penyelamat pekerja dari ulah pedagang pasar yang acap menaikan harga secara mendadak. Saat hari pembayaran upah tiba menyulitkan pekerja yang berniat untuk menabung.
Keberadaan suatu permukiman, diikuti dengan tempat pemakaman. Di Sawahlunto, orang-orang Eropa dimakamkan di permakaman khusus orang Eropa atau Kerkhof yang ada di punggung bukit. Sayangnya makam-makam di Kerkhof tersebut sudah banyak yang hilang prasastinya.
Sementara itu, para kuli dikuburkan di sembarang tempat dan diberi penanda berupa patok yang hanya memuat nomor registrasinya.
Semarak penambangan batubara di Sawahlunto telah mengundang orang dari berbagai tempat, suku, dan etnik, untuk tinggal kota ini.
Mereka berbondong-bondong datang ke sini bukan sebagai penambang, melainkan sebagai pedagang yang menjual kebutuhan untuk penduduk Sawahlunto.
Berbagai peninggalannya masih ada seperti gedung komedi yang dibangun Sian Seng Wong A Lan pada 1917. Kemudian terdapat sebuah rumah keluarga Pek Sin Kek yang memiliki bentuk khas.
Gereja Santa Barbara di kawasan tambang batu bara Ombilin

Sebagian besar pegawai Eropa di Sawahlunto berasal dari kota Limburg, kota di Belanda yang mayoritas penduduknya beragama Katolik.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan rohani pegawai Eropa yang kebanyakan beragama Katolik, perusahaan tambang batubara Ombilin mendirikan gedung gereja yang kini dikenal sebagai Gereja Santa Barbara.
Para pastor dari Padang sejak tahun 1912 diutus secara teratur ke Sawahlunto untuk memberi pelayanan rohani kepada penduduk Eropa.
Saat itu, para pastor belum menetap di Sawahlunto, karena sedikitnya tenaga rohaniawan dan minimnya anggaran untuk biaya hidup para pastor tersebut di Sawahlunto.
Pastor pertama yang melayani di Sawahlunto adalah Pastor Mattheus de Wolf, Pastor Dionisius Pesssers, dan Pastor Rupertus Verbrugge.
Para pastor datang setidaknya empat atau enam kali dalam setahun. Karena saat itu belum ada gedung gereja di Sawahlunto, maka ibadah dilakukan di gedung sosieteit dan kantor administrasi tambang.
Perusahaan tambang lalu menyumbang dana untuk pembangunan gereja dan akhirnya gereja tersebut ditasbihkan pada 27 November 1920 oleh Mgr. Cluts.
Di tengah profanitas hiruk pikuk penambangan batu bara. Gereja bergaya Neo-Gotik tersebut memberi kedamaian spiritual bagi umat Katolik di Sawahlunto.
Pada tahun 1937 gereja ini sudah memiliki 450 umat, terdiri dari 250 orang Eropa dan 200 orang Tionghoa.
Tonggak pertama misi Katolik di Sawahlunto
Selain gereja, dibangun pula pastoran sebagai tempat tinggal pastor untuk dapat tinggal lebih lama di Sawahlunto dan menjalankan karyanya lebih maksimal.
Pada 1921 Pastor L. Woestenberg membuka pastoran yang juga digunakan sebagai sekolah untuk anak-anak Tionghoa.
Berselang enam bulan kemudian sekolah tersebut membaptis delapan siswa dan jadi tonggak pertama misi Katolik di Sawahlunto.
Demi menghormati masyarakat pribumi, maka kegiatan penyebaran agama Katolik dibatasi untuk kalangan Tionghoa di Sawahlunto.
Pada 1 Oktober 1925, para biarawati Fransiskan mulai menetap di Sawahlunto untuk membantu karya Pastor L. Woestenberg.
Seturut dengan peningkatan jumlah murid, dibangun gedung sekolah yang berada di samping susteran. (Anonim, 1937; 16-17).
Titik nadir kejayaan tambang batu bara Sawahlunto
Berkah batu bara di lembah Ombilin telah mengubah suatu lembah antah berantah jadi suatu kota dengan suasana yang tidak lazim di Minangkabau.
Selepas Belanda pergi, proses penambangan masih dilanjutkan oleh perusahaan tambang yang dinasionalisasi oleh pemerintah RI pada tahun 1950 dan kini dikenal sebagai Bukit Asam (Persero).
Sayangnya, kemakmuran dari suatu kota tambang umumnya tidak dapat berumur lama. Dengan berlalunya waktu, cadangan batubara mulai menyusut dan jikapun masih ada cadangan besar, butuh eksploitasi dengan biaya yang lebih besar.
Belum lagi kegiatan eksploitasi tambang sangat bergantung pada permintaan pasar yang tidak menentu, apalagi saat ini sudah ada sumber bahan bakar yang lebih bersih dibanding batu bara.
Kegiatan penambangan lambat laun mulai meredup sementara perekonomian ikut merosot. Ketika proses penambangan berhenti sama sekali, maka kota tersebut mulai memasuki titik nadirnya.
Situs Warisan Budaya Dunia
Penduduk mulai meninggalkan kota. Fasilitas yang telah dibangun dibiarkan terbengkalai atau dijual. Kejayaan tambang batu bara Sawahlunto memang telah berlalu, namun bukan berarti riwayat kota ini usai.
Kehidupan kota Sawahlunto terus berjalan dengan mengubah haluan perekonomian. Kini bukan batu bara lagi yang jadi andalan utama Sawahlunto, melainkan sektor pariwisata yang menawarkan kekayaan peninggalan sejarah tambang batu bara.
Sejak tahun 2005 pemerintah melakukan sejumlah pemugaran terhadap peninggalan sejarah untuk mendukung sektor wisata di Sawahlunto.
Setelah redup sekian lama, kota yang lahir dalam semangat zaman uap tersebut kini kembali membara dengan statusnya sebagai Warisan Dunia yang resmi disandang sejak tahun 2019. Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto resmi masuk daftar Situs Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO.
Status yang disandang tersebut tentu bukan sekadar kebanggan semata, namun juga semacam tanggung jawab yang lebih besar. Melestarikan warisan budaya di Sawahlunto yang kini nilai pentingnya tidak hanya diakui oleh bangsa Indonesia saja namun juga oleh dunia.
Referensi
Anonim. 1937. Vijf en Twintigjaar Padang-Missie
Anonim. Nederlansch Indische Staatspoor en Tramwegen. Nederlands Welvaart.
Bell, Peter. 2002. “The fabric and structure of Australian mining settlements” dalam Knapp, Bernard. A, dkk (ed). Social Approaches to an Industrial Past. London : Routledge
Ir. A. Guyot van Der Ham. Het nieuwe zeefhuis der Ombilinsteenkolenmijnen te Sawah Loento dalam De Ingeneur 28 Agustus 1926 no. 35 halaman 724-729.
Ir. R.J. Van Lier. 1917. De Steenkolenindustrie. Haarlem : H.D. Tjeenk Willink & Zoon.
Greve, W.H. de. 1907. Het Ombilin-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra Westkust. Batavia : Landsdrukkerij.
Foto sampul artikel oleh Ilham Ferdiansyah




























Discussion about this post