Gara-gara monster-monster kecil melanda dunia
“Pak, jadinya kita wisuda enggak, sih?” Jawaban saya, “Duh belum tau euy. Belum ada info”.
Sejak tahun 2014, saya sudah banyak membimbing anak-anak melewati Tugas Akhir dan Skripsi.
Ada rasa lega setelahnya. Apalagi melihat mereka diwisuda. Tapi, tahun ini sangat berbeda.
Gara-gara monster-monster kecil melanda dunia, semua kampus di dunia termasuk Indonesia gagal melaksanakan wisuda secara fisik.
Bahkan, beberapa kampus mengambil inisiatif dengan menggelar wisuda secara daring. Tentu akan dan banyak hal yang hilang.
Sebelum semua kejadian ini, wisuda sebetulnya boleh jadi pilihan. Silakan ikut jika mau, jika tidak, sudah tentu orang tuamu akan cemberut.
Karena, bagi orang tua, wisuda lebih dari sekedar perayaan. Wisuda adalah sebentuk kebanggaan yang sulit dilisankan melalui kata-kata.
Wisuda dan Toga
Kata wisuda diduga berasal dari kata Sanskrit, vishuddha yang berarti murni (pure). Bisa jadi, merujuk pada makna ‘termurnikan’, ‘tercerahkan’, dan ‘tersucikannya’ wisudawan dan wisudawati setelah bergulat mati-matian menyimak ragam ilmu selama kuliah.
Ketika diwisuda, kita menggunakan busana khas yang disebut toga. Busana ini berasal dari Yunani/Romawi Klasik.
Jika kita doyan mengonsumsi filsafat, mudah sekali membayangkan para filsuf macam Socrates dan Plato menggunakannya—juga para diktator sableng macam Nero dan Caligula.
Kata toga sendiri berasal dari bahasa Latin tegere yang artinya penutup atau menutupi (to cover).
Pada mulanya, orang-orang Yunani/Romawi mengunakan toga sebagai busana sehari-hari. Kemudian entah bagaimana caranya menjadi busana wajib dalam acara formal.
Toga didominasi warna gelap yang konon menjadi simbol bahwa kita telah menyingkap ‘misteri’ kehidupan, dalam konteks ini melalui ilmu pengetahuan.
Warna gelap tidak selalu berkonotasi negatif. Bahkan, bagi Sulthonul Aulia Syekh Abdul Qadir al-Jailani warna hitam adalah simbol pendakian spiritual sebelum dapat mencicipi indah kebenaran.
Menurutnya, siapapun yang hendak mencari kebenaran (Tuhan) akan melalui ‘kegelapan’ ini.
Konsep masagi pada bentuk topi toga
Busana toga dilengkapi dengan topi yang kebanyakan berbentuk persegi. Saya teringat konsep masagi.
“Masagi” adalah filosofi Sunda yang singkat dan padat, tapi memiliki makna mendalam. ”Jelema masagi” artinya orang yang memiliki banyak kemampuan dan tidak ada kekurangan (Natawisastra, 1979; Hidayat, 2005).
Masagi berasal dari kata pasagi (persegi) yang artinya menyerupai (bentuk) persegi. Dalam menerapkan filosofi kehidupan, manusia yang berusaha “masagi” telah mampu memadukan semua pengalaman serta ilmu pengetahuan yang memiliki sisi berbeda.
Sederhananya, sifat-sifat manusia dapat mengejawantah dalam masagi yang laku-lampahnya konsisten menuju keparipurnaan yang berguna bagi umat manusia.
Apa yang dirayakan, setelahnya?
Dalam wisuda yang dirayakan adalah sukacita, tapi ada juga duka lara. Sisanya adalah rasa lega.
Ucapan selamat, karangan bunga, foto bersama, dan mungkin kecupan manis dari orang terkasih. Semuanya akan menjadi momen yang sulit untuk dienyahkan dari ingatan.
Wisuda online pun saya rasa akan menjadi sesuatu yang sulit untuk dilupakan. Betapa tidak, mereka yang mungkin diwisuda online akan jadi bagian dari sejarah.
Tapi nyatanya jadi bagian dari sejarah tidak semengasyikan membaca A Little History of the World-nya E. H. Gombrich.
Wisuda adalah selebrasi dan selebrasi idealnya dilakukan dalam kebersamaan yang semarak. Sangat berbeda rasanya ketika kita diwisuda secara online.
Satu hal yang amat pasti: wisuda bukan akhir dari ‘tugas’ kita. Namanya juga selebrasi. Hanya sekilas saja. Setelahnya, ada banyak hal yang wajib harus kita tunaikan—termasuk membahagiakan orang-orang tersayang.
Dan yang paling penting saya kira adalah menjaga nalar dalam arus kehidupan yang nantinya akan semakin hardcore
. Obatnya, barangkali adalah jangan terlalu risau karena jika telah datang waktunya segalanya akan baik-baik saja—yang terpenting asa tetap dijaga, usaha selalu digerakan, dan doa selalu dipanjatkan.
Discussion about this post