Sebelumnya Baca: Air Kehidupan di Kota Timika (Babak I Bag VIII)
“Ringankan Tangan”, idiom yang saya pegang ketika berkelana di kota Timika. Selama menganggur 3 pekan lebih saya sempat singgah di Viking Korwil Timika.
Singkat cerita, beberapa saat sebelum menyandarkan ransel di tempat itu, 26 Februari 2019, saya tinggal di kediaman Papa Rendy, lalu sempat juga bermalam di mes kantor Kang Irawan, Jl. Perjuangan No. 9, Timika.
Saya petik semua kebaikan orang-orang yang bersedia repot, jadi bumbu perjalanan dari semua keterbatasan yang dimiliki.
Pertemuan dengan Pace Anton, orang baik yang ketika itu terlampau cepat rela memberikan uluran tangannya kepada saya. Atau, selintas kisah berkesan keluarga Omah Teresia ketika mengenalkan saya dengan pace di pelabuhan Pamoko.
Kilas Balik, Perpisahan dengan Pace Anton
Semua alur seperti sudah disediakan oleh Tuhan kepada saya, setiap liku jalan, permasalah, dan solusi menyatu dalam wujud manusia, masuk mengisi meluruskan langkah perlahan menuju tujuan.
Saya mesti berpamitan dengan Pace Anton, usai obrolan panjang dari mulai fajar mengintip hingga senja tiba, semua hembusan waktu bagi saya adalah artefak yang menyimpan kisah bersejarah. “kita bertukar nomor handphone ya mas,” dengan disisipi amanat saat kami berada di teras depan rumah yang memiliki halaman luas dengan pohon tua yang rindang.
“Kalau ada apa-apa tra usah sungkan-sungkan eeh kabari saja mas, padahal tra apa-apa sudah tinggal di rumah sa dulu,” ujarnya di sore itu.
Ransel sudah di posisinya ketika saya menunggu Papa Rendy, anggota Viking Timika, orang yang diamanatkan untuk menjemput saya. “Sebelumnya terimakasih banyak pace, teman sudah di jalan mau ke sini,” ujar saya sambil mengenang. Pace Anton sudah memberi informasi lebih dari cukup untuk saya mengenai kondisi PTFI.
Tidak lama, Papa Rendy sampai di halaman rumah Pace Anton di SP 3, kebetulan ia tinggal satu komplek dengan Pace Anton. Dari arah rumah Pace hanya tinggal menuju perempatan SP 3.
Motor membawa kami sampai mentok bertemu pagar pepohonan, beralaskan krikil berbalut hijaunya rerumputan, hanya menyisakan satu belokan ke arah kanan saja, letak rumah Papa Rendy.
Nostalgia Berbahasa dengan Teman Sesuku di Kota Timika
Sementara, sampailah saya di rumah Papa Rendy, seorang laki-laki Asli Garut. Saya dipersilahkanya masuk. Segelas air putih dan kopi panas mengantarkan kami pada obrolan renyah. Saya serasa baru terbangun dari rindu akan bahasa ibu yang nun jauh di kampung halaman.
Nikmat pisan pokona mah ngobrol teh lur, nampol, langsung inget kampung jeung asa siga di lembur weh. Langsung akrab mah pasti kasarna mah panggih dulur di lembur batur teh that’s true, enya oge lain dulur asli (nikmat sekali berbincang, rasanya nendang kawan, langsung teringat kampung halaman yang jauh di sana, serasa di kampung saja, langsung akrab itu pasti, istilahnya bertemu saudara di kampung orang itu nyata, walau bukan saudara asli).
Salah satu hal yang paling saya suka ketika berkelana adalah kenikmatan berbahasa saat berjumpa teman sesuku. Mendapat beragam nonstalgia bersama mereka. Begitupun sebaliknya, mereka juga merasa tersentuh dengan hal itu.
Beberapa dari mereka kadang ada yang hampir lupa cara berbincang dengan bahasa daerah sendiri. Tidak heran saya sering dapat permohonan maaf, kalau-kalau bahasanya kasar.
Obrolan kami pun berlanjut dilanda rasa penasaran ingin tahu banyak mengenai cerita kedatangan saya hingga bisa sampai di tanah Timika. Kemudian, ceritalah sedikit tentang kesukaan saya berkelana tanpa bergantung dengan nominal uang, hingga pada suatu penggalan kisah, di malam yang bermusikan melodi alam cerita saya terpotong di Titik Nol KM Indonesia, Sabang.
Acil, Kawan Ketika di Aceh jadi Penghubung Keakraban
Papa Rendy menyebutkan nama salah seorang kawannya, “lamun maneh mah pasti apal geura ka budak ieu, si eta sarua oge jelemana mah siga ente” (kayanya kamu pasti tahu anak ini, dia orangnya mirip kaya kamu),” ujarnya. “Saha mang ngarana?” (siapa namanya mang) tanya saya penasaran.
Ia berusaha mengingat sebentar, sambil mengambil gawainya, lalu dikasih lihat ke saya sambil menunjukkan wajah temannya di akun media sosial, “tah ieu mang budakna, ngarana si Acil, tapi budak vespa si eta mah mang,” (nah ini dia anaknya mang, namanya Acil, cuman dia itu anak vespa bro) jelasnya.
Tawa pun pecah setelah Acil berhasil jadi pengantar keakraban kami. Sesudah ia tahu, saya kenal dan pernah bertemu dengan Acil di Aceh, “babaturan kumaha ieu ente jeng si Acil mang?” (teman bagaimana kamu sama acil mang) tanya saya.
“Wah si Acil mah cs pisan ti leutik nepi ka SMA sakelas, sabangku terus, ulin kamamana bareng, ah pokona mah cs pisan weh Den. Harita si eta oge ngajak urang gegembelan Den, anjir ngan urang loba mikir bahaeula teh, teu kawas budak eta, hajar-hajar weh si eta mah” (Wah si Acil itu cs berat dari kecil sampai SMA satu kelas, satu bangku terus, main ke mana-mana bareng, pokoknya mah cs berat deh Den. Dulu si acil ngajakin saya menggembel pakai vespa, tapi cuman saya dahulu banyak mikir tuh, nggak mirip anak itu, main hajar tanpa pikr dia mah), terangnya sambil mengenang momen ke belakang di malam bernadakan tarian nyamuk.
Saat sedang asik bertukar cerita, Papa Rendy menanyakan jam. Waktu Timur memang terasa cepat, membuat heran, sudah mau dini hari lagi. Malam menyudahi awal pertemuan, lagipula kami mesti istirahat.
“Mang kelambu ngan aya hiji uy, teu nanaon teu make kelambu mang” (mang kelambu cuma ada satu nih, nggak apa-apa nggak pakai kelambu).
Papa Rendy buang suara sambil mengeluarkan kasur satu badan dengan bantal dan sarung. “Akh teu nanaong mang kaleum, angguran mah urang hampura geus ngarepotkeun mang” (dah nggak apa-apa, santai, justru saya minta maaf sudah bikin repot) timpal saya.
“Akh henteu kaleum, kawas jeung saha wae ieu mah, eh enya urang poho Den, sok weh bisi rek nyieun kopi deui mah nyieun weh soranganya, kopi jeng gulana di dapur“ (dah santai, kek sama siapa aja, eh iya saya lupa Den, silahkan kalau mau bikin kopi lagi yah, bikin sendiri saja, kopi sama gulanya di dapur) timpalnya sambil menekankan banyak keringanan selama tinggal di rumahnya.
Saya berkontemplasi di kala sendiri, berusaha memahami perbedaan waktu dua jam di tempat ini dengan pulau Jawa. Di timur Indonesia saya mulai merasa orang-orang kehilangan waktu terlalu cepat. Belakangan saya sadar, pusat hiburan dan informasi yang disajikan media, semua berpusat di Waktu Indonesia Barat. Tentu kami di sini, mengalami jeda 2 jam dari waktu tersebut.
Pagi-pagi sekali Papa Rendy berangkat kerja ke Kuala Kencana. Saat saya bangun di pagi hari ia sudah tidak ada di rumah, kebetulan istrinya sedang berada di kampung.
Tiga hari saya berlaku seperti di rumah sendiri, hal semacam ini sudah melekat erat menempatkan diri di manapun berada.
Bertukar Sudut Pandang dengan Teman Sesama Perantau
Selama ia bekerja, ketika sendiri, kadang saya kedatangan kawan, salah satunya bernama Sandro tetangga Papa Rendy yang kerap bercerita tentang kampung halamanya di Flores, NTT.
Di usia yang masih muda ia sudah mengadu nasib di kota Timika. Tujuanya sama, yaitu PTFI, sampai ia menceritakan baru mengurus surat pindah kemarin.
KTP jadi hal utama di Papua. Pemerintah daerah di sini memprioritaskan melayani putra daerah. Tapi tidak sepenuhnya juga, masih sering terdengar selintingan kabar, putra daerah susah mendapat akses relasi untuk pekerjaan.
Di sisi lain, tak jarang para pendatang memiliki jalur ajaib, kebiasan jelek tradisi di Pulau Jawa menepi juga di Papua, itu yang saya dapat dari cerita Sandro.
Ia tinggal menunggu kabar kerabat jauhnya yang bekerja di Kuala Kencana, apa pun itu pekerjaan di awal yang penting bisa masuk terlebih dulu. Namun sudah beberapa bulan kabar gembira tak kunjung datang.
Kerabat Sandro juga membicarakan hal yang sama, ia bisa masuk diterima, melalui perantara saudara yang sudah bekerja lama. Tapi cuma bertahan satu tahun saja, alasanya lebih memilih pekerjaan serabutan setelah menimbang resiko yang berurusan dengan safety, ceritanya ini saya dapat saat di halaman rumah tempat Sandro tinggal.
Hal semacam itu saya temui di dalam buku Bakti Pamong Praja Papua. Marthin Senandi mengungkapkan, “Pendidikan para generasi muda Papua cukup hanya dalam pelamaran pekerjaan, misalnya kalau mereka ikut tes (kepegawaian), mereka tidak diluluskan. Para pendatang karena mempunyai relasi dengan pemimpin, mereka diterima. Ini sudah banyak saya alami, karena saya berkecimpung banyak dalam urusan kepegawaian. Jadi saya melihat ada permainan yang menyebabkan anak-anak kami menjadi penganggur” (E. Visser & Jose Marey, 2008-302).
Tidak banyak aktivitas yang saya lakukan selama tinggal tiga hari di rumah Papa Rendy. Ketika berjalan-jalan di sekitaran kompleks, saya memerhatikan masih jarang dibangun rumah-rumah.
Sangat kontras dengan di pulau Jawa, rumah dengan rumah berjarak rapat, padat. Bahkan ada yang satu tembok beton pinggiranya dijadikan satu dengan tetangga, hingga tak jarang lembab menghampiri ketika hujan turun.
Pepohonan yang rindang meneduhkan langkah dari sengatan pekat sinar matahari hingga ke depan jalan raya saat hendak membeli rokok, kios di kompleks ini ternyata tidak menjual tembakau yang biasa saya beli. Aktivitas hanya sebatas itu, berkeliling keluar rumah ketika kehabisan asap.
Pertemuan dengan Irawan
Malam itu katak bernyanyi saling bersautan, Kang Irawan kawan dari kerabat saya menelepon menyanggupi menjemput ke rumah Papa Rendy di Jl. SP 3 jalur 11. Kemudian saya kirim alamat via WA setelah mengetahui ia belum pernah ke sana.
Kang Irawan hanya sebentar singgah, masih ada urusan jelasnya, saat berbincang dengan saya dan Papa Rendy. Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju mes kantor tempat ia tinggal.
Sepanjang jalan berkendara saya berkisah, sebelumnya kami saling mengenal melalui kerabat saya, Faisal. “Eta aslina teu mekel ongkos geude nepi kadieu Den, eh Deni nya nami teh?” (beneran itu nggak bekal ongkos gede bisa sampe ke sini Den, eh Deni namanya yah?) tanyanya penuh keingintahuan.
“Muhun kang, abdi Deni, akh tos biasa ieu mah, duka resep weh, upami ieu perjalanan abi anu pang lamina kang hoyong dugi ka Papua teh” (Iya kang, saya Deni, Akh sudah biasa, nggak tau suka aja, kalau ini perjalanan terlama saya bisa sampai di Papua) timpal saya saat mobil baru keluar belokan pertama dari jalur 11 SP 3.
“Edan, salut, hooh abi dicaritakeun ku si Faisal pas nitipkeun Deni, engke aya dulur mihape heula ceunah ceuk si Isal teh, wargi jeung isal teh?” (Gila, salut, iya saya diceritakan oleh Faisal pas menitipkan Deni, nanti ada saudara, titip dulu kata Isal tuh. Kerabat sama isal?) Mobil mejalu kencang di tengah jalanan sepi nan gelap gulita.
“Muhun wargi teubih kang, mung seuret ti leutik weh sok mineung panggih keneh jeung Isal teh, pas masih cicing jeung indungna, tah indungna teh rairaka sareng pun bapak kang” (iya kerabat jauh kang, cuman pas kecil saja masih sering ketemu sama Isal sewaktu tinggal sama ibunya, ibunya kaka beradik dengan ayah saya kang) jelas saya beriringan dengan menepinya mobil.
Kang Irawan kemudian cerita mau bawa perlengkapan untuk acara besok, kawanan Viking buka stand. Sambil menyuruh saya turun dari mobil untuk ikut ke kerumunan yang di dalamnya urang Sunda semuanya.
Mereka kumpul dalam rangka mendata kebutuhan acara besok, malam itu kontan saya dikenalkan dengan semuanya. Saya jabati tanganya satu persatu, selepas itu berbincang ria. Semua terasa seperti di kampung halaman.
Menambah rasa bahagia di tanah perantauan. Seusai dari sana, di malam hari yang gersang kami tiba di kantor kerja sekaligus mes Kang Irawan. Saya tinggal di lantai dua beratapkan seng.
Pertemuan Singkat dengan Faisal
Hampir sepekan, pagi, siang, sore, dan malam saya merasa jadi parasit, selama menumpang hidup di Jl. perjuangan No. 9, kota Timika. PT Deka Pentra adalah salah satu perusahaan tambang yang berelasi dengan FTPI, tempat Faisal sebelum bekerja di PTFI.
Isal sapaan akrabnya, ia yang memenuhi kebutuhan saya selama beberapa hari ke depan layaknya keluarga. “Den-den”, saya dibangunkan pada pukul 06.00 WIT, ia kemudian berucap, “Den ieu mah hampura teu geude ngan ceuceupengan hungkul we jang rokok” (Den maaf ini mah nggak seberapa besar, cuman pegangan saja buat roko) sambil bergegas ia berdiri mendekati pintu, bersepatu katelpilar, pakaian wajib pekerja PTFI.
“Sok we sementara mah cicing didieu heulanya Den, ku urang geus dipihapekeun ka Irawan kalem we, urang gawe heula geus berang ngudag bus” (santai yah buat sementara mah tinggal di sini dulu ya Den, saya sudah menitipkan kamu ke Irawan, santai saja, saya berangkat kerja dulu, sudah siang ngejar bus), pesannya sambil mengecek-ngecek tas, jangan sampai atribut kerjanya ada yang ketinggalan. Saya bangun dengan berat hati mengambil uang yang sudah ia letakkan di dekat bantal.
“Eeh teu nanaon padahal mah kaleum we Sal” (dah nggak apa-apa, padahal mah santai saja Sal) timpal saya setengah bangun. “Ehh urang hampura aslina ieu mah, acan cair atuh da” (Ehh serius saya minta maaf, belum gajihan nih). “Ieu nuhun pisan atuh Salnya” (Ini makasih banyak yah Sal) saut saya sambil beranjak bangun.
Pada malam harinya saya bercerita banyak, mengenai kerabat-kerabat di kampung dan kondisi di rumah. Ia juga menceritakan, ayah saya menghubunginya menitipkan saya.
Faisal bekerja di PT. Deka Petra beberapa tahun silam selepas lulus dari SMA, kemudian setelah bekerja beberapa tahun, ia disarankan untuk ambil kuliah D1 pertambangan di Bandung. Seusai menyelesaikan kuliahnya barulah ia kembali ke kota Timika.
Sayang ketika itu, keingintahuan saya mengenai kisah pengalaman hidupnya selama di kota Timika, terhenti oleh waktu. Ia juga memberi kabar yang kurang menggembirakan bagi saya, waktu sedang tidak berpihak.
Minggu depan ia akan mengambil cuti selama 2 minggu. “Aslina arek ka Bandung Sal, aduhh ieu mah” (beneran pengen ke Bandung Sal, aduh) dengan sedikit penjelasnya saya dapat mengerti, para pekerja di PTFI memiliki sistem cuti yang berbeda dari perusahaan lainya. Lagipula apa hak saya?
Faisal Perantara Kabar Saya Kepada Orang Tua
Tiket keberangkatan penerbangan kota Timika – Jakarta sudah di tangan. Setiap pekerja di PTFI ketika mengambil jatah cuti, gaji tetap dibayarkan. Selalu ada rindu yang menanti di kampung halaman. Saya juga sekaligus titip pesan untuk kedua orang tua di rumah, memberi kabar sudah aman dan bertemu dengan Faisal.
Kembali pada perjalan ketika di Sorong, Faisal lah yang menambahkan kekurangan ongkos tiket kapal Sorong – Timika setelah keluarga di rumah memberikan nomor hp saya kepadanya.
Bapak menyarankan saya untuk pinjam uang dulu ketika itu, sepanjang perjalanan saya tidak pernah putus komunikasi dengan orang tua. Namun, kekhawatiran terbesar mereka muncul ketika saya di Sorong, padahal apa yang saya jalani tidak seperti yang mereka bayangkan.
Kemudian, ketika itu saya menekankan kepada orang tua, “muhun pa engkin ku Eni urang di cobian nambut heula artos ka Isal, tapi upami saena mah ku apa oge sakanteunan bantosanya nyarios ka Isalna”. (iya, pa, nanti sama Eni dicoba minjam uang dulu ke Isal, tapi baiknya bapak juga bantu bilang ke Isal) Mereda kekhawatiran mereka pikir saya, sehingga mesti berucap demikian.
Saat di Sorong saya masih merasa tenang dengan uang Rp100 ribu di kantong. Urusan makan bang Gun yang menanggung, ketika saya ikut kerja bantu-bantu. Bang Gun juga memberi saya lebih, ia menyelipkan uang ucapan terima kasih waktu saya berpamitan.
Kata-kata yang Menyinggung Emosi Saya
Selama tinggal di mes Deka Petra, tidak banyak aktivitas yang saya lakukan, hanya menghabiskan waktu bersama wifi, berselancar memutari luasnya Papua lewat Google Earth. Keluar sebatas makan Tempe Mendoan saja. Ditambah Faisal sudah pulang ke Bandung.
Di suatu sore, ketika jam makan, saya diajak duduk bersama karyawan di sana. Di awal saya mengobrol renyah dengan pakde asli Cirebon ditemani beberapa senior perusahaan lainnya. Mereka memberedel kisah saya lewat beragam pertanyaan.
Hingga merapat salah seorang duduk di dekat saya menyinggung mengawali perkara, “eta maneh nanaonan kikituan, mun urang mah mikir dua kali da, teu mawa duit leuwih, tujuana ka Papua, kota Timika deui Papuana” (itu kamu ngapain berbuat kaya gitu, kalau saya pikir dua kali deh, nggak bawa uang lebih, tujuannya ke Papua, kota Timika lagi Papuanya).
Mendadak tersulut emosi saya mendengar perkataan dari karyawan yang baru beberapa bulan ada di perusahaan ini. Belakangan, lebih sakitnya lagi saya tahu dari Kang Irawan, ia satu kampung halaman dengan saya.
Bukan tanpa sebab saya berani baku bicara menimpali semua kata-katanya. Apa yang terucap tidak setimpal dengan apa yang saya sukai dan perjuangkan yaitu berkelana. Susah-susah, tetap teguh menjaga mimpi yang berbeda dari orang kebanyakan. Sampai tiba saat indah ketika semesta sudah berpihak.
Pasalnya, ia mendominasi obrolan dan mengarahkan langsung kepada saya dengan satu arah. Menggurui dan seperti ingin menjatuhkan mental. Sedangkan saya sudah berada di Timika yang jauh dari kedua orang tua. Pakde kala itu yang menjadi penengah obrolan, mengambil inisiatif mengakhiri obrolan.
Tugu Perdamaian Eme Neme Yauware Meredakan Emosi
Sudah lima hari saya tinggal di mes ini, selama tinggal baru satu kali bertemu dengan orang mengaku satu kampung dengan saya itu. Tipikal orang yang paling tidak saya sukai, banyak menggurui tapi tidak memberi ilmu sama sekali.
Selama sepekan tinggal di sana hanya saya biasa menghabiskan sore dengan berjalan-jalan mengitari kawasan Timika Indah. Di sana terdapat tugu perdamaian Eme Neme Yauware. Benar-benar mendamaikan, ketimbang berbincang dengan orang yang hobi membual.
Menurut masyarakat setempat tugu ini yang menandai berakhirnya perang antar suku yang kerap terjadi di kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Di tugu tersebut terpatri, tahun 2004, tanda akhir dari bentrokan antar suku. Tugu ini memiliki motif ukiran khas Suku Kamoro, salah satu suku asli yang mendiami daerah pesisir pantai Kabupaten Timika.
Tidak jauh dari tugu. Langkah kaki berjalan menuju lapangan bola, terlihat pondok pinang berbaris dan pengrajin Noken. Hampir setiap sore tempat ini ramai, mulai dari anak muda yang nongkrong-nongkrong, main bola ataupun latihan.
Kota Timika sama seperti pusat kota-kota besar yang ada di Nusantara, bedanya orang-orang datang ke kawasan ini tidak untuk berwisata, kebanyakan tujuannya untuk mencari uang dan menetap.
Di lapangan saya biasa menghampiri masyarakat lokal yang sedang duduk-duduk berkumpul, kadang saya duduk sendiri di bangku papan panjang beratapkan terpal, di kanan dekat pojok gawang. Saat sedang duduk sering juga masyarakat lokal datang menghampiri dan membuka obrolan.
Pernah suatu sore saya bertemu dengan seorang Pace yang berkeluh dengan keadaanya yang sekarang, posisinya lagi tidak ada pekerjaan, walaupun kota Timika merupakan pusat perhatian uang, terkadang masih banyak dari masyarakat lokal maupun pendatang kesusahan dalam mencari pekerjaan.
Selanjutnya Baca: Pangeran Biru di Tanah Timika (Babak II, Bagian II)
Discussion about this post