Sebelumnya Baca: Berlayar dari Sorong Menuju Timika (Bag VII)
Perjalanan ini mulai dari melangkahkan kaki keluar rumah hingga sampai di Timika secara keseluruhan ditempuh selama 2 bulan lebih 4 hari. Perjalanan terlama, setelah saya sampai di nol kilometer Indonesia dengan satu kali ongkos saja, beberapa tahun yang lalu.
Perjalanan ini sangat berarti. Rencana yang mengalir, dengan niatan mengangkat derajat orang tua, lepas dari semua belenggu yang terpatri. Kebingungan untuk memperbaiki keadaan dari semua permasalahan.
Melalui perjalanan dan niat yang sudah disepakati oleh hati, dengan cara yang sudah diputuskan, saya berharap akan mendapatkan pencerahan. Saya ingin memperbaiki komunikasi, lebih terbuka dengan kedua orang tua.
Sejak melangkahkan kaki dari rumah, tekad saya sudah bulat. Berangkat dengan berbekal modal secukupnya dan doa mereka yang saya sayangi.
Sedikit cerita ke belakang. Waktu itu saya ke rumah kakek, paman, dan bibi yang ada di pelosok pegunungan untuk pamit sekaligus meminta restu dan doa.
Kakek mengucap maaf karena tidak bisa membekali uang, hanya bisa mendoakan. Semoga sehat selalu dan diberikan kasih sayang sepanjang jalan. Sesampainya di tujuan cepat dapat pekerjaan dan dimudahkan segalanya.
Segera mungkin saya mengalihkan obrolan kala itu, “akh Eni mah nyuhunkeun bako waenya ki” (akh Eni mah minta bakonya aja, ki). Suasana langsung berubah dari pilu jadi canda penuh tawa, “euh ieu mah dasar aki-aki” (ah, dasar kakek-kakek), celetuk nenek, dibarengi dengan saya mengambil bako yang sudah ditunjukan tempatnya. Momen inilah yang membuat saya kuat.
Jam 02.00 Dini Hari Tiba di Timika
Sesampainya di pelabuhan Pomoko Amamapare Timika, saya merasa senang bercampur gelisah. KM Tatamailau tiba jam 02:00 WIT dini hari, awal yang mencekam, kapal sandar di pagi buta.
Teman-teman penumpang yang satu deck dengan saya hampir semuanya mengingatkan, “hati-hati ini Timika!”
Saya hampir melewatkan bel pemberitahuan yang dibunyikan petugas Pelni. Beruntung seorang anak kecil asli Timika, penumpang yang tidur di samping saya, membangunkan. “Kaka sudah sampai di Timika,” ujarnya.
Saya langsung bangun terus jalan menuju toilet wanita yang ada di samping kanan deck 2, di deck ini toiletnya dicampur dan bau khas tidak terawat.
Bagusnya, toilet ini memiliki keran air yang masih berfungsi untuk mandi. Masih lebih mending dibandingkan dengan toilet deck 3 dan 4. Berantakan, atap bocor, dan air dari toilet deck atas tembus ke bawah. Air keran gak ada, rasanya tidak mungkin untuk dipakai mandi.
Pertemuan dengan Pace Anton
Keluarga Omah Teresia yang mengenalkan saya dengan Pace Anton. Pace Anton yang menjemput mereka di pelabuhan Pomako Timika.
Awalnya saya akan menunggu 3 jam di atas kapal karena KM Tatamailau pada saat pengumuman menginformasikan akan melanjutkan keberangkatan pada pukul 05.00 WIT.
Penumpang lain yang satu deck dengan saya kembali menghantam dengan berbagai peringatan, “hati-hati ini Timika, tujuannya ke mana?” sudah kasih kabar kerabatnya?” dan pertanyaan lainya.
Saya hanya menjawab, “saya tinggal dulu di kapal selama 3 jam, baru turun kalau hari sudah pagi, kemudian saya memberanikan diri mencari alamat kerabat di kota Timika sana”.
Di dalam hati mengatakan, saya tidak tahu sama sekali kota tersebut dan tumpangan kendaraan ke arah sana.
Saya sempat diskusi dengan beberapa penumpang. Salah satunya seorang wanita asal Manado. Ia setuju dengan keputusan saya, tinggal sementara di atas kapal. Ada juga yang menyarankan untuk lanjut saja, tidak perlu menunggu.
Di antara para penumpang ada yang satu arah bahkan melalui alamat tujuan saya. Mereka adalah Omah Teresia dan kedua anaknya yang telah merespon dengan baik.
Kemudian saya menawarkan diri untuk memikul barang bawaann mereka, tapi Omah Teresia menolak dengan halus, saya merespon balik dengan halus juga sambil berkata, “tidak merepotkan sama sekali Omah, saya pernah jadi buruh di pelabuhan Priok”.
Pace Anton Membuka Pintu Masuk Kuala Kencana

Suasana riang dilumuri keringat pengap antrian penumpang mengiringi keceriaan ketika turun di pelabuhan Pomoko. Menghirup udara baru, tanah Timika
Pelabuhan ini berada di muara besar. Para buruh angkat di sini tidak mendapat keamanan ketat seperti di Priok. Bertabrakan tidak karuan dengan penumpang yang mau turun.
Saya jalan di belakang Omah dituntun oleh Pace Tinus. Sampai di area parkir keluar, jalur mobil. Kami duduk menunggu kabar Pace Anton yang akan menjemput dari kota Timika.
Pace Yan cerita, Pace Anton sudah hampir 15 tahun bekerja di PT Freeport Indonesia (PTFI), sampai sekarang statusnya sudah karyawan tetap. Di PTFI karyawan yang belum kerja selama 5 tahun, nasibnya tidak dapat dipastikan sebagai karyawan tetap
Ketika pertama kali bertemu Pace Anton, ia langsung terbuka dengan saya. Sampai menawari tumpangan tidur dan makan. Pace Anton membawa saya mengelilingi kawasan PTFI sambil melempar canda, “kalau belum menginjakkan kaki di Kuala Kencana berarti belum sampai di Timika”.
Pesona Kuala Kencana, Kota di dalam Hutan

Kota maju dan modern di tengah hutan, satu kalimat yang terucap di dalam hati saya. Kali pertama saya mengapresiasi kawasan yang memiliki aturan ketat berhubungan dengan kelestarian alam. Siapa yang menebang pohon di kawasan ini akan dipenjara.
Ketika masuk gerbang pertama kota ini. Ada tahapan pemeriksaan akses kartu karyawan oleh petugas. Artinya kawasan ini tidak bisa dimasuki sembarang orang.

Saya merasa beruntung dapat kesempatan mengelilingi tiap sudut kawasan Kuala Kencana. Menyaksikan pohon-pohon, hutan di sisi jalan. Perkiraan saya tidak ada satupun pohon yang berusia muda, semuanya terlihat purba. Ditambah udara sejuk mengisi paru-paru.

Satu lagi yang membuat Kuala Kencana ini sangat unik dan tidak dimiliki kota lainnya. Ketika diperhatikan, tidak ada satupun kabel listrik atau telepon yang gelantungan semrawut di tiang-tiang, semua diletakkan di dalam tanah.
Kota ini yang pertama di Indonesia menggunakan utilitas bawah tanah untuk saluran kabel listrik dan komunikasi. Kuala Kencana juga memiliki sistem distribusi air terpusat, dan pengelolaan limbah terpadu. Standar air bersih di kota ini sangat tinggi, bahkan kita bisa meminum langsung air keran yang ada di setiap rumah.
Dikelola oleh PT Freeport Indonesia

Pace Anton cerita, bangunan arsitektur kawasan ini dikerjakan oleh Amerika. Distrik Kuala Kencana dibangun dan dikelola seluruhnya oleh PT. Freeport Indonesia. Di kawasan ini saya melihat ada Tugu dengan tinggi kurang lebih 50 meter.
Berdiri kokoh di tengah area alun-alun Kuala Kencana. Diketahui Tugu berbahan dasar tembaga dan emas ini diresmikan pada tahun 1995 oleh Presiden RI ke-2, Soeharto.
Saya sendiri merasa berada di luar negeri ketika menyaksikan setiap jengkal area di kawasan ini. Saya hampir tidak melihat ada sampah di sepanjang jalan.
Rambu lalu-lintas dan petunjuk jalan dipasang jelas di beberapa titik. Dituliskan dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris.

Semua fasilitas di Kuala Kencana dapat dikatakan lengkap. Kawasan ini memiliki lapangan sepakbola berstandar Internasional, lapangan badminton indoor, lapangan futsal indoor, kolam renang Olympic size, lapangan golf, gereja, masjid, aula multipurpose building serta shopping center.
Menariknya lagi harga makanan di kawasan ini 2 kali lipat dibandingkan di pulau Jawa. Berkeliling melihat kawasan perumahan, saya semakin merasakan suasana seperti di luar negeri. Saking canggihnya!
Menitipkan Berkas Lamaran di PT Freeport Indonesia
Inilah Jalan hidup yang saya pilih. Beberapa orang menyangka saya punya cukup uang untuk bisa sampai di banyak tempat. Mulai dari Sabang, titik Nol KM Indonesia yang saya kunjungi 3 tahun silam. Hingga saat ini, sampai di ujung timur Nusantara.
Perjalanan kali ini, saya sengaja singgah di kota Timika untuk melamar kerja di PTFI. Biarlah ini semua tidak sesuai dengan dasar keilmuan dan kemampuan saya. Saya merasa sudah melalui jalur akademik dengan setengah-setengah. Sebatas merasakan aja tanpa memahami secara maksimal.
Tidak dalam jalan linear, karena nasib hidup terdampar kuliah gratis di salah satu PTN di Jawa Barat, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Ilmu Sejarah. Melalui semuanya dengan cara yang sangat tidak biasa, bermodalkan keberanian dan sikap apa adanya.
Begitupun saat ini, menitipkan lamaran kerja kepada kerabat, hanya sebatas itu, tanpa berharap lebih. Tidak ada yang tahu jalannya akan seperti apa, mengalir seperti air, nikmati saja.
Memilih Jalan Lain Menuju Raja Ampat
Akhir bulan Februari 2019, ketika itu PT Freeport Indonesia sedang jadi topik Nasional. Di kota inilah saya belajar memilah realita pemberitaan tentang Papua.
Saya sadar sudah mengabaikan pemberitaan Nasional perihal PTFI, maupun mengenai Papua. Dalam benak saya, janganlah menetap di kubangan air yang tidak mengalir. Saya tidak mungkin bisa bekerja di PTFI.
Sampai akhirnya, saya memilih jalan lain, sesegera mungkin menyusul kawan sejawat dari Jatinangor. Ketika itu, bertepatan ia meminta tolong untuk kebutuhan riset tesisnya.
Saya sudah mempertimbangkan untuk membantunya. Memberikan semua informasi tentang PTFI ketika berada selama 4 pekan di Timika.
Mulai dari pengurangan karyawan besar-besaran, demo ribuan karyawan, hingga pemulangan beberapa dari mereka ke kampung halamannya.
Semua kabar ini saya dapat langsung dari pekerja, maupun karyawan tetap ketika momen berkumpul di sekretariat Viking Timika.
Pace Anton juga memberitahukan bahwa PT Freeport Indonesia saat ini sedang ada perombakan sistem, dipangkas hampir semuanya, lumayan cukup kacau, ujarnya.
Tanpa pikir lama, saya mengabarkan kawan via telepon, “mang dagoan urang jadi nyusul kadinya, sekitar saminggu, nepi kadinyana mang. Ngumpulkeun ongkos heula satiketeun” (mang tunggu, saya menyusul ke sana, sekitar satu minggu sampai. Ngumpulin ongkos dulu sedikit), beritahu saya kepada kawan yang posisinya sudah di Raja Ampat.
*Babak pertama kisah ini selesai
Discussion about this post