Sudah jangan ke Jatinangor
Masih ada kota lainnya
Perempuan tak cuma dia
Ada tiga milyar 21
(Sudah Jangan ke Jatinangor – The Panas Dalam)
Jatinangor oh Jatinangor, waktu bergulir terlalu cepat, beberapa tahun ke belakang orang-orang masih canggung menyebutnya sebagai kota. Tidak bisa juga mengatakan sepenuhnya adalah desa. Kenyataannya secara teritorial Jatinangor adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Sumedang.
Ya meskipun hanya sebagai kecamatan yang berada jauh dari pusat kota Bandung ataupun Sumedang. Tapi, tempat ini memiliki nyawa, teristimewa di hati banyak orang yang pernah melalui kisahnya.
Tidak salah menyematkan kecamatan ini sebagai kawasan pendidikan, atau saat ini sudah tidak lagi. Beberapa perguruan tinggi berdiri, pusat aktivitas yang menggairahkan bagi anak-anak muda. Bahkan pada tahun 2015, Jatinangor ditetapkan sebagai salah satu kawasan kota metropolitan Bandung Raya. Tidak heran sejauh mata memandang, apartemen dan hunian elit berdiri kokoh di tengah-tengah area yang dahulunya sawah.
Hari ini, Jatinangor tetap layak untuk dikenang sebagai tempat yang menghadirkan banyak cerita bagi yang pernah melaluinya. Meski tidak sedikit dari mereka yang merasa tidak betah dengan kehidupan kampus atau tatanan sosial di kawasan ini. Itu dulu, sekarang bisa jadi beda cerita.
Adaptasi dan Transformasi
Dulu, saat masih kuliah di salah satu perguruan tinggi yang berdiri di Jatinewyork—plesetan untuk menyebut Jatinangor, saya sering mendengar tentang orang-orang yang merasa tertipu dan merasa terjebak di sana.
Tidak sedikit yang membayangkan akan ngampus di kota Bandung dengan segala keanggunanya. Kenyataannya, jarak dari Bandung ke Jatinangor hampir 30 Kilometer. Kami harus mencari ilmu di negeri antah berantah.
Engkau berdarah-darah dari antah berantah/Terus berjalan/Kehilangan/Alamat Pulang/Atas nama baru/Beban di pundak/Tanpa alas kaki/Lengan berlubang/Engkau berdarah-darah dari antah berantah, tulis The Upstairs dalam lirik lagu Antah berantah-nya seperti mengerti kondisi kami ketika itu.
Tapi, mau bagaimana lagi? Menggagas demo kepada pihak rektor untuk memindahkan kampus ke Bandung terasa seperti ide yang terlalu buang-buang tenaga. Gak mungkin banget lah.
Setelah pasrah dan mulai menjalani hidup di kecamatan ini, banyak sekali mahasiswa-mahasiswi yang menyadari adanya perubahan dari fisiknya. Entah itu badannya jadi sering gatal-gatal karena perubahan cuacanya yang cukup ekstrem.
Siang hari yang super panas dan pada malam hari jadi sangat dingin, atau pembengkakan yang terjadi di area perut karena jajanan-jajanan yang tersedia di sana membuat orang-orang jadi hobi ngemil.
Ada anekdot yang mengatakan bahwa cara untuk membedakan mana mahasiswa Jatinangor dan Bandung sebenarnya cukup gampang. Bandingkan saja kulitnya. Tapi, namanya juga anekdot, tentu tidak selalu sesuai kenyataan.
Jatinangor, Kecamatan Absurd Penuh Jamur
Di Jatinangor, banyak orang yang sebelumnya tidak sering bahkan tidak pernah makan jamur sama sekali, pada akhirnya menjadikan hidangan jamur sebagai santapan sehari-hari.
Entah kenapa, jamur jadi makanan yang paling banyak dijual di warung-warung prasmanan dan jadi favorit banyak orang. Mulai dari jamur crispy, jamur goreng, tumis jamur, bahkan sampai jamur yang dicampur dengan jus alpukat atau mangga. Jadi mahasiswa di tempat ini rawan kejamuran.
Selain itu, di sana juga ada menu nasi gila yang tidak banyak ditemukan di luar Jatinangor. Nasi gila sendiri adalah nasi yang dipadukan dengan sayur-sayuran dan bumbu yang terasa asam, pedas, dan gurih di lidah. Rasanya? enak gilak!
Banyak yang mengeluh tentang Jatinangor dari berbagai aspek, seperti suhunya yang berubah-ubah secara ekstrem, truk-truk yang memadati jalan setiap hari dan yang paling menjijikan di sana berkeliaran eksibionis yang suka nongkrong di pinggir jalan sambil nunjukin alat kelaminnya ke mahasiswi. Meski begitu, kami tetap bisa beradaptasi dan membetahkan diri di kecamatan ini.
Membangun Dunia Sendiri
Bicara soal hiburan, Jatinangor tidak menyediakan banyak pilihan fasilitas. Jatinangor Town Square, satu-satunya mal yang berdiri di sana. Namun, intensitas orang-orang untuk menghibur diri di mal ini tidak terlalu sering kecuali untuk menonton film di bioskop.
Lagipula untuk menonton film, di kamar kostannya mahasiswa-mahasiswi masih bisa menggunakan layanan internet atau membeli film dalam bentuk soft file.
Bicara soal anak muda, hiburan jadi aspek yang lekat dan tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Demi mengatasi rasa jenuh dan menanggapi permasalahan-permasalahan yang mulai menggerayangi saat usia sudah mendekati quarter life crisis.
Di Jatinewyork, memproduksi hiburan jadi suatu hal yang diupayakan meski pihak-pihak civitas kampus seringkali membatasi.
Setiap kali menghadiri acara hiburan di Jatinangor, yang biasanya diselenggarakan di kampus, saya selalu teringat dengan kisah Peter Pan dan The Lost Boys yang bermain di Neverland tanpa menghiraukan dunia orang-orang dewasa.
Orang-orang tenggelam dalam kegembiraannya seolah dunia tidak akan pernah kiamat dan waktu hanya sebuah ilusi yang diciptakan oleh orang-orang dewasa. Sementara itu, beban kuliah dan tuntutan untuk segera lulus terasa seperti Captain Hook yang tampak mengancam.
Pada masanya, acara-acara di kampus bisa berlangsung semalam suntuk dan baru berakhir ketika adzan awal terdengar. Pemandangan orang-orang yang terkapar di beberapa penjuru lokasi acara hiburan adalah hal biasa. Kadang bahkan ada yang baru (bisa) bangun saat pagi menjelang.
Suatu ketika, di salah satu acara fakultas, ada yang sampai harus dibawa oleh ambulans karena kesulitan untuk berdiri dan berjalan. Bukan karena sakit atau apa, tapi karena terlalu banyak minum arak. Keras! Memorable moment, kami selalu ingat kejadian itu dan terus jadi bahan obrolan.
Tapi jangan salah, kegiatan di Jatinangor, tidak hanya tentang pesta dan hura-hura saja. Anak-anak muda di sana selalu bersemangat dalam menyalurkan bakat dan minat mereka.
Buktinya adalah banyaknya komunitas yang berdiri di sana. Mulai dari bidang organisasi, musik, fotografi, bela diri, penggiat alam, literasi, teater, film dan masih terlalu banyak kalau disebutkan satu-satu. Komunitas-komunitas ini menaungi mahasiswa di tingkat jurusan, fakultas, Universitas bahkan antar kampus.
Jika program studi dipilih oleh mahasiswa karena faktor-faktor eksternal seperti dunia kerja, tuntutan orang tua, dsb, setidaknya komunitas-komunitas ini bisa menjadi tempat untuk meluapkan alter ego. Bakat murni yang bisa jadi tersumbat selama mereka belajar di bangku sekolah.
Membangun Ekonomi Independen
Selain diramaikan oleh kolektif yang mengekspresikan minat masing-masing, Jatinangor pun jadi pilihan banyak orang untuk menjajal dunia wirausaha.
Tidak sedikit mahasiswa atau mahasiswi yang membangun bisnis di sana. Para wirausahawan muda ini juga sering membantu perekonomian warga sekitar karena banyak memberdayakan penduduk lokal untuk melancarkan usaha.
Selain itu, mahasiswa-mahasiswi yang ingin menambah penghasilan lewat kerja paruh waktu pun bisa ikut terlibat dengan upah yang cukup untuk menghidupi sehari-hari. Sekaligus mendapat pengalaman kerja.
Perlu diketahui jumlah mahasiswa-mahasiswa yang ada di kecamatan ini lebih banyak dibandingkan masyarakat lokal asli.
Hal-hal yang dibicarakan di atas menggambarkan Jatinangor berperan seolah laboratorium untuk bereksperimen dengan diri sendiri, bagi para mahasiswa.
Mirip seperti Neverland-nya Peter Pan yang membebaskan para penghuninya untuk jadi apapun sesuai dengan imajinasi yang menghiasi kepala mereka.
Tidak Ingin Cepat-cepat Pergi Meninggalkanmu, Jatinangor
Berhubung Jatinangor dijejali oleh anak-anak muda dengan rentang usia yang tidak terpaut jauh. Struktur sosial di sana pun terasa tidak terlalu kompleks seperti pusat-pusat kota yang diisi oleh orang-orang dengan jenjang status dan usia yang lebih variatif.
Hal ini membuat kehidupan di Jatinangor terasa seperti lebih lambat. Namun, waktu tetaplah waktu. Dia akan terus berjalan dalam setiap ruang.
Banyak sekali anak muda yang tidak ingin cepat-cepat meninggalkannya saat mereka sudah menyelesaikan studi.
Mahasiswa-mahasiswi yang sudah lulus pun kerap menjadikannya sebagai salah satu tempat yang layak untuk dikunjungi saat sedang berlibur, setidaknya untuk bernostalgia dengan masa muda yang penuh dengan gairah.
Tidak sedikit juga mahasiswa dan mahasiswi yang jadi jarang pulang seiring dengan rasa betah yang terus bertumbuh selama hidup di Jatinangor.
Nuansa Utopis, Penuh Kenangan
Suatu ketika, ada seorang sahabat yang menganjurkan untuk meninggalkannya jika ingin lebih menempa diri. Mungkin hal ini ada benarnya juga.
Nuansa utopis yang lebih memungkinkan kebebasan untuk mengeksplorasi diri bisa saja jadi zona nyaman yang seolah menjebak bagi banyak orang di sana.
Meski begitu, bukan berarti Jatinangor adalah tempat yang mengekang orang untuk terus tumbuh. Ruang hanyalah faktor eksternal yang tidak selamanya akan mengendalikan segala situasi pada setiap individu yang hidup di dalamnya.
Pada taraf tertentu, zona nyaman justru bisa membuat orang lebih mudah untuk mencari inspirasi ketimbang di zona yang penuh dengan dinamika dan menguras banyak energi.
Semuanya kembali kepada bagaimana orang memandang diri dan dunianya di pusaran waktu yang terus berjalan. Seperti yang disebutkan tadi, Jatinangor adalah tempat bagi orang untuk bebas berimajinasi.
Jika kehidupan menjadi terasa tidak menantang dan tidak menempa diri, lantas mengapa tidak membangun tantangan itu sendiri di tanah yang penuh keajaiban seperti Neverland ini?
Discussion about this post