Sebelumnya Baca: Magnet Kesukuan di Kota Timika (Babak II, Bagian I)
Saya turut hadir meramaikan kegiatan mereka, mengisi stalls pada Festival Millennial Road Safety yang berlangsung di Lapangan Timika Indah pada Maret 2019. Momen ini saya alami sebelum akhirnya memutuskan beralih tempat singgah ke sekretariat Viking Timika.
Kawanan Viking mengisi stalls dengan menghadirkan camilan kuliner Bandung. Acara berlangsung ramai, selepas siang camilan macam tahu jeletot, cireng, cilok, es doger, dll sudah habis diserbu pembeli.
Saya mengitari stalls lainnya, melihat pajangan, merchandise, dan tarian yang dibawakan sejumlah balita/anak kecil, hingga mengetahui tujuan dari acara ini.
Diketahui acara ini bertujuan untuk mengurangi tingkat kecelakaan lalu lintas di kalangan milenial. Mengingat di kota Timika hampir setiap malam ramai dipenuhi kendaraan beroda.
Bagi saya acara ini adalah jalan masuk untuk mengenal lebih dekat member Viking Timika, melalui momen inilah saya diajak oleh Irawan berkunjung ke Sekretariat Viking. Hingga tinggal di sana atas izin Egi (pemilik rumah yang ditempati sebagai sekretariat).
Emosi Membawa Alur Perjalanan
Saya samar-samar ingat, ketika di puncak emosi, Irawan merangkul meredakan amarah menanggapi perkataan karyawan yang baru beberapa bulan bekerja itu. Kejadian itu jadi pemicu keputusan saya untuk kedua kalinya mengunjungi Sekretariat Viking Papua Korwil Timika.
“Enggeus weh cicing didieu heula sementara mah atuh, dari pada di ditu euweuh batur, di dieu mah rame loba batur” (sudah tinggal di sini saja buat sementara waktu yah, dari pada di sana sepi, di sini mah rame banyak kawan).
Bujuk Irawan, sambil berniat mengantarkan saya untuk tinggal di Sekretariat Viking Timika. Sebelum pulang ke Bandung saya juga ingat pesan Faisal, ketika menawarkan untuk tinggal di tempat yang lebih memungkinkan menerima saya apa adanya.
Asal Mula Lahirnya Viking Papua Korwil Timika

Saya mendapat kisah sekilas mengenai asal mula berdiri Viking Timika dari Ipong. Ia menceritakan dengan logat Sunda sedikit beraksen Papua, “Ngamimitiana mah ti tahun 2017, harita aya orang Majalengka, anjeuna anu mipi boga ideuna” (awalnya dari tahun 2017, dulu ada orang Majalengka, dialah yang punya ide itu) lebih detail, kemudian saya tanya siapa orang itu.
“Ari kagiatan sapopoena mah icalan siomay anjeuna teh, anu biasa mangkal di jalan Cendrawaaih Timika, hareupen pisan tempat panyucian mobil” (kesehariannya dia berjualan siomay, biasa ada di jalan Cendrawasih Timika, persis di depan tempat cuci mobil) terangnya.
“Mung harita mah ngan saukur ririungan hungkul we kangge baraya pamuda Sunda, teuacan aya kapengurusana mah” (Dulu cuma sekadar untuk kumpul-kumpul saja, bagi pemuda Sunda, belum ada kepengurusan) kenangnya di teras depan rumah (sekre Viking Timika), saat sedang mempersiapkan anak-anak tiba jadwal bermain Futsal.
“Selang sataun abi katunjuk kanggo ngalajengkeun patincakan riungan pamuda Sunda. Harita mung saukur 7 jalmi tapi reket pisan” (selang satu tahun saya ditunjuk untuk meneruskan jejak perkumpulan pemuda Sunda).
24 Oktober 2018, Viking Timika Lahir
Ipong dengan penuh antusias lanjut berkisah, “24 Oktober 2018 ngadeg weh Viking Timika. Mung teuacan aya ketuaan kitu oge kanggo kapangurusana masih milarian anggota, mung group Whatsapp atos aya” (24 oktober 2018 berdirilah Viking Timika, sama halnya belum ada ketua dan kepengurusan, tapi grup Whatsapp sudah ada) lanjutnya dengan bahasa Sunda halus.
Saya menerka dari cara bertutur yang begitu sopan, orang seperti dia jangan pernah disepelekan, karena saya mengalaminya. Ilmu yang mudah dicerna dan sampai nempel saya dapatkan sepanjang perjalanan selama ini, didapat dari mereka yang mampu memosisikan diri ketika sedang bercerita.
“Harita pas Desember 2018 Bonek Timika ulang tahun anu katilu. Tidinya bonek ngundang, nembe weh gaduh komunikasi, anu akhirna seuer kabantosan dina palebah ngeumpkeun anggota” (waktu itu pas di bulan Desember 2018 Bonek Timika ulang tahun yang ketiga. Dari sana Bonek mengundang. Baru ada komunikasi. Akhirnya banyak kebantu dalam hal pengumpulan member).
Kedekatan saya dengan mereka terasa nyata saat kami mengadakan nobar di Sekretariat Viking Timika di Jl. Mambruk ini.
Ipong Ketua Viking Papua Korwil Timika
Singkat cerita, 19 Januari 2019, diadakan acara kumpul akbar sekaligus membentuk kepengurusan Viking Timika. Momen inilah yang mengangkat Ipong resmi ditunjuk jadi ketua. Ipong menjelaskan, tujuan mendirikan Viking Timika untuk mendekatkan para perantau khususnya yang beretnis Sunda di Timika, terutama para pemudanya.
Kegiatan yang paling dapat dirasakan manfaatnya, mereka kerap mengadakan acara baksos di kota Timika. Semisal membersihkan jalanan di sekitaran kota dan membantu para perantau yang sakit.
Eratnya hubungan mereka tercermin selama saya tinggal bersama. Satu kesempatan saya pernah diajak untuk menjenguk salah satu anggota yang sakit terkena Malaria. Di Timika, apalagi untuk orang yang baru datang, kalau tidak baik-baik menjaga kondisi kesehatan maka bersiaplah rentan terkena penyakit seperti Malaria.
Selama di sana hampir seminggu sekali saya mendapat kabar mengenai orang yang terkena malaria. Tapi saat ini kondisi sudah tidak terlalu mengkhawatirkan, obat Malaria sudah ampuh menyembuhkan dan masyarakat sudah dapat berbagai informasi.
Meluas Menjadi Paguyuban Pasundan

Kembali ke pergerakan Viking Timika, mereka secara kolektif mengumpulkan sedikit dana dari uang kas mingguan. Selain orang sakit, mereka juga kerap membantu sesama etnis Sunda yang tersesat di Timika, serta tidak punya kerabat.
Kadang, kalau sedang ada rezeki para member berbagi peluang mendapatkan kerja, melalui relasi sesama yang sudah terlebih dahulu kerja di beberapa perusahaan di Timika.
Merasa tergugah dan kebetulan saat itu sedang ada uang hasil kerja bangunan yang dibayar harian, kemudian saya ikut patungan. Selebihnya dibelikan beras untuk di sekre yang dititipkan langsung kepada Ipong.
Mengenai lauk pauk, tempat ini tidak pernah kehabisan stok. Berkat banyaknya member yang sudah mapan bekerja di lintas instansi, swasta maupun pemerintahan rela berbagi dengan sesama anggota. Apalagi mereka yang bekerja di PTFI, tiap berkunjung ke sekre jarang yang bertangan kosong.
Hingga akhirnya lahir Paguyuban Pasundan pada 15 Januari 2020, lanjut Ipong, sekaligus mengakhiri percakapan mengenai Pangeran Biru di tanah perantauan. Meski usianya masih muda, namun tak lantas membuatnya kehilangan kharisma kepemimpinan di tengah 75 orang member yang aktif.
Paguyuban Pasundan dan Viking Timika berada di dalam satu perjuangan, bedanya Paguyuban Pasundan memiliki cakupan yang lebih luas. Melingkupi ranah sosial untuk semua etnis Sunda di tanah Papua, khususnya Timika.
Lebih luasnya lagi Paguyuban juga memfasilitasi komunikasi sesama orang Sunda dan antar suku bangsa lainnya yang ada di Timika. Sedangkan Viking Timika lebih mengkhususkan aktivitas suporter sepakbola.
Viking Timika dan Paguyuban Pasundan berjalan beriringan karena anggota dan pengurusnya, berisi orang yang sama
Moment Langka yang Entah Kapan, Dapat Terulang kembali
Setelah mengabari kawan via telepon di pekan sebelumnya, secepat kilat saat itu saya buka suara ke barudak Viking Timika supaya bisa ikut kerja bangunan. Sepengalaman saya pekerjaan macam ini adalah salah satu pekerjaan yang selalu ada di mana pun tempatnya.
Bedanya kali ini saya lebih beruntung, tinggal di lingkungan sesama suku. Di kisah sebelumnya ketika saya kehabisan uang saat dalam perjalanan, solusi tercepat ya ikut kerja bangunan. Pekerjaan ini membuat saya bisa meminta upah harian, mendapat makan, dan tempat tidur.
Sama halnya ketika saya buka suara sore itu hanya ada beberapa orang saja yang berkumpul di sekretariat Viking.
“Mang, Uwa, aya pidameuleun kuli bangunan teu? abi peryogi sa ongkoseun kangoggo ka Raja Ampat, nyusul babaturan keur penelitian.” (Kawan, Uwa, ada kerjaan kuli bangunan gak? saya perlu uang buat satu kali ongkos jalan saja, mau menyusul kawan ke Raja Ampat yang lagi penelitian)
Seketika, Uwa Asep merespon tanya saya, “wah anu bener?” (wah yang serius nih?) timpal Uwa Asep. “Leureus Wa, pidameuleun naon weh, anu sakirana saya mampuh (beneran Wa, pekerjaan apa saja, yang sekiranya saya mampu).
“Bae kitu kuli bangunan? lamun enya arek, geus weh isukan ku saya rek dibejakeun ka mas Agus, harita oge saya rek nawisan ka Deni teh, ngan bisi teu daek, da berat atuh kasar gaweana” (nggak apa-apa gitu kerja bangunan? kalau beneran mau, iya sudah besok sama saya mau dibicarakan ke mas Agus, dulu saya mau nawarin ke deni tuh, cuma takut nggak mau, soalnya berat kasar kerjaanya) terangnya saat di dapur sembari mengolah masakan ala barudak rantau.
“Asli Wa, teu nanaon, da pernah kuli pas di Aceh” (beneran Wa nggak apa-apa, sudah pernah coba pas di Aceh). “Nya ari geus apal kieu mah pernah gawe kuli, geus weh isukan milu gampang ka mas Agus mah ke ku saya di obrolkeun” (ya kalau sudah tahu kaya gini, pernah kerja bangunan, sudah saja besok ikut, urusan gampang kalau bicara ke mas Agus) jelasnya.
Makan sore jelang malam ketika itu serasa begitu nikmat dengan duduk melingkar diselangi kabar yang sudah disampaikan kepada Uwa Asep.
Menyiasati Keadaan dengan Menjadi Pekerja Bangunan
Uwa Asep, laki-laki paruh baya asli Ciamis yang sudah lama tinggal di Purwakarta. Ia baru enam bulan di Timika. Saat ini pekerjaan tetapnya adalah jadi tukang las. Uwa termasuk orang yang banyak cerita tentang keadaanya di kampung halaman. Ketika sekre sedang sepi, ia sering mencurahkan masalah yang dimilikinya.
Sebaliknya saat sekre sedang ramai. Tiba waktunya kami semua berkumpul, sekadar ngopi-ngopi, bermain catur, atau kadang ketika bertepatan ada pertandingan suasana jadi semakin lengkap diisi keseruan. Nasi liwet beralaskan daun pisang, sambal lalap-lalapan, tempe, ikan asin, menu khas Sunda yang tidak pernah terlewatkan.
Besoknya, pagi-pagi sekali saya dibangunkan oleh Uwa. Selepas mandi dan secangkir kopi, kami beranjak dengan kendaraan roda dua menjauhi Jl. Mambruk, kota Timika. Keluar, memasuki jalan utama Jl. Yos Sudarsono jalur arah menuju Pelabuhan Pamoko.
Saya masih hafal jalan menuju ke kontrakan mas Agus, dari sana lurus terus, hingga berada di Jl. Poros Makpur Jaya, pinggir kiri, jalan masuk lorong sedikit sampailah di kontarakannya.
Saya dipersilahkan masuk, kemudian dibuatkan teh panas dan diajak sarapan. Disela aktivitas itu, mas Agus mulai bertanya-tanya, mengenai kesanggupan, dan kesepakatan upah.
Tanpa lama-lama saya langsung mengiyakan, ditambah suasana jadi semakin akrab setelah saya menceritakan pengalaman kerja ketika di Aceh, yang memiliki iklim hampir sama seperti di Timika. Panas ketika tidak ada terpaan angin.
Saya hanya beberapa hari saja ikut kerja bersama Mas Agus, laki-laki asli Banyuwangi, Jawa Timur ini. Disela jam-jam makan dan ngopi. Ia cerita mengenai profesinya.
Kota-kota besar di Indonesia sudah ia pijak, berkelana jauh melebihi saya. Bahkan hingga pernah kerja ke negeri tetangga. Malaysia dan Singapura selama satu tahun lebih.
Kami kemudian jadi sering saling bertukar kisah dan candaan, sampai saya tahu betul mas Agus itu tipikal orang yang humoris. Selalu ada bahan untuk tertawa ketika kami kerja bersama di bawah teriknya matahari tanah Timika.
Kampung Halaman di Ujung Timur Nusantara
Tiga pekan sudah saya berbagi racikan bumbu, kisah kehidupan dengan sesama etnis Sunda di ujung timur Nusantara. Selama tinggal di Sekretariat Viking Timika, saya merasakan tetesan darah yang berceceran kemudian menggumpal melalui Pangeran Biru.
Lewat canda, curahan hati, bahu-membahu melewati kisah perjalanan bersama mereka. Kisah ini bagi saya bertema “kampung halaman di ujung Timur Nusantara”.
Sore hari seusai futsal saya berbincang dengan Kang Fiki, Pembawaan yang kalem mengingatkan saya pada karakter orang Subang, Jawa Barat, kampung halamannya. Tempat ketika saya pernah PKL semasa SMA, pengalaman itulah yang mengawali obrolan kami.
Ia mengemban tugas berat selama tinggal di Timika. Berusaha mengamankan kota Timika tetap stabil dan damai. Melalui kepribadian, jiwa muda yang dimilikinya, dan rasa cintanya pada tanah air, ia kerap menularkan energi besar kepada teman-teman di sekre Pangeran Biru.
Keutamaan Silaturahmi

Satu waktu, bertepatan dengan hari kelahiran Kang Fiki. Seingat saya rencana ini sudah diwacanakan Egi dan rekan satu profesi Kang Fiki.
Mereka buka suara ketika itu, “barudak isukan Kang Fiki ulang tahun, arek di gawean moal yeuh, lamun arek, pokona teu hayang nyaho urang mah, kumaha carana Kang Fiki kudu datang ka sekre” (barudak besok Kang Fiki ulang tahun, mau dikerjain nggak nih, kalau mau, pokonya nggak mau tau, gimana caranya Kang Fiki supaya datang ke sekre).
“Bah anu bener yeuh, hayu atuh lamun bener mah iraha deui bisa ngagawean si akang eta” (wah beneran nih, ayolah kalau gitu, kapan lagi bisa ngerjain akang yang satu ini) timpal Egi.
“Eh bener eta tingali geura dina FB na bisi teu percaya mah” (beneranlah, coba liat di FB nya, siap atuh ari kitu mah, itu endong masih aya, tinggal nambahan anu lain-laina lah kang” (okelah kalau begitu, telor masih ada, tinggal tambahin yang lain-lainya saja bang) tutur Egi.
Singkat cerita sesuai kekacaun di sekretariat, kami saling melempar telor, tepung, dan ampas kopi. Di akhir perayaan, Kang Fiki berucap doa serta harapan yang ditujukan untuk Viking Timika.
Seketika suasana jadi mengharukan mengingatkan amanat-amanat yang diucapkannya sangat mengena di hati sama anggota.
Momen yang selalu saya ingat bersama kang Fiki, ketika kami berbagi obrolan di waktu luang di hari sebelumnya, “saat kumpul di sekre Viking, kita semua lepas semua title/jabatan. Kita gabung di sini supaya jadi saudara dan hindari mencari ketenaran di komunitas. Intinya kita bersosial tanpa hitung untung rugi, melainkan yang utama itu silaturahmi”
Discussion about this post