Masyarakat Baduy dan Mandala
Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah…
(Gunung tidak boleh dihancurkan, lembah tidak boleh dirusak, larangan tidak boleh dilanggar, aturan tidak boleh diubah)
***
Ungkapan di atas adalah penggalan dari petuah yang tertulis di pintu masuk salah satu kampung di desa Kanekes, Provinsi Banten. Secara kesukuan, masyarakat yang hidup di desa ini tergolong sebagai masyarakat Sunda. Namun, suku Sunda di masyarakat ini memiliki napas tersendiri yang berbeda dari masyarakat Sunda lainnya. Mereka adalah masyarakat Baduy, masyarakat yang bertahan dari gerusan perubahan zaman.
Baduy adalah istilah yang merujuk pada konteks budaya yang dianut oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Kanekes. Menurut pandangan warga yang tinggal di sana, wilayah mereka tinggal adalah mandala atau “tanah suci”.
Orang lain boleh tinggal di sana selama mengikuti aturan atau pikukuh, pedoman hidup penduduk Kanekes. Selain itu, kawasan mandala mereka pun tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang (Danasasmita & Djatisunda:1986).
Masyarakat Baduy memandang bahwa mereka memiliki jiwa ‘Sunda’ yang lebih kuat dari masyarakat Sunda lainnya, khususnya yang sudah menganut agama di luar Sunda Wiwitan.
Pola sosial yang terkesan tertutup dari pengaruh masyarakat luar bukan berarti menandakan bahwa mereka adalah masyarakat yang terasing di tanah Jawa. Mereka hanya membatasi diri demi menjaga tradisi yang sudah mendarah-daging sejak lama.
Bicara mengenai kesucian yang dijaga di tanah Mandala, masyarakat Baduy membagi menjadi dua wilayah, yaitu Baduy Luar dan Baduy Dalam.
Berdasarkan skala luas, wilayah Baduy Dalam dapat dikatakan lebih sempit daripada wilayah Baduy Luar. Meski begitu, masyarakat Baduy Dalam dinilai memiliki kultur hidup yang lebih sakral daripada Baduy Luar. Oleh karenanya, wilayah dan masyarakat Baduy Dalam cenderung lebih tertutup dari pengaruh budaya masyarakat lain.
Agama Sunda Wiwitan, pedoman spiritual masyarakat Baduy, mengantarkan mereka pada pemujaan terhadap Nyi Pohaci dan Dewi Sri. Nyi Pohaci dipercaya sebagai dewi yang memberi kesejahteraan kepada masyarakat Sunda lewat tanaman padi.
Pemujaan terhadap Nyi Pohaci berafiliasi pada keyakinan bahwa dengan memuliakan tanaman padi, maka jiwa yang sudah meninggalkan tubuh akan kembali kepada Khayangan tempat Nyi Pohaci berada.
Pemuliaan masyarakat terhadap alam tidak berbatas kepada tanaman padi saja. Mereka meyakini bahwa setiap unsur alam selalu terkait satu sama lain, termasuk manusia sendiri.
Keseimbangan antarunsur alam adalah suatu hal yang perlu dijaga. Keyakinan ini dimanifestasikan dalam aspek pemenuhan kebutuhan pangan yang bersandar pada tradisi ngahuma.
Huma dan Fungsinya bagi Penduduk Kanekes
Huma berarti “ladang” dan, ngahuma dapat diartikan sebagai kegiatan berladang. Ngahuma sudah menjadi aktivitas yang dilestarikan oleh masyarakat Baduy sejak terjadinya pergeseran budaya dari berburu jadi budaya bercocok tanam.
Dikutip dari Berdikarionline.com (06/10/10), masyarakat Baduy lebih memilih untuk mempertahankan tradisi ngahuma ketimbang harus mengganti pola bercocok tanam ke metode persawahan.
Hal ini karena adanya prinsip tabu atau pamali. Prinsip ini terangkum dalam pikukuh yang harus ditaati dan terkait dengan pola sawah yang cukup lumrah di masyarakat luar Baduy.
Ditinjau dari segi historis, tradisi ngahuma sudah diterapkan sejak era Kerajaan Tarumanegara. Metode bercocok tanam di sawah mulai memengaruhi masyarakat Sunda ketika budaya Mataram mulai menghegemoni tanah Sunda. Namun, masyarakat Baduy tetap teguh dengan tradisi ngahuma.
Dipertahankannya tradisi ngahuma bisa jadi disebabkan oleh prinsip masyarakat dalam upaya untuk menjaga keseimbangan ekologis. Mereka menganggap bahwa ngahuma lebih mumpuni dalam menjaga kelestarian alam dibanding bersawah.
Di Kanekes, huma dibagi menjadi lima jenis berdasarkan wilayah dan fungsinya (Jamaludin:2012):
Huma serang, huma yang menjadi adat milik bersama. Huma ini hanya terdapat di wilayah Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Luar pun bisa terlibat dalam penggarapan huma ini. Pengerjaan huma serang dipimpin langsung oleh puun, tokoh masyarakat yang dituakan masyarakat Baduy Dalam dan dianggap sebagai ketua adat. Huma ini biasanya digunakan untuk keperluan upacara adat.
Huma puun, huma milik puun. Huma ini digarap untuk memenuhi keperluan puun dan keluarganya selama jabatan. Pengerjaan huma ini dibantu juga oleh warga meski jumlahnya tidak sebanyak orang yang menggarap huma serang. Letaknya masih berada di wilayah Baduy Dalam.
Huma tangtu, huma yang diperuntukkan bagi masyarakat Baduy Dalam. Berbeda dengan huma serang yang hasilnya digunakan untuk keperluan adat, huma ini digarap untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Letaknya pun masih berada di wilayah Baduy Dalam.
Huma tuladan, huma yang digarap masyarakat Baduy Luar. Sama seperti huma serang yang digarap dalam rangka memenuhi ritus spiritual masyarakat, huma ini pun digunakan untuk keperluan upacara adat. Bedanya dengan huma serang, huma ini digarap secara khusus untuk upacara warga Baduy Luar.
Huma panamping, huma untuk keperluan masyarakat Baduy Luar. Huma ini digarap untuk memenuhi keperluan sehari-hari masyarakat. Sama seperti huma tuladan, huma ini berlokasi di wilayah Baduy Luar.
Huma urang Baduy, huma di luar wilayah Kanekes. Pertumbuhan populasi mendorong masyarakat untuk berladang di luar Kanekes untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Penggarapan lahan di luar wilayah Kanekes diupayakan dengan cara membagi hasil dengan masyarakat yang tinggal lahan yang jadi lokasi huma atau bisa juga dengan cara membayarkan sejumlah uang.
Ngahuma Sebagai Pengamalan Nilai Spiritual Masyarakat Baduy
Jamaludin menuliskan, kebiasaan Ngahuma mengandung hubungan antara narasi mikrokosmos dan makrokosmos dalam kepercayaan masyarakat Baduy. Ditinjau dari sisi tata letak, huma mengacu pada sistem kosmologis.
Huma serang, yang digunakan untuk keperluan ritus spiritual ditempatkan di sebelah timur kampung Baduy Dalam. Hal ini karena mata angin timur dianggap sebagai arah mata angin yang sakral.
Huma puun, yang digunakan untuk keperluan puun sebagai ketua adat, diletakkan di selatan. Hal ini karena menurut kosmologi tradisional, arah mata angin selatan dinilai sakral dalam narasi yang lebih berorientasi kepada nilai mikrokosmos.
Sementara itu, Huma tangtu yang digarap untuk keperluan warga Baduy Dalam diletakkan di barat dan utara.
Huma yang digarap dengan bentuk persegi mengandung makna tersendiri. Persegi dianggap sebagai simbol dari laki-laki. Sementara itu, langit yang menurunkan air hujan untuk menyuburkan tanah, dipercaya sebagai manifestasi dari Nyi Pohaci yang berkelamin perempuan.
Bumi diinterpretasi sebagai simbol laki-laki, dan langit dimaknai sebagai perempuan. Oleh karena itu, proses penyuburan tanah lewat air hujan dipandang sebagai proses perjodohan antara laki-laki (bumi) dan perempuan (langit) yang nantinya akan menghasilkan “keturunan” dalam bentuk tanaman padi.
Sebagai wilayah perjodohan antara bumi dan langit, penyemaian di huma dilakukan melalui proses upacara terlebih dahulu. Upacara sakral itu disebut dengan ngareremokeun.
Dikutip dari Merahputih.com (27/08/16), upacara ini diselenggarakan dalam rangka menyampaikan ucapan terima kasih sekaligus mengundang Nyi Pohaci untuk turun ke bumi.
Jamaludin kembali menuliskan, menurut masyarakat Baduy, tanaman padi adalah entitas yang mengalami proses deifikasi atau “pendewaan” sehingga tanaman padi menjadi entitas suci bagi masyarakat Baduy.
Hal itu tampak senada dengan nilai spiritual dalam Sunda Wiwitan yang meyakini bahwa manusia yang hidup dari tanaman padi akan dimuliakan jiwanya dan dibawa ke khayangan saat ajal menjemput.
Sumber jurnal:
-Jamaludin (2012). Makna Simbolik Huma (Ladang) Di Masyarakat Baduy. Diakses pada 27 Maret 2020 pukul 21.39, dari http://lib.itenas.ac.id/kti/wp-content/uploads/2012/10/Makna-Simbolik-Huma-di-Masyarakat-Baduy.pdf.
Discussion about this post