Pada penghujung akhir tahun 2017, ponsel saya berbunyi oleh sebuah panggilan dari nomer yang tidak dikenal. Ketika diangkat, kalimat yang keluar dari ujung ponsel adalah “Ini gua Badil, Rudy Badil. Bisa ngobrol sebentar?”
Bukan hanya kaget, namun juga bingung yang saya rasakan saat itu. Rudy Badil, wartawan senior Kompas sekaligus pendiri grup lawak Warung Kopi Prambos (yang kemudian menjadi Warung Kopi DKI), menelpon saya dengan tiba-tiba.
Dari Aktivis Kampus, Pencinta Alam Hingga Menjadi Pelawak
Sosok Rudy Badil saya akrabi ketika melakukan penelitian skripsi. Objek skripsi saya adalah grup lawak Warung Kopi Prambors, sosok Rudy Badil merupakan salah satu sosok penting berdirinya grup lawak yang melegenda tersebut.
Dalam bukunya, yang berjudul Dari Main-Main Jadi Bukan Main (2010), Rudy Badil menceritakan bagaimana ketidaksengajaan para personil Warkop Prambors akhirnya berkumpul dan kemudian menjadi sebuah grup lawak. Mereka bermula dari sebuah kegiatan alam yang dilaksanakan Mahasiswa Universitas Indonesia tahun 1973.
Kegiatan tersebut membuat mereka terkenal karena tingkah lucu dan jahil mereka, hal itu juga yang kemudian menarik hati seorang manager program Radio Prambors yang juga seorang mahasiswa Universitas Indonesia.
Mereka kemudian ditawari sebuah program siaran di Radio Prambors, yang bernama Omamat (Obrolan Malam Jumat). Obrolan khas tongkrongan mahasiswa, dengan sentilan-sentilan kritik politik yang mengundang tawa.
Beberapa waktu berselang, program tersebut berganti nama menjadi Obrolan Santai di Warung Kopi. Berawal dari nama program ini, para penyiarnya, Dono, Kasino, Rudy, dan Nanu, dikenal sebagai grup lawak Warung Kopi Prambors.
Berawal dari kegiatan kampus, dengan kegiatan bertema alam, mengantarkan mereka menjadi grup lawak yang melegenda dan disegani di Indonesia hingga saat ini.
Di Antara Lawak dan Jurnalisme
Rudy Badil sempat berada di persimpangan, antara menjadi pelawak atau jurnalis. Keputusan pun akhirnya dipilih, Rudy mantap memilih menjadi seorang jurnalis. Jika ditanya alasannya, Rudy enteng menjawab ‘gua demam pangung!’
Kita bisa percaya dengan alasan tersebut, wajar belaka demam panggung, tidak semua orang bisa percaya diri berbicara di depan ribuan orang, apalagi harus melawak. Namun ternyata tidak demikian, alasan sebenarnya.
Jika pada penghujung tahun 2017 Rudy Badil menelpon saya dan kita merencanakan sebuah pertemuan, pertemuan tersebut terjadi pada Januari 2019. Di ruang tengah kediamannya, kami berbincang banyak. Salah satu hal yang pertama saya konfirmasi adalah alasan Rudy memilih menjadi jurnalis.
Rudy Badil yang lebih biasa dipanggil Babeh kemudian menjelaskan, bahwa sejak dari awal dia tidak pernah bercita-cita menjadi pelawak. Cita-citanya hanya satu, menjadi jurnalis. Ketika kuliahnya di jurusan Antropologi UI rampung. Dia pun memutuskan berhenti melawak bersama Warkop Prambors dan berlabuh di Kompas menjadi seorang jurnalis.
Mengetahui Warkop DKI tumbuh menjadi sebuah grup lawak berkelas, dengan humor-humor kritik yang bernas, saya pun penasaran bertanya ke Babeh. ‘Beh, nggak nyesel keluar?’ Tanpa pikir panjang, Babeh menjawab ‘Kagak, orang mereka (Warkop DKI) gua-gua juga yang ngurus.’
Usut punya usut, ternyata setiap konsep lawak, humor-humor, dan gaya panggung Warkop DKI merupakan andil dari Rudy Badil juga. Alih-alih menjadi seorang penampil, sosok wartawan senior ini lebih memilih menjadi seorang konseptor.
Dari kerjanya sebagai jurnalis, dia meramu setiap berita yang dia dapat menjadi sebuah humor yang siap digarap rekan-rekannya di Warkop Prambors. Riset dan konsep menjadi nilai lebih grup lawak Warkop Prambors.
Pencetus Konsep Warkop Prambors
Nama ‘warung kopi’ pun ternyata adalah ide dari seorang Rudy Badil. Ketika program Obrolan Malam Jumat akan diubah, Rudy Badil mengusulkan memberi nama program Obrolan Santai di Warung Kopi. Hal ini berdasarkan dari pengamatan Rudy, di sebuah Warung Kopi di Sumatera Utara.
Saat itu, Rudy tengah melakukan tugas penelitian kampus ke Sumatera Utara. Di waktu senggang, Rudy selalu mampir di warung kopi dekat penginapannya.
Rudy menyimak obrolan di warung kopi tersebut berat-berat. Temanya politik pemerintah, namun bisa jadi sangat lucu dan justru jadi obrolan ringan.
Akhirnya, pengalaman itu jadi pondasi utama Rudy mengusulkan nama program Obrolan Santai di Warung Kopi di Radio Prambors. Konsep dan gaya humornya pun dibuat persis dengan obrolan di warung kopi yang Rudy simak.
Lama berjalan, konsep warung kopi Rudy Badil harus diakui jadi identitas dari grup Lawak Warkop Prambors itu sendiri. Humor cerdas, mengkritik dengan hanya menggelitik, membuat Warkop Prambors saat itu jadi kritikus Orde Baru paling aman.
Di tengah ancaman ‘Petrus’ dan tindakan represif Orde Baru saat itu, Warung Kopi Prambors masih tetap santai tertawa tanpa harus ketakutan sebagai mana aktivis lainnya yang melakukan kritik.
Dari Main-Main Menjadi Bukan Main
Judul buku biografi grup lawak Warung Kopi yang ditulis oleh Rudy Badil dan Indro Warkop tersebut memang persis mereka alami. Bukan sebuah perumpamaan. Dari awalnya main-main dalam program siaran menjadi sebuah grup lawak besar yang bukan main.
Sosok Rudy Badil adalah motor penggeraknya, konseptor dengan ide-ide yang tidak biasa pada zamannya. Pada pertemuan kami di Januari 2019 itu, kami merencakan beberapa hal yang menarik seputar hal-hal berbau humor dan lawak.
Namun, tidak ada yang mengetahui rencana Tuhan. Babeh berpulang pada Juli 2019 kemarin, beberapa bulan selepas obrolan kami di ruang tengah rumahnya.
Dari pribadi Rudy Badil, saya belajar satu hal. Bahwa kegiatan apapun, riset dan konsep adalah hal penting. Ibarat sebuah rumah, riset dan konsep adalah pondasinya. Hal itu Rudy buktikan melalui karyanya dan juga grup lawak Warung Kopi Prambors itu sendiri.
Melalui konsepnya, ia memberikan sebuah rumusan Mati Ketawa ala Rudy Badil. Ketawa sembari mengkritik pemerintah.
Damai dan tenang di sana, Beh.
Discussion about this post