Sebelumnya Baca: Menerobos Masuk Kapal Menuju Sorong (Bag III)
Ini pengalaman pertama saya. Kabarnya, perjalanan ini memakan waktu selama 5 hari 5 malam. Pengalaman saya naik kapal sebelumnya tidak selama itu, paling hanya naik kapal feri kecil 3 tingkat. Saya tumpangi ketika menyeberang dari Pelabuhan Padang Bai Bali, ke Pelabuhan Lembar, NTB.
Dengdong, istilah orang kapal untuk penumpang yang tidak punya tiket. Tiap petugas masuk ruangan, pintu dibuka lalu dikunci. Mereka beriringan di kedua sisi deck 4 kanan dan kiri. Dua orang mengambil tiket lalu diberikan kepada petugas pencatat.
Saat itu saya mengamati. Siap siaga memerhatikan petugas pemeriksa tiket tanpa kedip sedikit pun. Jantung berdegup kencang, bercucuran keringat, dan muncul sugesti takut ketahuan.
Resiko Sebagai Dengdong
Jarak pandang sekitar 3 meter dari langkah kaki mereka yang masuk ke ruangan. Ini waktu yang ditunggu. Saya nekat bilang, “ibu saya mau minta tolong”, ke penumpang yang duduk di hadapan saya, entah siapa namanya.
Saya masuk ke kolong ranjang, pilihan terakhir yang tidak akan mengundang kecurigaan petugas. Kolong ini tingginya sekitar 30-40cm. Tertutup rapat oleh barang-barang dan tumpukan tas yang berjejer rapi.
Sudah tidak ada waktu lagi untuk cari tempat, karena semua pintu sudah ditutup dan dikunci. Saya juga sudah mengelilingi semua sudut deck 4, sampai orang-orang banyak yang mengarahkan matanya kepada saya. “Heran, ini orang ngapain ya?”
Di kolong itu saya bisa lihat sepatu para petugas, nafas ngos-ngosan kalah oleh riuhnya teriakan penumpang, “tiket…tiket…tiket…” Saling sahut teriak-teriak sampai ada yang ketawa-tawa. Posisi saya persis pasukan perang.
Celaka kalau kebanyakan gerak, kondisi di sini panas dan pengap. Dari kolong ranjang penumpang, saya lihat sepatu-sepatu itu perlahan-lahan mulai menjauh.
Sekitar 15 detik dari menjauhnya bunyi langkah sepatu petugas, saya keluar pelan-pelan, lalu bilang, “Ibu terimakasih banyak”. Ibu paruh baya itu seperti paham keadaan saya. Ia cuma balas dengan anggukan penuh heran.
Semua yang saya alami ini adalah keputusan saya. Setelah keliling mencari ABK, dan tidak ketemu. Lalu saya ingat, dini hari ketika pertama kali naik kapal ini, sebelum disuruh istirahat, ia memberi pesan.
“Isukan rek diayakeun pemeriksaan petugas darat pas sandar di Surabaya” (besok akan diadakan pemeriksaan petugas darat pas sandar di Surabaya), pesannya. Bisa jadi dia lupa kasih kabar kalau ada pemeriksaan dadakan.
Hutang Budi Kepada ABK
10 Februari, pagi pukul 06.00 WIB, KM Gunung Dempo sandar di pelabuhan Tanjung Perak, ABK membangunkan saya dari tidur, “hey hudang, kadieu heula” (hey, bangun, ke sini dulu), ucapnya.
Saya langsung bangun menghampiri, lalu jalan mengikutinya sambil mengucek-ucek mata. Sampe di deck 6 ia bertanya, “ari tadi tengah peuting nyumput di mana?” (tadi tengah malan, sembunyi di mana?)
Saya cerita, “Di kolong ranjang, kang”, ujar saya.
“Kolong ranjang mana eta? heueh syukur atuh teu kapanggih mah” (Kolong ranjang yang mana? iya, syukur tidak ketahuan), balasnya.
“Muhun kang, di deck 4 belakang, mung edan ngadegdeg pisan, sieun” (baik kang, di deck 4 belakang tapi gila deg-degan banget), jelas saya.
“Engke sakeudeung deui bakal aya pemeriksaan tiket ti petugas darat” (nanti sebentar lagi akan ada pemeriksaan tiket dari petugas darat), bisiknya.
“Engke maneh asup ka WC lalaki, pokona mah lamun geus aya pengumumam langsung asup weh ka WC kira-kira 20 menitan, cicing di WC nyak, terus omat lamun kapanggih ulah mamawa ngaran urang heeuh”, (Nanti kamu masuk ke WC lelaki, pokoknya kalau sudah ada pengumuman langsung masuk aja ke WC kira-kira 20 menitan, diam di WC ya, terus kalau ketahuan, jangan bawa nama saya ya), ujarnya disisipi amanat.
“Syaaaap hatur nuhun pisan“, balas saya penuh keceriaan.
Tentang pemeriksaan besar ini, saya sudah dapat kabar dari orang Makassar yang senasib, sore kemarin. Namanya Abang Baim, ia beli tiket dari Tanjung Priok – Tanjung Perak, Surabaya dilanjutkan tiket Surabaya -Makasar.
Dia biasa bayar tiket setengah harga ke petugas sekuriti bagian pemeriksaan. Kata dia, sudah jadi tradisi buat orang yang sering naik turun kapal. Wah, saya mah baru tahu.
10 Februari 2019, Harapan yang Terang
Terdengar pengumuman sarapan pagi di toa kecil, seperti biasa, seluruh penumpang antri menuju deck 4 untuk mengambil nasi kotak dan air minum. Dua jam setelahnya akan ada pemeriksaan tiket, waktu yang saya punya sudah mepet.
Saya mondar-mandir dari deck 4 ke deck 2, terus naik lagi ke deck 6, seperti orang gila. Maksud hati ingin bertemu dengan si ABK. Lalu, saya turun lagi ke deck 2 menunggunya di tangga.
Saya ingat, si akang ABK itulah yang pegang area deck 2, artinya area kerjanya ada di wilayah deck 2. Tapi anehnya, kali ini dia tidak melewati tangga, lalu saya sekali lagi naik ke deck 6 berharap berpapasan.
Kalau tidak berpapasan juga, saya memutuskan untuk merokok di luar deck 6. Meredam panik. Sebatang rokok belum habis, terdengar nyaring suara “ting tong” tanda petugas akan memeriksa tiket.
Petugas sudah masuk ruangan deck kapal penumpang dan pintu keluar akan segera dikunci untuk sementara. Seketika itu saya membuka pintu, kembali masuk ke deck 6.
Di menit terakhir, mata saya fokus melihat rambut pendek si ABK dan seragam Pelni warna merah yang biasa dipakai. Saya kejar sebelum dia turun tangga, lalu menepuknya.
Si ABK menengok ke belakang, seketika langsung bilang, “Ehh, langsung turun ke bawah kayak biasa”, ujarnya.
“Syaaaap”, balas saya, lalu ia menambahkan, “ulah waka kaluar heuuh saacan digeroan ku urang” (jangan dulu keluar, sebelum saya panggil).
“Syaaaap”, ujar saya menuruti dengan perasaan tegang dan panik teu paruguh.
Kebaikan Datang Mengisi Perut Saya
Saat makan siang tiba, penumpang antri mengambil makan di jalur yang disediakan. Saya sadar tidak mungkin dapat jatah makan pagi, siang, dan malam. Harus menunjukkan tiket yang sudah ditandai petugas untuk bisa makan.
Pada momen ini, petugas biasa memberi tanda sambil tereak, “satu, enam (dibaca: kotak nasi)”, kalau lebih dari satu kotak artinya titipan teman atau satu keluarga. Budaya tereak-tereak memang sudah lumrah terjadi di pelabuhan dan kapal.
Baru di hari ketiga, saya dapat rezeki makan siang dari salah seorang penumpang yang baru naik dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Ia tidur saling berhadapan dengan saya. Posisi ranjang 7 deret ke samping.
Ibu Sutiana menyapa ketika saya beranjak dari tempat tidur. Saya berniat ke kantin yang berada di deck 8. Tempat orang-orang melepas kebosanan atau sekedar menikmati segelas kopi, sambil bertukar cerita. Tapi, niat itu tertahan oleh perut yang memberontak.
Saya mendengar suara Ibu Sutiana memanggil, mungkin ia sudah tahu saya tidak punya tiket. Ia meminta saya mengambilkan nasi di tempat antrian, “ade ambil nasi dua ya, ini tiketnya”. Lalu Ibu-Ibu yang ada di sampingnya menjelaskan ke saya, “buat makan kamu lumayan dari pada enggak diambil”, ujarnya.
Saya tidak menolak rezeki, meski saat berjalan mengambil nasi, ada perasaan sedikit was-was. Sama seperti ketika pemeriksaan tiket tiba. Tapi, saya jadi tahu cara menukarkan tiket dengan nasi kotak.
Ada petugas yang memerhatikan saya, di saat yang sama, saya juga memerhatikan petugas yang memeriksa tiket.
Ternyata tidak ada pemeriksaan detail saat tiket diberikan ke petugas, mereka cuma menandai. Perasaan cemas ini hilang setelah tahu tidak ada cek nama di lembaran tiket.
KM Gunung Dempo Tiba di Makaasar
Saya dalam keadaan bersembunyi di deck 2 ketika KM Gunung Dempo tiba di Makassar pada 12 Febuari pukul 06.00 WITA. Sebelumnya saya sembunyi di deck 4, di bawah ranjang penumpang, seorang pria dewasa yang kemudian saya tahu berasal dari Jakarta dan beristri orang Makassar. Mereka ke Makassar untuk menjenguk ibunya yang sedang sakit. Posisi mereka berhadapan dengan saya.
Bersembunyi di kolong ranjang adalah ide saya, seorang Bapak-Bapak juga menyarankan begitu, kami sepakat, ini supaya keberadaan saya tidak ketahuan. Ditutupi dengan tas dan koper berjumlah empat yang berukuran besar, berjajar rapi di depan ranjang.
Selama di atas kapal, ketika tiba pemberitahuan akan ada pemeriksaan. Saya sering diingatkan oleh penumpang di sekitar. Mereka selalu ingat kondisi saya, bahkan ketika saya sedang tidur pulas.
Kondisi saya saat ini kacau, jadi seorang Dengdong. Di satu sisi saya belajar memahami makna berlaku jujur apa adanya. Sebanyak apapun pertanyaan yang menghantam dari penumpang lain, saya jawab tanpa melebih-lebihkan. Tuhan menyukai orang-orang yang berlaku jujur, itu yang saya pahami.
Beberapa menit kemudian si ABK datang menghampiri, dia diberitahu penumpang lain mengenai posisi saya. Saya tidak jadi sembunyi di kolong ranjang, tapi diarahkan ke WC deck 2. Lalu saya jalan sesantai mungkin menuju ke sana dengan membawa seperangkat alat mandi.
Semoga Kebaikan Ibu Sutiana dan Bapak Muh. Yusuf Dibalas oleh Tuhan
Pagi pukul 07.00 WITA, saya mengambil jatah sarapan milik ibu Sutiana dan bapak Muh. Yusuf.
Keluarga ini tercatat di tiket bertanggal 10 Februari sebagai penumpang Dewasa, Deck/Cabin: 5/5010-A dari Surabaya Tujuan Makassar. Tapi, perihal Nomor Kabin, di kapal ini tidak berlaku. Siapa cepat dia yang dapat tempat merebahkan diri.
Kondisi tersebut membuat beberapa penumpang yang seharusnya mendapatkan tempat dengan nomor kabin sesuai tiket, terpaksa menggelar tikar yang disewa dari pedagang. Rumitnya aturan yang diterapkan mengenai posisi duduk kerap membuat pertengkaran sesama penumpang.
Tidak peduli perempuan atau lansia, mereka yang sudah dapat tempat tidur enak tidak menghiraukan penumpang lain yang datang untuk menempati posisinya.
Hampir semua penumpang memiliki permasalahan yang sama, Nomor Kabinnya sudah ditempati penumpang lain.
Ibu Sutiana turun di Makassar, saat berpamitan ia memberikan tiketnya kepada saya. Tiketnya masih berlaku jam makan pagi dan siang.
Discussion about this post