Sebelumnya Baca: Saya Dengdong di Kapal KM Gunung Dempo (Bag IV)
Sorong, Papua, dua kata itu yang selalu melintas. Saya berkenalan dengan orang baik lainnya di kapal ini, pasangan suami istri asal Jakarta, ketika lamunan terbang jauh entah ke mana. Sebelum turun di Makassar, di deck 8 kami ngobrol tentang kisah perjuangan mereka menjalani hidup. Sampai harus merantau ke negeri tetangga Malaysia dan Singapura.
Si Suami cerita kepada saya, sewaktu masih kecil, ia mengakui hidupnya susah dan nakal. Demi dapatkan uang sampai coba kerja gali kuburan. Selain itu, ia pernah jualan es serta pekerjaan kasar lainnya.
Ia menjalani banyak jenis pekerjaan karena suka pengalaman-pengalaman baru. Kami berbincang ditemani kopi dan angin laut yang tak henti-henti menerpa.
Lebih banyak kami berbagi kisah sedih dari pengalaman masing-masing. Obrolan berakhir dengan mengejutkan. Ia memberi saya uang. Sayang, kami tidak sempat saling bertukar nama. Kedua pasangan suami istri ini turun bersama Ibu Sutiana di terminal penumpang Anging Mammiri, Pelabuhan Makassar.
Nyamuk Memberi Ilmu Kepada Saya
Perjalanan ini saya kisahkan langsung dari pengalaman di Papua. Di pulau ini dari setiap orang yang saya temui memberi tahu agar hati-hati terhadap penyakit Malaria.
Saat kapal sudah memasuki zona timur, saya merasa bersyukur atas informasi dan wawasan yang datang dari sesama penumpang. Mereka menyarankan untuk tidak telat makan dan menahan lapar kalau ingin terhindar dari Malaria. Selain itu, banyakin mandi, tidak tidur di jam-jam pagi dan sore. Serta jangan banyak bergadang.
Artinya, nyamuk di Papua mengingatkan saya untuk menjaga perut tetap diisi makanan. Jaga ketahanan tubuh biar tidak mudah lemas. Gejala penyakit ini mulai muncul ketika kena gigitan nyamuk Anopheles betina.
Dari sisi kebersihan, nyamuk mengingatkan. Selalu bebersih diri dengan mandi dan menjaga lingkungan. Terakhir, mengenai tidur, nyamuk di Papua tidak kenal waktu, menggigit tak cuma di waktu malam aja. Kalau kita lagi tidur pulas di pagi dan sore hari akan mudah si nyamuk menghisap darah.
Mengenai penyakit malaria, Konsultan Entomologi Divisi Penyakit Parasit dan Pusat Malaria untuk Kesehatan Global Unicef, William A. Hawley, PhD, MPH dikutip dari pospapua.com menuliskan, provinsi Papua jadi daerah berkategori endemis tinggi untuk penyebaran penyakit Malaria.
“Dari 34 provinsi di Indonesia Papua paling tinggi penyebaran Malaria. Sekitar 70 persen kasus penyakit Malaria berasal dari Papua,” kata William Hawley.
William menyebutkan khusus untuk daerah Papua, sebelumnya penyebaran penyakit Malaria ada di 8 kabupaten dalam endemis tertinggi.
Namun, setelah adannya berbagai program pemberantasan penyakit Malaria yang dilakukan pemerintah setempat, penyebaran penyakit ini, berkurang jadi 5 kabupaten yaitu Kabupaten Jayapura, Keerom, Boven Digoel, Timika dan Kabupaten Sarmi.
“Yang menyebabkan banyak masyarakat meninggal dunia akibat kasus penyakit Malaria ada di 5 kabupaten ini,” jelasnya.
Jasa Seorang ABK Kapal
Saya tahu, kerja sampingan para ABK saat pengalaman di pelabuhan Priok adalah menjual bantal dan boneka. Saya memberi tahu dia, kalau ada penumpang yang ingin membeli.
Bos boneka di Pelabuhan Tanjung Priok, Bang Bogem yang menitipkan saya ke salah seorang ABK di kapal ini. Berkat jasanya, saya memiliki harapan. Beberapa jam lagi, setelah petualangan panjang, saya tiba di Sorong.
Bang Bogem menceritakan sedetail-detailnya kondisi keuangan saya ke ABK ini. Perjuangan saya menabung uang selama satu bulan lebih di Priok. Meski, saat mendengar cerita ini, ia terlihat sedikit tidak yakin bisa membawa saya sampai ke Sorong.
Satu lagi orang baik yang menyelamatkan saya. Ia berada di kapal ini berdua dengan cucunya yang masih kecil bernama Pretty. Tujuanya adalah Nabire. Ibu yang selanjutnya saya panggil Omah ini memberi dengan tatapan ikhlas dan mengatakan bahwa cucunya tidak nafsu makan nasi kotak Pelni.
“Kalau saya tahu dari awal masnya tidak punya tiket, tadi siang saya kasih jatah makan saya”, ujarnya. Sambil menunjukan makan siang yang masih utuh tidak dimakan oleh cucunya. “Tidak apa-apa ibu, terimakasih banyak”, balas saya.
Membalas Budi Baik
Pada 20.00 WIT, si ABK datang menghampiri saya. Salah seorang penumpang yang ada di samping saya membeli boneka, begitupun putri Omah yang duduk di samping saya.
Sebelumnya saya cerita ke Mamah Pretty dan Omah bahwa ABK yang menolong saya ketika pemeriksaan tiket, ia kerja sampingan berjualan Boneka. Di sisi lain, sebelumnya ketika bertemu si ABK, saya juga kasih info, bahwa di deck 4 kanan tempat saya tidur ada dua orang penumpang yang mau membeli boneka.
Simbiosis mutualisme, sesuatu yang harus saya jalani sepanjang perjalanan ini. Saya sempat merenungi. Ketika nanti tiba di Papua tidak menerapkan kebaikan semacam ini, mungkin sekeras apapun saya berjuang akan sulit tercapai. Bisa tercapai, tapi memakan waktu yang lebih lama.
Ketika kapal memasuki wilayah timur para ABK kapal (yang menyambi sebagai pedagang) baru menampakan barang dagangannya. Mulai dari pakaian, elektronik, HP, lampu hias, mainan anak, dan juga boneka.
Beda dengan penjual kopi asongan dan makanan yang sudah mulai jualan dari pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Alasan salah seorang pedagang ketika saya tanya, “kenapa pas sudah masuk wilayah timur baru jualan?” Jawab mereka, “uang makin ke timur makin kenceng, kalau sebaliknya pada pelit- pelit”, ujar mereka.
09.00 WIT, saya dikasih sarapan pagi oleh Omah. Nasi kotak Pelni dan pop mie. Omah bilang, “Deni sarapan dulu, ini sudah mau masuk Sorong”. “Iya Omah, terimakasih banyak”, balas saya dengan senyuman.
Menemukan Keluarga di Atas Kapal
Omah sudah menganggap saya sebagai anak. Ketika bosan dan penat, ia meminjam cerpen ringan yang saya bawa. Hubungan kami jadi dekat, berawal dari kerap bertukar cerita tentang isi cerpen. Pernah tengah malam saat penumpang lain sedang mendayung mimpi dengan nyenyak. Omah tertawa terbahak-bahak ketika membaca Soto Sufi dari Madura karya D. Zawawi Imron.
Saat kejadian itu putrinya terbangun lalu menyangkal tawa, “mamah kenapa, tertawa kenapa?”, tanyanya. “Baca buku lucu ceritanya”, timpal Omah dengan tawa senang. Sedang saya lanjut membaca Novel cetakan lama yang lumayan tebal berjudul Manusia Bebas, karya terjemahan Suwarsih Djojopuspito.
Omah dan putrinya bertolak pulang ke Papua, setelah menghadiri acara wisuda putranya di Jakarta. Omah pulang ke Manokwari sedangkan putrinya ke Bintuni. Meski berbeda arah kepulangan, Omah diarahkan oleh putrinya untuk turun bersama di Sorong. Kemudian bermalam di penginapan, baru besoknya pulang ke Manokwari dengan Pesawat.
Setelah makan, seperti biasa saya ke deck 8 tempat orang-orang nongkrong sambil ngopi di kafetaria. Sampai di penghujung tangga, saya bertemu dengan Mikel. Duduk di sampingnya dan menawari rokok. Saya tahu, karena sebelumnya ia cerita, uangnya pas untuk beli tiket Pelni.
Belakangan saya tahu, ia beli tiket di agen travel dengan harga lebih tinggi yaitu Rp880 ribu. Saya tahu agen travel ini milik pak Musa ucap saya pada Mikel, “iya betul”, kata Mikel.
Mikel berasal dari suku Bugis, tujuannya ke Sorong untuk mengunjungi kerabatnya dan cari kerja. Dia juga pesan ke saya, “kalau mas di Sorong belum ada tempat tinggal nanti bisa ikut saya dulu. Tapi, lihat jemputan saya dulu ya”, ujarnya.
Akhirnya Tiba di Sorong, Perpisahan dengan Si ABK Kapal
KM Gunung Dempo yang membawa saya berlayar dari pelabuhan Tanjung Priok pada tanggal 8 Februari akhirnya sandar di Sorong pada 13 Februari 2019 pukul 17.00 WIT.
Saya bingung sekaligus bahagia, terharu ketika harus berpamitan dengan akang ABK. Saat mengulurkan uang kepadanya saya berucap, “kang ieu mah hampura, sareung sateuacana nuhun pisan tos dibantosan, ieu mah teu ageung kang mung bingung saya oge ieu teh” (kang, saya minta maaf, dan sebelumnya terima kasih sudah dibantu, ini ada sedikit kang, saya juga bingung), ungkap saya.
“Kumaha Kumaha?” (gimana-gimana), Tanyanya. “kieu kang, ieu abi teh nyepeng artos kantun Rp200 ribu, edan rokok kang mahal pisan, kamari-kamari beak ku rokok we jajanan teh jeng kopi” (gini kang, ini saya megang uang tinggal Rp200 ribu, gila rokok mahal banget kang, kemarin-kemarin uang habis untuk rokok dan kopi). Ia pun ikut bingung sambil nanya lagi.
“Terus ke di Sorong cicing di mana, urang teu apal deui info kapal anu ka Timika, eta anu 200 ribu lamun dibawa ku urang, engke maneh teu nyepeng pisan duit deuih nya?” (terus nanti di Sorong tinggal di mana, saya tidak tahu info kapal yang ke arah Timika, itu 200 ribu kalau saya ambil, nanti kamu gak megang uang sama sekali), tanyanya.
“Teu aya sasaha pisan kang di Sorong teh, paling nyobaan di pelabuhan deui sabari nguli deui meuren, muhun kang mung ieu sesana, kumaha saena tah kang?” (gak ada siapa-siapa kang di Sorong, paling coba tinggal di pelabuhan lagi sambil nguli lagi, iya kang tinggal ini sisanya, gimana baiknya aja kang?), papar saya.
“Enggeus atuh kieu we ayeuna mah, eta mana duitna” (Udah gini aja sekarang, itu mana duitnya), keputusannya ia ambil uang itu terus dibagi dua dengan saya, Rp100 ribu ewang.
Obrolan perpisahan lanjut saat ia mendoakan saya serta memberi wejangan-wejangan dan tidak melupakannya. Hati-hati di mana pun tempatnya.
Turun Kapal Bersama Omah
Seusai berpamitan dengan akang ABK, saya kembali ke deck 4 tengah kanan, berpamitan dengan penumpang di sekitar tempat saya tidur selama perjalanan. Ransel sudah dalam posisi mantap melekat erat di pundak.
Tangan ini berusaha tanggap melihat tumpukan barang Omah yang bisa diangkat turun berbarengan. Omah sudah tahu cerita saat saya di Tanjung Priok ketika saya menjadi Asmoro.
Tapi, tolakan halus selalu saya dapatkan, barang kemudian sebagian diangkat oleh buruh. Teriknya panas Papua kini dapat saya rasakan sendiri, ketika menginjakkan kaki sehabis antrian panjang menuruni tangga.
Saya dibimbing oleh Omah untuk tidak jauh-jauh darinya. Kami berkumpul di pohon rindang, sedangkan putrinya mencari taksi yang bisa mengantar ke penginapan dekat Bandara. Omah berbincang dengan TKBM dan memberi pesan, “tolong titip mas ini, dia mau naik kapal lanjutan ke Timika, Kaka ya”, tegas Omah.
Sebelumnya saya disarankan oleh Omah untuk ikut bersama mereka ke penginapan, besoknya baru melanjutkan cari informasi kapal tujuan Timika. Karena hari sudah menjelang malam. Tapi putrinya tidak seringan telapak tangan Omah. Ia nampak kebingungan menempatkan solusi untuk saya.
Gak lama, saya putuskan cari informasi dari TKBM pelabuhan Sorong. Saya kenalan dengan Patis dan bertanya tentang kapal tujuan Timika kepadanya.
Saya dapat informasi, “kalau gak salah, besok ada Kapal KM Tidar”, ujarnya. Saya memutuskan tidak ikut Omah. Kemudian mengelilingi area sekitar pelabuhan.
Selanjutnya Baca: Satu Minggu Berkelana di Kota Sorong (Bag VI)
Discussion about this post