Akhir 2019 lalu, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan wacana penghapusan Ujian Nasional. Hal ini salah satunya dipicu oleh hasil survei Programme International Student Assessment (PISA) untuk tahun 2018 yang dirilis oleh The Organisation for Economic Co-Development (OECD) tidak lama sebelum wacana penghapusan UN dihembuskan.
Survei ini bertujuan untuk menilai performa siswa tingkat menengah dalam aspek literasi, metematika, dan sains. Hasilnya tentu saja mimpi buruk. Kemampuan siswa Indonesia dalam ketiga aspek itu berada pada zona degradasi bila ini di Liga Inggris.
Lanskap Budaya Literasi di Indonesia

Pada aspek memahami teks sederhana saja, Indonesia berada pada peringkat keenam—dari bawah tentunya. Kondisi ini membuat masyarakat, khususnya Kemendikbud gusar. Lantas bagaimana sesungguhnya lanskap budaya literasi di Indonesia dan bagaimana cara untuk meningkatkannya?
Menurut data UNESCO, indeks membaca dan menulis masyarakat Indonesia cukup memprihatinkan, hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca.
Riset berbeda bertajuk The World’s Most Literate Nations yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Indonesia bahkan tertinggal dari Malaysia yang berada di peringkat 53. Berdasarkan hasil PISA yang lalu, riset tahun 2016 ini tentunya masih sangat relevan.
Minat Baca Masyarakat Indonesia

Produktifitas Indonesia dalam menghasilkan buku juga tertinggal oleh bangsa lain. Negara yang kita cintai ini menghasilkan 18 ribu judul buku setiap tahunnya, sementara Jepang mampu menghasilkan 40 ribu judul buku setiap tahunnya. Cina bahkan lebih besar lagi, negeri tirai bambu itu mampu memnghasilkan 180 ribu buku setiap tahunnya.
Fenomena rendahnya minat membaca di Indonesia tidak mengenal batasan usia. Sangat memprihatinkan memperhatikan gejala siswa sekolah dasar lebih suka bermain games di ponsel ketimbang membaca buku. Kegiatan membaca hanya dilakukan di sekolah, itu pun sekadar mata pelajaran yang diwajibkan sekolah.
Membaca hanya dilakukan saat akan ada tugas dari guru dan ulangan. Hal ini membuat siswa tidak mampu mengembangkan rasa ingin tahunya lebih dalam. Kondisi seperti itu pun terlihat pada siswa sekolah menengah dan tingkat universitas.
Belajar Mencintai Buku

Menanamkan minat mencintai budaya literasi di Indonesia sebisa mungkin dapat diupayakan semenjak usia dini. Tidak berbatas pada peran keluarga. Pemerintah perlu menggencarkan gerakan membaca kepada seluruh masyarakat demi terciptanya generasi yang lebih baik.
Selain itu, pendidikan adalah instrumen utama menumbuhkan kesadaran membaca. Instansi pendidikan perlu mengemas materi sedemikian rupa agar kegemaran membaca timbul kepada peserta didik.
Sekarang pertanyaannya gerakan seperti apakah yang harus digencarkan oleh pemerintah dan instansi pendidikan untuk menanamkan minat baca?
Sekolah Punya Peran yang Penting

Sekolah adalah instansi terpenting untuk menanamkan kesadaran terhadap minat membaca. Sekolah perlu mewajibkan waktu membaca bebas bagi siswanya dan dapat merumuskan metode pembelajaran untuk membangun kecintaan anak terhadap membaca, bukan kemampuan membaca.
Selain itu, setiap kegiatan yang berkaitan dengan peringatan hari nasional dan acara lainnya dapat dikemas dengan aktivitas membaca, seperti pameran buku dan lomba menulis. Peringatan hari kemerdekaan yang dari dulu sudah menjadi tradisi diisi dengan lomba-lomba yang bersifat simbolik dan mengedepankan aspek psikomotorik anak.
Dapat diganti dengan kegiatan yang lebih merangsang aspek kognitif dan afektif, misalnya seperti kegiatan yang merangsang kecintaan anak terhadap buku dan membaca.
Kita perlu mendobrak kebiasaan-kebiasaan lama dengan kebiasaan baru yang lebih positif demi menciptakan generasi yang lebih baik. Jika kebiasaan membaca telah tumbuh terhadap anak, niscaya kebiasaan itu akan terus ada hingga usia lanjut.
Peran Serta Pemerintah

Pemerintah juga dapat merancang sebuah gerakan yang diterapkan secara menyeluruh. Gerakan tersebut dari mulai unit terkecil hingga unit terbesar dalam tatanan masyarakat agar tidak terjadi ketimpangan. Hal tersebut bertujuan agar kegiatan membaca menjadi kegiatan yang inklusif.
Kalau perlu, pemerintah bisa melakukan kampanye digital, memaksimalkan media audio visual dan media sosial sehingga masyarakat terpicu untuk gemar membaca dan yang paling utama adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang kuat terhadap gerakan membaca.
Pemerintah bisa berinovasi dengan peraturan wajib membaca di anak usia sekolah. Perayaan peringatan hari-hari besar nasional juga dapat dikemas sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan gairah membaca di masyarakat.
Mulai dari Diri Sendiri dan Lingkup Terdekat

Kegiatan membaca mempunyai tujuan yang baik yaitu meningkatkan intelektualitas. Membaca juga membantu menanamkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan pada seseorang.
Sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk menanamkan minat membaca. Sebagai pembuat regulasi, pemerintah punya tanggung jawab institusional yang lebih besar. Merancang sebuah program jangka panjang dan lebih terstrukur untuk menanamkan minat baca terutama pada anak usia dini.
Sekali pun pemerintah berdalih bahwa program semacam itu sudah ada, program itu dapat dikaji kembali efektifitasnya dan dilaksanakan dengan lebih baik.
Peran serta dapat dimulai dari kesadaran diri masyarakat, di lingkup terkecil yaitu keluarga. Menciptakan atmosfer positif kepada anak untuk mulai mencintai buku. Demi berkembangnya budaya literasi bangsa Indonesia.
Discussion about this post